05

76 22 1
                                    

"Dejavu"

Aku merebahkan badan ku diatas kasur empuk yang tidak terlalu besar itu. Yah, mungkin kasur itu cocok untuk ditempati dua orang, tapi entah mengapa pihak kampus menyediakan satu orang didalam kamar. Mungkin supaya itu lebih privasi, menurutku. Sudah 1 setengah jam aku sampai di Korea Selatan, tepatnya di Seoul. Aku juga sudah mengemasi barang-barang ku, yah hanya setengah sih.

Aku hanya mengemas baju-baju, tapi belum menaruh buku-buku ku di rak dan meja belajar. Aku hanya membawa sedikit barang, kata Mama aku tidak bisa membawa banyak barang. Tubuhku saja hampir lebih kecil daripada koper. Katanya, nanti aku kewalahan mengangkatnya, secara aku orang yang sungkan meminta bantuan.

Bukannya sombong, cuma, Argh. Tidak enak saja.

Aku membawa tas kecil sebagai tempatku menaruh makanan yang ingin ku makan untuk mengganjal perut ketika lapar di pesawat, koper berukuran sedang, isinya baju-baju, tidak terlalu penuh juga. Dan tas ransel berisi berkas-berkas penting dan uang. Buku-buku ada di koper seperempat, sisanya mama bilang akan mengirimkan itu padaku nanti.

Ohiya, ngomong-ngomong aku sudah ke kampus ku tadi. Di perjalanan kesana aku sempat menelfon mama untuk mengabari kalo aku sudah tiba dengan selamat. Mama dan Ayah hanya memberiku nasihat, seperti, 'jangan telat makan, jangan begadang demi tugas, jangan pulang larut malam' dan masih banyak lagi.

Berbeda dengan Kak Kenzie, orang itu malah mencueki ku. Padahal tadi pass aku menelfon dia yang terlihat sangat semangat melirik pada layar hp, tapi ketika ku panggil, anak itu langsung menampakkan wajah cemberutnya. Memang aneh.

Ayah saja sampai geleng-geleng kepala melihat tingkah sok ngambek dari anak bujangnya itu, ayah terus membujuknya tapi Kak Kenzie sudah terlalu banyak nonton serial india jadi tetap sok ngambek. Katanya dia mau dibujuk seperti Ratu Jodha. Tentu saja aku membalasnya dengan akting tingkah sok muntah.

Bukan aku saja, ayah sampai mengatakan kalo itu bukan anaknya, tapi ternyata pernyataan dari ayah itu membuat mama melirik tak menyangka pada ayah. Itu juga membuat mama uring-uringan dan hampir pingsan di tempat. Tentunya ayah dan Kak Kenzie kaget, jadi mereka saling berpelukan lalu ayah mengoreksi leluconnya yang terbilang sedikit, emh– kalian tahu.

Aku menghela sedikit nafas ku. Kemudian meraih ponsel  yang tergeletak di samping ku. Sebenarnya aku ingin memastikan ini sudah jam berapa, karena langit diluar terlihat berubah menjadi orange, ah pemandangannya mirip sekali di drama-drama. Hanya satu yang kurang, pemain prianya, hiks.

Ah, ternyata sudah jam 17.25 pantas saja langit terlihat orange. Aku terdiam dan berfikir sejenak. Sepertinya jalan-jalan sore ke taman di bawah cocok untukku. Iyakan? Sekalian berkenalan dengan orang-orang disini. Aku takut nanti di cap tidak ramah dan sombong oleh anak disini.

Aku memutuskan bangkit dari tempat tidurku, lalu mengeluarkan oleh-oleh khas Indonesia dari ranselku, kemudian mengambil beberapa keripik pisang dan bakso yang terbungkus rapi oleh Tupperware ungu mamaku.

Bukan itu saja, aku juga memberikan beberapa bungkus batagor yang dihadiahi oleh Kak Kenzie setelah aku bercerita tentang nenek lampir.

Sebenarnya sore itu aku sangat kesal pada kak kenzie, kalian ingat cincinku yang sangat kusayang itu hilang? DIA TERNYATA DENGAN PEDENYA MEMBERIKAN ITU PADA OREO RASA DINGIN, IYA! SI AFIQAH.

"Oke, gini aja kali ya? Gua tinggal ngetok kamar deket-deket sini, terus kenalan deh." Aku berjalan menuju kamar mandi sambil membawa handuk hijau dengan corak bergambar kodok disana. Jujur aku tidak suka dengan si kodok ini, tapi mama yang memberikannya khusus hadiah Sweet seventeen ku.

Helios Mystiko | HAECHAN✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang