"Darimana?"Langkahku terhenti pada ambang pintu kamar hotel. Menoleh sebentar kursi pada balkon luar, dan mendapati Jeno terduduk santai dengan segelas kopi panas diatas meja.
Tanpa bersaut, aku segera masuk kedalam kamar mandi untuk membersihkan diri sebentar kemudian berganti baju lebih santai.
"Kukira kau akan pergi beberapa hari." Aku mendudukkan diri pada kursi di sebelahnya, lalu bersandar.
"Kau tidak mendengarkanku."
"Astaga aku hanya makan malam didekat sini!" Sungutku tidak sabaran.
Sungguh, dia terlalu berlebihan. Bahkan sifat posesif-nya mengalahkan ibuku. Tidak habis pikir.
Lirikanku bertemu dengan netra terangnya. "Sudah makan malam?"
Butuh beberapa detik, sebelum suara rendahnya kembali terdengar. "Belum."
Aku terdiam.
Bibirku mengatup, kemudian melirik jam kayu berukir yang tergantung pada dinding disebelah televisi.
Hampir pukul sebelas malam.
Hmm..
"Mau makan apa? Biar aku pesankan."
Jeno mengerjap pelan, dengan fokus yang tidak pernah lepas dariku. "Tidak lapar."
Tanganku yang terlipat didepan dada mulai mengepal.
"Aku bilang makan."
Tatapanku memicing tidak suka, dan hanya dibalas raut tenang seperti sebelumnya.
Dia menghela pelan. "Aku sungguhan tidak lapar "
Terlalu keras kepala. Harusnya dia mengerti, jika dia sakit, aku yang akan sekarat!
Terserah lah, aku menyerah.
"Kalau begitu cepat tidur, sudah hampir tengah malam." Kemudian aku beranjak mendekatinya, lalu mengulurkan tangan. "Tidak boleh ada bantahan."
Suara helaan beratnya terdengar samar. Satu tangannya bergerak menyambut tanganku yang terulur, "Setelah ini-"
"Aku bilang tidak ada bantahan. Ayo tidur." Tanganku menariknya, namun baru satu langkah, kakiku terhenti saat dengan tiba-tiba tubuhku tersentak kebelakang hingga membentur badan kokohnya.
Tanpa peringatan, kedua lengan besarnya merengkuh tubuhku lalu mempertemukan bibirnya dengan milikku.
Aku terkesiap. Namun dalam hitungan detik, tangan ini mulai bergerak mencengkeram pelan kaos tipis yang melapisi dada bidangnya, ketika ia mulai memperdalam ciuman.
Mataku memejam, merasakan kecupan basahnya yang sedikit kasar. Kemudian, tanpa sadar kedua tanganku terangkat untuk mengalung pada lehernya.
Aku terlalu larut dengan ciuman ini.
Kulitku selalu sensitif terhadap sentuhannya. Dan deru napas memburunya yang menerpa wajahku, selalu sukses membuatku lemah.
Aku bisa merasakan Evelianor merasa puas didalam sana. Bahkan sebelumnya, serigala itu beberapa kali -dengan sedikit memaksa-, memintaku agar terus berada di dekat pria ini.
"Zeus terus memintaku untuk menyentuhmu." Sela-nya ketika tautan itu terlepas. Aku mengernyit. "Alter wolf-ku." Sambungnya yang membuatku mengerti.
Jadi, serigala hitam legam tempo hari yang kulihat, dia adalah Zeus, -mate Evelianor.
Aku tersenyum samar, sebelum dia menautkan ciuman itu kembali.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Elder's Mate [Nomin | GS]
FanfictionSeorang keturunan Pack rendahan yang ditakdirkan sebagai seorang Elder. Harus berjuang melawan sisi 'lembut' di dalam dirinya yang menginginkan mate, yang dapat membuatnya sebagai submissive. "I'm too powerful. And I hate it. They say, I was gifted...