31

20 8 2
                                    

"Kenapa dok?" Tanyaku saat dokter Fahril tidak mengizinkan ku untuk pergi ke kantor imigrasi. Berulang kali aku mencoba membujuknya dengan alasan yang masuk akal dan diterima oleh logika, namun sepertinya dokter Fahril memiliki tempurung kepala yang lebih keras dibandingkan dengan manusia lainnya.

"Kalau kamu tetap melanggar jangan salahkan saya, kalau saya membuat kamu tidak lulus di stase ini!" Ancamnya.

"Tapi dok–" belum selesai Sulthan berbicara dokter Fahril sudah memotong perkataannya.

"Sangat tidak manusiawi jika kalian terus kekeuh meminta izin pergi disaat ada operasi lagi, apalagi menyangkut nyawa orang lain." Halus tapi menusuk. Begitulah dokter Fahril, apa yang dia katakan sangatlah halus namun secara tidak langsung perkataannya bisa menusuk sampai ke ulung hati.

Tepat setelah mengatakan itu dia melangkah pergi keluar dari ruangannya. Aku mendengus pelan kemudian menyusul pergerakan dokter Fahril menuju OK unit dua. Sedangkan Sulthan memasuki ruang UGD setelah aku mengucapkan terima kasih pada Sulthan.

Sepanjang berjalan menuju ruang OK aku tidak berhenti memikirkan bagaimana caranya aku bisa ke Madinah segera. Aku sempat mengecek saldo tabungan diponselku. Pikiranku mulai kacau dan cemas melihat nilainya hanya 6 digit. Berulang kali aku melangitkan beribu ribu doa agar Allah memberi petunjuk padaku.

"Masuk!" Aku tersentak kaget mendengar suara bass dokter Fahril.

Dari kaca pintu steril, aku melihat dokter Fahril dengan masker yang menutupi hidungnya serta bagian atas tertutup surgical–hat. Empat lampu besar menyorot pada tubuh pasien yang akan disayat. Aku terburu buru mengenakan baju scrub dan hair crub, sarung tangan serta perlengkapan lain yang aku butuhkan untuk masuk.

Setelah aku masuk ahli Anesthesi mulai membius total pasien, sehingga pasien tidak sadar selama tindakan.

Pikiran ku mulai bercabang saat Anesthesi memberi isyarat agar dokter Fahril melakukan luka sayatan pada pasien. Pertama, operasi ini akan berlangsung sampai 3—6 jam karena ini merupakan operasi Bypass Jantung otomatis, aku tidak bisa mengurus pasport dengan cepat. Kedua, aku tidak punya cukup uang untuk mengurus pasport layanan cepat. Lalu, pasien ini mengalami penyumbatan di pembuluh arteri rusak dan arterinya terlalu kecil untuk dijahit.

"Jahit." Titah dokter Fahril sambil memberikan jarum dan benang bedah padaku. Aku tidak yakin bisa melakukannya, pikiranku masih melayang dan berhamburan.

"Arsy." Panggil dokter Fahril, namun aku masih diam mematung berusaha membagi pikiranku bersekat–sekat. Sampai ada sistem otomatis didalam otakku dimana ketika dokter Fahril membentak ku disaat aku tak kunjung merespon.

"Fokus lah!" Aku tersadar saat dokter Fahril membentak ku terlebih lagi aku mendadak panik saat grafik EKG berubah tiba tiba. Dokter Fahril langsung mengambil tindakan namun entah kenapa separuh pikiranku masih melayang dan berhamburan entah kemana.

Gambar grafik jantung yang tidak beraturan kembali normal membuat ku bernafas lega. Aku kembali mematung tidak bergeming sedikit pun dengan pikiran yang kacau.

"Cepat jahit!!" Titahnya yang masih mengulurkan jarum dan benang bedah membuatku tersentak kaget. Aku gugup, tak berani meraihnya. Tangan ku bergemetaran hingga menjauhkan messer.

"Jahit!" Aku meraih jarum itu dan langsung menjahit pembuluh arteri. Menjahit pembuluh arteri yang terlalu kecil saat pikiran masih berhamburan? Aku tidak yakin aku bisa. Setelah memberi dua jahitan aku mengulurkan pada as–op agar melanjutkan jahitannya.

Sebelum menerimanya, as–op tersebut sempat menatapku sebentar lalu meraihnya. Dari maskernya dokter Fahril, aku sudah dapat melihat kalau sorot matanya tajam sekali kearah ku.

Pikiranku kacau, benar benar kacau sampai sampai aku tidak bisa fokus dalam menjalani operasi ini.

____________

"Otak kamu dimana?"

Air mataku akhirnya terlepas satu bulir, saat dokter Fahril dengan teganya, menoyor kepalaku sambil membentakki ku tidak punya otak.

Brak.

Dia melemparkan handscone yang dia lepas dari tangannya ke arahku. Aku menunduk tak berani menatapnya sedikitpun. Mataku panas, ada beberapa bulir bening yang sudah berhasil turun ke permukaan pipi. Dadaku bergemuruh. Tanganku tergenggam kuat karena bergemetar.

"Sudah berapa kali kau ikut dalam operasi, huh?!" Bentaknya untuk kesekian kali.

"Apa susahnya untuk fokus dalam operasi?! Pasien bisa meninggal akibat ulahmu. Kau sudah pernah membuat pembuluh darah pasien pecah saat operasi dan karena kau grafik EKG berubah saat operasi. Besok apalagi?"

"Itu sama saja dengan kau membunuh pasien secara tidak langsung! Mereka disini bayar mahal mahal untuk sembuh, bukan untuk mati!" Ucapnya dengan nada yang memecahkan gendang telinga.

"Daripada kau memikirkan urusan pribadi, lebih baik kau pikirkan resikonya kalau kau sampai membunuh pasien akibat ulahmu dan resiko jika tidak lulus pada stase ini. Kalau tidak sanggup untuk jadi dokter, lebih kau mundur saja!" Sarkasnya lalu meninggalkan ku memasuki ruang dokter.

Emosi jiwaku tidak stabil. Aku mencuci tanganku lalu melepas sarung tangan dan masker. Aku membuka layar ponselku, melihat angka jarum jam dilayarnya. Aku memijit kening yang terasa berdenyut denyut hebat dan menata pikiran sebaik mungkin setelah melepas surgvical–hat di kepalaku.

Setelah sedikit lebih tenang, aku berjalan menuju Masjid. Aku tahu Allah tidak akan memberikan ujian dibatas kemampuan hambanya. Hanya saja saat ini aku butuh Dia untuk menemani luka ku.

Namun langkah ku terhenti ketika tangan seorang anak kecil yang menurut perkiraan ku umurnya masih delapan tahun. Aku berjongkok menyesuaikan tinggi ku sambil menatap herannya heran kenapa anak perempuan yang mengenakan sepatu dan kaos kaki polkadot pink itu bisa sampai ke ruang operasi dan menanyakan apa yang dia lakukan disini.

Katanya, dia terlalu bosan dalam ruang inap ibunya dan pergi bermain sendirian namun dia lupa jalan kembali ke ruang inap. Dia juga bilang kalau dia sudah mencoba untuk mengingat kembali tapi dia malah semakin tersesat. Tak heran jika anak kecil ini tersesat mengingat rumah sakit ini cukup luas.

"Kamu tadi lewat garis mana?" Tanyaku pada anak itu sambil menunjukkan tiga garis lurus berwarna dipermukaan lantai.

Anak kecil itu menunjukkan garis berwarna biru itu sambil menjawab, "Nana tadi ngikutin garis biru itu tapi malah sampe kesini." Pantas saja dia tersesat sampai ke ruang operasi.

Mungkin awalnya dia mengikuti garis berwarna biru benhur yang berasal dari ruang inap VIP menuju ruang perinatologi namun dia salah arah karena silap melihat garis yang disebelah kanannya, biru donker. Garis yang menuntun kearah ruang OK, karena warnanya yang hampir sama. Hal ini pernah terjadi waktu pertama kali aku coass disini.

Aku langsung menuntunnya mengikuti garis berwarna biru benhur itu. Sesampainya di bangsal empat aku kembali bertanya dimana ruangan inap ibunya. Dia menunjuk kearah ruang inap tiga paling belakang dekat dengan ruang spesialis kandungan. Membuatku sudah berjalan jauh.

Aku masuk kedalam ruang ber–AC yang cukup luas. Didalamnya ada satu tempat tidur untuk pasien, kamar mandi, sebuah sofa panjang, TV LCD dan juga lemari es kecil.

"Hana kamu habis darimana? Kan bunda udah bilang jangan main jauh jauh. Kalo ada apa apa sama kamu gimana? Bunda nggak bisa kemana mana buat nyariin kamu." Omel ibunya. Anak tadi yang menyebut namanya Nana, hanya cuek dengan ceramah ibunya.

"Terimakasih dok." Ucap ibu itu singkat. Aku mengangguk dan beranjak keluar dari ruangan namun langkah ku terhenti mendengar sebuah berita dari TV LCD diruangan itu.

"Penyebaran virus MERS di negara Arab Saudi membuat pemerintah Arab mengambil keputusan agar aktivitas Haji dan Umroh akan ditutup sampai tiga bulan kedepan, dan Bandara Arab Saudi mulai ditutup dari awal bulan Oktober hingga satu tahun kedepan sampai keadaan kembali normal." Begitulah yang aku dengar. Tanpa aba aba aku berlari keluar dari ruangan mencari seseorang yang dapat membantu ku.


TANGGAL PERUBAHAN 26 DESEMBER 2020









Cinta Setinggi Arsy-Mu {Done} Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang