21

55 13 0
                                    


Sepertinya lebih baik berada di hari kemarin saja, tanpa harus melewati hari hari berikutnya. Perasaan dan pikiranku sedikit berantakan akibat terlalu memikirkan bagaimana perasaan Sulthan setelah aku menolaknya. Pasti dia tersakiti karena ku, walau aku tahu itu bukan salahku.

Masalahnya aku typical orang yang merasa tidak enakan pada orang lain dan paling anti memiliki problem atau konflik, apalagi dengan teman ku sendiri. Bahkan sekalipun aku yang salah, aku selalu meminta maaf lebih dulu. Mengalah bukan berarti kalah, kan?

Dan pihak kedua setelah Sulthan juga telah menyelimuti pikiran ku. Pesannya yang dia kirimkan masih belum aku balas bahkan aku sudah menghapusnya lebih dulu sebelum menjawabnya. Ada banyak kemungkinan yang juga menyergap benak ku tentangnya. Seperti, mungkin saja dia hanya bercanda dan ingin membuatku baper, mengingat bahwa kaum hawa identik dengan ke–baperan level tertinggi. Imposibble juga ketika itu dia lakukan dan jika itu memang benar, ku pastikan bahwa becandanya tidak lucu dan kelewatan.

"Kebanyakan dokter menyarankan agar pasiennya mengonsumsi sayur untuk menjaga kesehatannya tapi dokter itu sendiri tidak mencontohkan hal itu pada pasiennya. Rasanya satu suap salad sayur dikunyah satu abad." Kata kak Akmal panjang lebar ketika melihat salad sayur tidak berkurang sedikitpun di mangkuk ku.

Aku menatapnya datar seolah mengatakan 'tidak perlu berbicara panjang lebar kalau hanya ingin menyindirku.' Karena aku tahu something else dibalik ucapan dan sikapnya itu. Semuanya kentara sekali.

Sedari tadi aku memang hanya melamut mayonais yang berserakan di sendok tanpa menyenggol sayurannya sedikitpun. Aku tipe orang yang makan sedikit dan tidak bisa makan cepat.

"Perlu disuapin biar cepat makannya?" Kini kak Abi yang bersuara. Mendadak ingin menyuapi ku? Konyol. Mana mungkin seorang Abidzar Al Ghifari melakukannya jika ada hidden acc dibaliknya. Pasti ada yang salah dengannya.

"Kak Abi pergi aja sana ke kantor nggak usah nyuci piring, biar aku aja." Kata ku. Mencuci piring di pagi hari adalah kebiasaan terbaru kak Abi setelah mendengar bahwa istrinya sedang mengandung anaknya. Dia takut kalau mbak Syiffa kecapean karena pekerjaan kecil yang seharusnya dilakukan oleh ku, begitu katanya.

Mendengarnya kak Akmal menoleh ke arahku, sambil bertanya 'kenapa dengan lirihnya seolah tahu ada suasana mencekam yang mulai menyerbu ruang makan. Bukannya aku cemburu dengan mbak Syiffa yang sering mendapat perhatian lebih dari kak Abi. No, it's wrong. Karena aku tahu itu haknya mbak Syiffa sebagai seorang istri namun aku tidak suka jika kak Abi tidak bisa berlaku adil dalam membagi perhatiannya.

Aku menggeleng pelan. Tidak ada yang menarik dalam hidupku. Semuanya terasa membosankan dan monoton. Memang terkadang kehidupan yang orang lain jalani adalah kehidupan yang ku inginkan, begitu sebaliknya. Hal itu berlaku dan mutlak bagi siapapun, termasuk aku sendiri. Seperti apa yang aku alami sekarang.

Aku typical orang yang tidak pernah menceritakan masalah ku pada siapapun kecuali pada Allah tentunya dan selalu menutupi dengan topeng, kalau kata Haidar. Karena masalah itu datang untuk diselesaikan bukan untuk diceritakan. Hidup tanpa masalah terasa monoton dan masalah dalam hidupku juga terasa monoton. Itu sebabnya aku mengatakan tidak ada hal yang menarik dalam hidupku.

"Mau ikut aku nggak?" Tanya kak Akmal saat aku tak kunjung mengatakan apapun lagi, karena fokus ku sudah beralih pada handphone. Tanganku sibuk berselancar di instagram men–stalker aku ber–username @arfan.hafidh_ di aplikasi itu.

Aku tidak mendapatkan apa apa dengan men–stalker nya karena tidak ada satupun postingan yang memberikan ku informasi apapun tentang dirinya. Sebelum aku menutupnya, aku sempat membaca bio instagramnya yang bertulisan. Have a twins.

Cinta Setinggi Arsy-Mu {Done} Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang