13

76 23 1
                                    

Aku tidak tahu, akhirnya seperti apa.
Tapi aku tahu, rencana Allah itu pasti luar biasa.
~Anonim~
_____________________

Aku memandang keluar, menatap gedung gedung tinggi yang berlalu silih berganti. Aku tidak tahu apa yang melintas di pikiran kak Abi, sehingga dia menjemput dan mengajakku pergi bertemu client-nya di sebuah cafe. Katanya, kak Abi ingin pergi melepas penat bersama ku. Dan tidak ada alasan bagiku untuk menolak ajakannya.

Semenjak kak Abi menikah, dia jarang punya waktu untukku. Jangankan mengajakku pergi seperti saat ini, mengobrol saja bisa dihitung dalam sehari walau aku dan kak Abi masih tinggal satu atap.

Jika kalian bertanya aku lebih dekat dengan siapa? Kak Abi atau kak Akmal? Jawabannya adalah kak Akmal. Sifat kak Akmal yang membuatku nyaman sehingga aku lebih dekat dengannya. Menenangkan, bijak, dan sedikit banyak bicara. Berbeda dengan kak Abi yang lebih cenderung pendiam. Walau begitu, rasa sayangku tidak akan pernah berkurang untuk kak Abi.

Jika hubungan persaudaraan aku dan kak Akmal seperti simbiolisis Mutualisme, maka hubungan ku dengan kak Abi seperti simbiolisis Komensalisme. Satu untung dan lainnya tidak rugi. Aku selalu menghubungi atau datang pada Kak Abi jika membutuhkan sesuatu namun kak Abi tidak pernah melakukan hal yang sama pada ku.

Kak Abi bukan seorang CEO dia hanya seorang manajer yang diangkat menjadi seorang Direktur Utama di salah satu perusahan Obat Herbal. Jadi perusahaan tersebut sering menyalurkan obat obat ke berbagai Rumah Sakit dan Apotik. Bahkan perusahaan milik atasan kak Abi bekerja sama dengan Rumah sakit tempat kak Akmal bekerja.

Dia memang sering menggantikan atasannya untuk bertemu client, jadi kak Abi lebih sering menghabiskan waktunya untuk bertemu dengan client, mengecek penyaluran obat ke Rumah Sakit dan Apotik dibandingkan di kantor. Karena pekerjaannya, dia bertemu dengan seorang Apoteker yang menjadi istrinya sekarang. Aku tidak terlalu tahu bagaimana mereka bertemu.

"Handphone siapa berdering?" Tanya kak Abi ketika mendengar ponsel berdering.

Sontak aku langsung menggeledah tasku, begitu juga kak Abi yang langsung merogoh saku celananya. Dan handphone ku yang menyala.

Ternyata Haidar menelpon ku.

Segera kugeser panel berwarna hijau untuk menjawab panggilan darinya.
"Halo, Assalamualaikum Haidar."

"Waalaikumsalam Sy, kamu dimana? Aku udah di Maskam." Aku menepuk jidatku. Aku lupa memberitahunya bahwa aku tidak jadi menemuinya.

"Maaf, Dar, aku nggak jadi ketemu kamu. Maaf yah." Ucapku meminta maaf.

"Ealah Sy, tau gitu gua langsung pulang." Katanya sedikit mengomel.

"Maaf Dar. Maaf." Ucapku lirih.

"Iye, yaudah aku tutup dulu. Assalamualaikum." Haidar langsung mengakhiri panggilannya setelah aku menjawab salam nya.

"Siapa yang telpon?" Tanya kak Abi tiba tiba. Namun dia tidak melirikku sama sekali masih fokus menyetir.

"Haidar kak." Jawabku.

Kak Abi hanya diam sambil menganggukkan kepalanya.

Tak lama mobil terparkir disebuah cafe. Kami pun masuk ke dalamnya. Kak Abi berjalan di depan ku, sementara aku mengikuti langkahnya dari belakang. Tetap dengan keadaan yang sama. Jalan ku lambat dan tertatih tatih, pria di depan ku memang tidak memiliki kepekaan sedikitpun.

Sebentar,

Cafe ini, mengingatkan aku pada sesuatu. Tempat ini menjadi sakral dalam hidupku, tempat pertemuan pertama ku dengan Ilham.

Cinta Setinggi Arsy-Mu {Done} Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang