32

19 8 3
                                    

Aku berlari mencari keberadaan seorang pria yang sangat aku butuhkan saat ini. Banyak yang mengatakan pria itu sedang berada diruang operasi bersama dokter Rafif, namun aku tak mendapatkan pria itu diruang OK unit satu, dua dan tiga. Jiad bilang pria itu ada diruang perkuliahan dab hasilnya juga sama ketika aku di ruang OK.

Kaki ku terasa pegal karena terus digunakan untuk berlari mencari Sulthan. Entah kenapa nama pria itu yang terbesit di pikiranku sekarang. Aku mengeluarkan ponsel dari saku sneli putihku dan membuka layar lock screen dengan memasukkan sandinya. Ku buka aplikasi bernama Whats App, mencari grup khusus kelompok bedah kami yang sengaja Ayan buat beberapa hari yang lalu.

Jari jemari ku bekerja saat mengetik sesuatu di atas papan keyboard layar ponselku. Bertanya kepada 13 kontak teman teman yang berada didalamnya.

'Ada yang tahu, Sulthan ada dimana?' Ketikku terakhir. Aku menyentuh satu icon dan,

Send.

Begitulah yang tanyakan pada mereka. Ku tunggu semenit, dua menit hingga 15 menit, belum ada yang merespon sama sekali. Bahkan pesan itu hanya tersampaikan belum terbaca.

Jika tidak mengingat ini adalah rumah sakit, aku ingin menangis dan berteriak sejadi jadinya. Aku frustasi tidak tahu harus berbuat apa. Allah, untuk pertama kali ini aku merasakan cinta, kenapa sesulit ini menjalaninya?

Aku merasa semua usaha yang kulakukan terasa nihil hasilnya. Aku tidak berdaya menghentikan semua ini, hanya Allah saja yang bisa. Aku memang hamba yang tidak tahu diri. Mendambakan cinta sampai begitu menyedihkan.

Setelah puas menangis tanpa suara sambil beberapa kali dilirik para perawat dan pegawai rumah sakit lainnya, aku kembali berlari menuju Rumah Sakit untuk melaksanakan sholat Ashar. Berdoa dan meminta solusi ketika memiliki masalah berat saja, membuatku merasa menjadi hamba yang tidak tahu diri. Aku yakin Allah maha pengasih lagi maha penyayang, akan memberiku sebuah petunjuk.

"Seberat apapun masalah yang kamu hadapi, kamu harus tetap bahagia karena punya orang orang yang menjadi support sistem dalam hal apapun. Apalagi ketika kamu punya orang yang tidak akan meninggalkanmu, disaat kita berada di titik rendah. You know....not everyone has a peoples like that." Aku mendengar seseorang mengatakan itu pada ku setelah aku selesai melaksanakan sholat. Aku segera menghapus air mataku ketika mendengar perkataan seseorang yang seolah memberi semangat secara tidak langsung.

"Gibran?" Kataku dengan pupil mata yang melebar. Aku benar benar belum siap bertemu dengannya.

"Kamu nggak usah sedih karena dokter Fahril. Menangis nggak akan pernah menyelesaikan masalah apalagi kesalahan. Kesalahan ada untuk diperbaiki." Katanya sambil tersenyum tipis. Sepertinya, dia melihat aku di marahin dokter Fahril.

"Kamu ngapain disini?" Tanyanya lagi.

"Nyari Sulthan. Kamu tahu Sulthan ada dimana?" Kataku. Entah mungkin firasatku saja, aku merasakan raut wajah Gibran berubah saat aku menyebut nama Sulthan.

"Nggak, kenapa emangnya?" Katanya, mencoba santai.

"Nggak papa, kalau gitu aku permisi Gib." Tepat setelah mengucapkan salam aku pergi meninggalkannya begitu saja.

Aku pergi berjalan menuju bangsal bagian poli, UGD, ICU dan HCU mencari keberadaan pria itu tapi hasilnya tetap sama. Aku tidak menemukan Sulthan.

Jika ini bukanlah hal yang mendesak aku tidak akan mencari keberadaan Sulthan, apalagi sampai seperti ini. Aku ingin meminjam uang pada Sulthan untuk mengurus pasport layanan cepat agar dapat berangkat ke Madinah dalam waktu dekat ini, tidak perduli jika harus meninggalkan pendidikan keprofesian.

Cinta Setinggi Arsy-Mu {Done} Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang