36

9 1 0
                                    

Allah telah menulis takdir seluruh makhluk ciptaan-Nya semejak lima puluh ribu tahun sebelum penciptaan langit dan bumi.”
(HR. Muslim).
________________

Ya Allah, ujian apakah ini?

Hari ini sudah cukup melelahkan. Bukan hanya fisik yang lelah, namun hatiku juga. Setelah tadi pagi mengikuti sidang kedua, pejabat struktural rumah sakit mencabut hukumanku dan dokter Fahril mengajukan surat pengunduran diri daripada dipecat seperti yang Arfad ajukan.

Aku duduk di balkon kamarku. Memilin ujung jilbab ku dan menggigit bibir bawahku hingga terluka. Pikiranku berkecamuk tidak percaya.

Kenapa dia mempertanyakan hal yang jelas tidak mungkin terjadi itu padaku?

Pikiranku sangat lambat mencerna. Pasokan oksigen sepertinya terasa berkurang. Aku mencoba menetralkan nafas yang tercekat ditenggorokan, mencoba mencerna pertanyaannya.

Cinta? Dia bilang cinta?

"Pertanyaan gila apa yang kau lontarkan?!" Bentakku mendengar pertanyaan bodoh yang Arfad tanyakan padaku. Saat itu kami sedang berada dibagian lorong jalan pintas menuju parkiran karyawan rumah sakit yang sangat terlihat sepi.

Terimalah Arfan," dua kata itu yang diucapkan Arfad berhasil merobohkan pertahananku. Terasa seperti ombak yang menghantam ke ulu hati. Kenapa hatiku tidak menerima perkataannya barusan?

Aku tak memperdulikannya lebih lanjut dan memilih melanjutkan langkah kaki meninggalkannya. Aku masih mendengar dia memanggilku berkali kali namun tak kuperdulikan. Arfad masih dalam tahap pemulihan dan dia butuh banyak istirahat karena itu aku tak menghiraukannya daripada masalah ini semakin rumit.

"Kamu mencintai ku atau Arfan?" Tanyanya berhasil membuat darahku semakin mendidih. Aku tak tahu apa yang dia maksud dari setiap pertanyaan bodoh yang diberikan.

"Kenapa kamu diam?!" Satu oktaf darinya.

"Sikap mu membuatku bingung Arsy. Kamu cemas disaat aku dalam kondisi kritis. Kamu panik saat mendiagnosaku kalau aku mengalami pendarahan didekat jantung. Kamu pikir aku tidak sadar waktu itu?" Tanyanya. Kenapa dia harus menangis disaat saat hatiku dalam kondisi tidak baik. Dan kenapa dia harus menangis karena sikap ku?

"Dan kamu pikir aku nggak tahu, kalau kamu berdoa agar Allah tidak mengirimkan malaikat izrail untuk menjemput ku? Bahkan kamu rela melanggar peraturan rumah sakit dan menanggung segala resiko demi mengoperasiku, tanpa mau menunggu kedatangan dokter Fahril?"

"Disini yang menjadi pertanyaanku, bahkan kekhawatiran mu itu membuatku bingung, Sy. Apa itu ungkapan dari perasaan atau hanya sebatas kekhawatiran dokter pada pasien?"

"Stop!!! I don't want to hear any stupid thing from you." Kata ku dengan nada penekanan disalah satu kata dalam kalimatku.

Biarlah aku terlihat kasar di matanya, biarlah aku terlihat acuh di matanya dan biarlah aku terlihat buruk dimatanya. Aku tidak perduli. Detik selanjutnya, aku pergi meninggalkannya mematung sendirian ditempat itu.

Mengingat percakapan antara aku dan Arfad membuatku menghempaskan gelas didekatku dengan kasar ke arah dinding. Beruntung benda itu terbuat dari plastik bukan kaca, yang tidak menimbulkan suara jadi kak Akmal dan kak Abi tidak mendengarnya.

Aku mendengar suara mobil terparkir dibawah, entah mobil siapa itu aku tidak tahu. Yang pasti bukan mobil kak Abi dan Kak Akmal. Tak lama setelah itu, seseorang mengetuk pintu kamarku. Dengan segera aku membereskan cangkir yang aku campakkan tadi. Orang yang mengetuk pintu kamar ku akhirnya masuk setelah aku mengatakan 'masuk' dari dalam kamar.

Cinta Setinggi Arsy-Mu {Done} Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang