01

155 34 5
                                    

"My home"


Kubuka mataku, samar-samar terlihat cahaya dari balik pintu. Terdengar seperti ada dua orang yang sedang berdebat dari balik pintu. Aku penasaran siapa itu, tapi karena mataku baru terbuka dan belum beradaptasi dengan cahaya aku hanya dapat mendengar pembicaraan mereka samar-samar.

"Mama, please ngertiin rain. Kita gaboleh ngekak dia kayak gini. Biarin dia ngejar cita-citanya juga. Mama ga liat dia begadang, tidur di meja belajarnya, buku-buku di atas kasurnya, buku yang di jadikan bantal. Mama ga liat seberapa keras usaha dia?" Jelas seorang bersuara berat dan halus. Berusaha menenangkan wanita yang sedang menangis itu.

"Tapi, mama takut rain kenapa-napa. Mama ga mau kehilangan anak gadis mama, mama takut. Ayah ingatkan kejadian rainy jatuh? Sejak saat itu mama janji ke diri mama sendiri kalo mama ga bakal pernah ninggalin rain." Katanya sambil terisak pilu.

Setelah beberapa menit aku menyimak pembicaraan mereka, aku sadar itu mama dan ayah.

Mereka berdebat karena aku? Mama.. mama kedengaran sangat takut. Nada bicaranya juga bergetar, aku yakin tidak ada keraguan dari setiap kata yang diucapkan mama. Sama sekali tidak.

Kuusap mataku, bangun dari tidurku. Kulirik jam di dindingku, pukul 20.27 WIB. Aku turun dari tempat tidurku berjalan ke arah pintu dengan wajah tertekuk ke bawah. Berusaha menahan tangisku.

Tidak, aku tidak boleh lagi menangis didepan mama. Tidak boleh.

Kutarik nafasku dalam-dalam menguatkan perasaanku untuk mengatakan semuanya. Aku tidak akan mengambil beasiswa itu kalau mama akan terus menangis, meskipun aku akan sangat hancur. Tidak apa, demi mama.


Krieeettt

"Maah.. yah.. " kataku saat membuka pintu.

Mata ayah dan mama refleks melirik ke arahku. Terlihat mereka berdua lelah saling memberi argumen. Mata mama ku yang sembab, dan kerutan di kening ayahku yang terlihat karena frustasi.

Dengan cepat mama dan ayah mengubah raut wajahnya, mama mengusap air matanya dan ayah mengendurkan wajah tegangnya, terlihat kembali wajah tenang dan berwibawa pada wajah ayahku.

Sedangkan mama masih terus mengusap seluruh air matanya dan berusaha tersenyum padaku, "Eh anak mama udah bangun?" Katanya tapi masih sambil mengelap air matanya yang terus bercucuran.


Karena air mata mama yang terus jatuh tidak bisa mengalihkan tatapan sedihku pada mama.

Mama menunduk. Tak kuasa menahan air matanya.

Kuraih wajah mama, ku tangkupkan pada kedua tanganku. Wajah seorang wanita yang selaras denganku, wajah seorang ibu yang takut kehilangan putri kecilnya, wajah seorang bidadariku, malaikatku.

Bisa-bisanya aku membuat malaikat yang berjuang untuk melahirkan ku ini menangis?

Kuangkat wajah mama, terlihat wajahnya yang ketakutan, tak bisa menatap mataku. Kuusap air mata yang jatuh dari wajah mama.

"Ma.. liat adek.." kata ku sambil terus mengusap wajah mama dengan ibu jariku.

Ayahku hanya melihat interaksi antara kami tanpa berkata apapun.

Helios Mystiko | HAECHAN✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang