"Nggak nawarin Abim masuk?"
Rea menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Harus?"
Abim menganggukkan kepalanya.
"Ngapain?"
Abim terdiam sebelum akhirnya menemukan alasan yang bagus. "Kan Abim nggak bisa pulang karena motor Abim di Sekolah, Abim mau minta jemput Fazran."
"Terus?"
"Ya masa Rea tega biarin Abim nunggu Fazran di pinggir jalan?"
"Ya Abim pulang naik taxi aja atau ojek online gitu," Rea mencoba menolak ide Abim yang hendak masuk ke rumahnya yang tengah tidak ada siapa-siapa itu.
"Uang Abim abis..."
"Dih Abim jajan apa aja sih sampai abis gitu?" dumel Rea pada laki-laki yang tengah tersenyum sambil memamerkan deretan giginya itu.
Bukannya menjawab pertanyaan Rea, laki-laki yang masih duduk di atas jok motor Rea itu justru balik bertanya. "Rea seriusan nggak bolehin Abim nunggu di dalem?"
Rea mulai kebingungan. Di satu sisi ia tidak mau mengizinkan Abim masuk ke rumahnya yang kosong karena takut hal-hal yang diinginkan Rea terjadi. Tapi di sisi lain Rea mana pernah tega pada Abim.
"Gimana?"
Rea mendesahkan napasnya. "Oke deh. Abim boleh masuk tapi Abim tunggu di teras aja sampai Fazran datang ya?"
"Loh mama nggak ada?"
Rea menggelengkan kepalanya. "Lagi ke rumah saudara Rea mamanya."
Abim menganggukkan kepalanya. "Oke kalau gitu Abim tunggu Fazran di teras rumah Rea."
Rea ikut menganggukkan kepalanya juga.
***
Abim duduk di teras lantai rumah Rea. Ada kursi sebenarnya, tapi Abim memilih untuk duduk di lantai. Biar adem pikirnya. Kebetulan cuaca siang ini memang cukup panas karena matahari sedang terik-teriknya.
Dan disinilah Abim. Sendirian dengan pemandangan tumbuhan-tumbuhan di Taman kecil depan rumah Rea di dalam pagar.
Abim lalu menoleh pada motor milik Rea yang sudah terparkir. Abim tersenyum menatapi motor yang sudah tentu jauh sekali dari motor miliknya yang ditinggalkan di Sekolah. Motor yang biasa dibawa mantan kekasihnya kemanapun. Motor yang selalu Abim percayakan akan membawa Rea kembali ke rumahnya dengan selamat. Kalau dipikir-pikir membayangkan Rea memakai motor itu kemana-mana, lucu juga. Abim pun terkekeh kecil.
Abim menoleh pada kaca jendela rumah Rea. Dan dia bisa melihat pantulan wajahnya disana.
Apa tadi Abim tersenyum dan tertawa kecil? Abim bertanya pada dirinya sendiri.
Sejak kapan Abim bisa tersenyum hanya karena sebuah motor?
"Ini, buat Abim..." kata Rea yang memberikan segelas air putih pada Abim dan mencoba segera meninggalkan Abim dengan masuk ke rumahnya tapi tangannya ditahan oleh Abim.
Rea melepaskan genggaman tangan Abim dan menatap Abim bingung.
"Sini aja duduk samping Abim."
"Ih ngapain?" sanggah Rea sambil berusaha bersikap sinis.
"Abim tau Rea sebenernya pengen duduk di samping Abim kan?"
"Ih nggak! Pede banget dih!"
Abim mengangkat alisnya dan ekspresinya datar.
"Kalau gitu Abim yang minta Rea temenin Abim bisa?"
"Hah?"
"Duduk sini, please?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Psycho
Teen Fiction"They call me psycho. Tapi gue bukan psycho serem yang dibayangin orang-orang. Gue psycho nya dalam hal cinta. Dalam mempertahankan hubungan cinta gue sama dia. Apa salah?" - Edrea Clarinta Ramaniya. _Jungri lokal vers_