Chapter 25

11.9K 618 122
                                    

"Usia bayinya baru 3 minggu. Masih sangat muda dan rawan. Dijaga baik-baik ya, Pak, Bu."

Em hanya mengangguk sembari tersenyum canggung. Melihat bentuk calon bayinya ketika Annate di USG tadi, Em tiba-tiba saja seperti merasa memiliki beban berat. Bukan lagi tentang dirinya sendiri, tetapi juga sebuah nyawa yang kini tinggal di perut Annate.

Anak itu adalah darah dagingnya. Meski dia hadir di saat yang tidak tepat, Em tetap berkewajiban menjaganya, memberi kasih sayang. Karena semua ini bukan salahnya. Bukan keinginannya untuk menjadi anak Em, kan?

"Ini resep vitamin yang harus diminum. Silahkan." Dokter berumur sekitar 28 tahun itu menyodorkan sebuah kertas yang langsung diterima Em. Mereka berdua kemudian keluar setelah dokter selesai menjelaskan apa yang Annate butuhkan dan tidak.

"Aku ingin apel, Em," ucap Annate yang bergelayut manja di lengan Em.

"Iya, setelah ini kita akan membeli apel. Kau mau berapa?"

Annate terdiam sambil pura-pura berpikir. "Emh ... 10?" Keduanya lalu tertawa sambil terus menelusuri lorong rumah sakit.

Dengan telaten, Em membantu Annate memasuki mobil. Memasangkan seatbelt lalu mengusak rambut perempuan itu sebelum menutup pintu. Mobil miliknya lalu melaju meninggalkan area rumah sakit.

Sudah diputuskan bahwa dia akan memberi tahu Tina dan Smith. Apapun hasilnya nanti, Em akan menerima. Dia sudah pasrah. Niatnya hanya ingin bertanggung jawab, tidak lebih dari itu.

"Kita akan ke rumah Ibu?" tanya Annate.

Em mengangguk lalu tersenyum. Sejujurnya dia sangat gugup juga takut. Ini bukan masalah sepele. Ini tentang kehormatan keluarganya. Apa kata orang jika mengetahui dia menghamili perempuan lain sementara dia masig berstatus suami orang. Ah, rasanya kepala Em hampir pecah.

"Annate apa kau takut?" tanya Em.

"Takut untuk apa?"

"Bertemu Ayah dan Ibu."

Annate tersenyum kecil. Perlahan, dia mengambil sebelah tangab Em yang sedang menyetir. "Untuk apa takut? Aku memilikimu. Kau akan melindungi kami, kan?"

Dengan berat hati, Em tersenyum lalu mengangguk. Entahlah, mengiyakan perkataan itu terasa begitu sulit untuk Em. Satu sisi, dia tidak ingin menyakiti ayah dan ibunya. Di sisi lain, dia tidak ingin menyakiti Annate dan anak mereka. Lalu dia harus apa?

"Kau janji tidak akan meninggalkan aku dan anak kita apapun yang terjadi, kan, Em?" tanya Annate dengan nada memaksa.

"Tentu. Tentu aku tidak akan meninggalkan kalian."

Keduanya saling pandang beberapa saat lalu tersenyum kecil. Yah, setidaknya ini sedikit meringankan gemuruh yang terus menyerang hati Em. Meski hanya sedikit. Sedikit sekali.

Perjalanan dilanjutkan diiringi obrolan-obrolan ringan di antara keduanya. Em juga beberapa bertanya masalah kehamilan. Maklum, dia kan, tidak berpengalaman sama sekali. Bersama Annate, Em akan belajar bagaimana cara menjadi ayah dan suami yang baik.

Eh, suami?

Ya ampun, sepertinya Em lupa siapa istri sahnya.

***

Gerbang emas yang menjulang di hadapan langsung membuat nyali Em menciut. Bayangan hal buruk yang akan terjadi membuatnya ragu untuk memencet bel di sisi kanan gerbang.

Entah beruntung atau sial, pak Kadir, satpam di rumah ayahnya itu menyadari kehadiran Em sebelum Em memencet bel. Dengan tergopoh, pria paruh baya itu mendekati gerbang lalu membukanya lebar-lebar. Mempersilahkan Em masuk.

Niat Em untuk balik badan dan pulang terpaksa dia urungkan. Dengan berat hati, dia kembali ke mobil dan melajukannya memasuki rumah.

Sebelum turun, beberapa kali Em menarik napas panjang. Berharap masalahnya ikut larut bersama hembusan napas itu.

"Kita lewati ini bersama, ya, Em?"

Em menoleh, menatap Annate yang tengah tersenyum lembut. "Iya. Kita lewati bersama."

Keduanya lalu turun, bergandengan memasuki rumah Smith. Gandengan itu seolah menguatkan satu sama lain. Seolah memberi tahu pada dunia kalau mereka tidak akan terpisahkan.

Ya, kita lihat saja!

***

Empat orang dengan ekspresi berbeda itu duduk berhadapan di ruang tamu. Niat Em membicarakan ini di ruang keluarga urung, karena Tina tidak memberi kesempatan untuk Annate memasuki rumahnya lebih jauh. Wanita itu sepertinya masih belum menerima atau tidak akan pernah menerima Annate.

"Ada apa, Em?" tanya Smith memecah keheningan.

"Aku dan Annate ingin membicarakan sesuatu."

"Tentang apa? Pernikahan? Aku kira setelah membawa Anna kemari beberapa hari lalu, hubungan gila kalian ini telah selesai. Aku tidak menyangka kau masih berani membawa perempuan ini ke hadapanku." Tina menyela, ucapannya terdengar berapi-api. Dia benar-benar marah melihat Em kembali membawa Annate.

"Aku juga sama herannya dengan Ibumu. Aku kira setelah apa yang aku lihat, hubungan mu dan Anna membaik. Ada apa, Em?"

Em dan Annate bertatapan selama beberapa saat. Setelah mantap, Em menatap Tina dan Smith bergantian.

Dia menghela napas sekali lagi kemudian mengembuskannya kasar.

"Annate hamil anakku."

"Hamil?!"

Bukan, itu buka suara Smith maupun Tina. Keempat pasang mata itu kompak menoleh ke arah pintu. Terlihat Anna tengah berdiri mematung dengan mata menatap Em linglung.

"Hamil, Em? Dia hamil anakmu?"

Em langsung bangkit. Tangannya berusaha meraih Anna yang terus bergerak mundur.

"Anna maaf, ini semua di luar kendali ku. Aku mohon maafkan aku."

Anna terus menggeleng. Air matanya sudah menetes deras. Isakan kecil mulai terdengar. Sungguh! Rasanya begitu sakit. Lebih sakit dari saat Em memberitahukan tentang hubungannya bersama Annate.

"Kau lihat, Jeremi? Ini yang kau sebut memperjuangkan kebahagiaan? Kau bahagia sekarang?"

Tina mendekati Anna. Merangkul perempuan yang masih terisak itu.

"Sekarang kau mau apa? Memiliki keduanya?"

"Ibu, aku ...."

"Sekarang kau pilih. Ceraikan Anna dan bersama perempuan itu. Atau tinggalkan dia dan hidup bahagia bersama Anna?"

Tbc

Jeng jeng jengggg
Haduhhhhh ngebut banget ini nulisnyaaaaaaa
Aku kaget banget pembacanya membeludak gini.

Terima kasihh udah mau baca cerita ini. Aku seneng banget😭

Jangan lupa komen+vote yaa😘😘

Enjoyyyyyyyyyy

Love After MarriageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang