+ XIII. ONE FINE DAY : What If ེ ོ

118 23 49
                                    

🌌 serein















































Suatu hari, di tempat nan jauh di sana.

Ketika kata 'Seandainya' berdiri apik di depan segalanya.

Seandainya...

"Elano lama banget, ngapain aja sih?!" Sakura marah-marah, matanya memelototi Elano yang malah cengengesan seakan tak bersalah.

Pagi ini, seharusnya seluruh mahasiswa tahun terakhir termasuk Sakura dan Elano datang sedikit lebih awal ke gedung tempat acara krusial ini dimulai. Wisuda. Mereka akan berwisuda hari ini.

Namun, lihat saja. Bagaimana Elano yang masih menyisiri rambut berlapis pomade dengan santainya. Menghadap cermin seukuran tubuh dengan parfum maskulin favorit Sakura menguar dari tubuhnya.

Gadis itu dibuat tak habis pikir, bisa-bisanya Elano membuatnya datang dengan menggunakan taksi yang mana ia sendiri sulit untuk berjalan dikarenakan pakaian yang ia kenakan hanya untuk menghampiri Elano yang masih sibuk merias diri, padahal jelas-jelas lelaki itu sudah berjanji untuk menjemputnya pagi ini. Seharusnya, setengah jam yang lalu. Oh iya, ini Elano, jangan lagi percaya janjinya.

Tidak, tidak, maksudnya bukan begitu.

"Lah, ngapain kamu?" kernyit Elano. Tampaknya ia sudah selesai berdandan meski masih mengagumi dirinya. Lihat saja ekspresi puas di wajah penuh percaya diri-yang sebenarnya wajar karena ia tampan-itu.

Ia heran karena tiba-tiba saja Sakura menggeleng, menepuk pipinya yang merona karena make-up beberapa kali. Elano jadi penasaran, apakah semalam Sakura sempat menghabiskan beberapa cangkir kopi? Karena seingatnya, perilaku gadis itu akan berubah menjadi sedikit aneh setelah mengonsumsi minuman berkafein itu.

"Kamu... abis ngopi, ya?"

Sakura mendelik. "Apaan sih? Kok jadi nyalahin kopi? Kasihan tahu, padahal dia diciptakan dengan banyak manfaat dan kamu bisa-bisanya malah nyalahin dia kayak gini? Mana peri kekopian kamu, Elano?"

Elano terdiam. Bukannya tergerak atau tertohok, ia justru semakin merasa yakin bahwa Sakura benar-benar sudah menghabiskan bercangkir-cangkir kopi semalam.

"Itu, kenapa juga nggak ditutupin bener-bener? Kamu mau bikin orang-orang takut ngelihat bekas luka di selangka kamu yang tambah nyembul itu?" Seakan tak cukup, Sakura kembali mengomel. Menunjuk-nunjuk objek yang dimaksudnya sembari meraih sebuah concealer lanjut mengoleskannya perlahan.

Gadis itu menghela napas. Tulang selangka Elano terasa jelas di bawah aplikator concealernya sekarang."Kamu sebenernya makan nggak sih?"

Si Mahaprana tak menjawab. Mulutnya sempat terbuka, namun kemudian kembali tertutup. Sakura yang dulu bukanlah yang sekarang. Sejak saat itu, Sakuranya sedikit menjadi lebih galak. Kerjaannya adalah mengomel tiap hari karena Elano yang semakin lama semakin menjadi dan malas-malasan.

Omelan gadis itu selalu sepanjang Trisula Poseidon dan gelombang suaranya menyamai sepanjang trisula itu dihempaskan. Namun, mulutnya akan otomatis berhenti setelah mulut yang diomeli membungkamnya dengan paksa atau karena pandangannya yang jatuh kepada beberapa bekas luka sukar hilang di beberapa bagian tubuh si lelaki.

Entah itu yang ada di dahi, tulang selangka, dada, pinggang, perut, hingga punggungnya.

Bekas luka yang benar-benar sukar hilang dari ingatannya.

Pandangan Sakura selalu menyendu acap kali indranya mulai kembali kepada saat itu. Air mata dan isakan keluar tanpa bisa dibendung, dan dekapan, usapan lembut, kata serta kecupan menenangkan Elano akan selalu ada setelahnya.

[ ✔ ] SEREIN Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang