Bab 12

8K 814 27
                                    

Samurey menepikan mobil di depan rumah minimalis bewarna abu sesuai instruksi Seina. Rumah sederhana berlantai satu, di depannya terdapat beberapa pohon, dan tanaman obat-obatan yang begitu terawat.

Seina membuka pintu, lalu turun dari mobil itu, "Terimakasih Pak." Ucapnya, tanpa berniat menawarkan sang dosen untuk mampir.

Seina berjalan tanpa minat, dibukanya gerbang setinggi dadanya itu dengan pelan.

Ketika baru saja membuka pintu sudah di suguhkan pemandangan tak mengenakkan, sang Mama siap mengomel, "Dari mana saja kamu Seina?"

Seina menatap sang mama dengan datar, jika sudah seperti ini ia tak bisa berbuat apa-apa, jika ia meluarkan semua unek-unek yang ada didalam hatinya hanya akan mengakibatkan ia menjadi anak durhaka, karena sekali kata yang terluar dari mulutnya pasti akan menyakiti sang Mama, namun kadang jika ia sudah tak tahan, kelepasan. "Abis rapat sama dosen, bahas penelitian ma."

"Tadi Bu Rena menelpon mama, nanyain kamu dimana, kok enggak bisa di hubungi." Terang Mama dengan raut kesal.

Seina terkejut, di ambilnya handphone dari Saku celana, lalu dibukanya, ternyata benar ada beberapa pesan, dan tiga panggilan tak terjawab dari Bu Rena, Ibu yang menghandle toko tempat nya bekerja, setahu Seina Bu Rena bukan pemilik aslinya. Pasti karena terlalu sibuk dengan masalah, hingga mengabaikan handphone.

"Seina enggak sempat buka handphone tadi ma."

"Nahh kannn!!! Sudah Mama bilang buat apa ikut-ikutan kegiatan seperti itu, lebih baik kamu fokus kerja saja! Sudah dari awal mama tidak setuju kamu kuliah, lebih setuju kamu melanjutkan kerja, menambah beban kakakmu saja." Ucap sang mama marah, kesal dengan sifat Seina yang tidak mengikuti ucapannya.

Andai mama tau ma, penyebab Seina tidak sempat membuka handphone bukan karena rapat itu, tapi karena lelaki brengsek itu!!
Namun Seina sudah berjanji kepada diri sendiri untuk tidak memberi tahu siapapun.

Seina menunduk terdiam, sudah lelah membahas ini, padahal tak sepeserpun ia meminta biaya kuliah dengan sang mama. Semua hasil jerih payahnya bekerja sejak lulus SMA, Seina tidak langsung kuliah melainkan bekerja terlebih dahulu. Jika uangnya tak cukup pun mana berani dia meminta dengan orang tua selalu meminta dengan Mahes, sang kakak yang sudah bekerja.

"Kegiatan apalagi kali ini?"

"Seina ada projek lomba penelitian ma."

"Pasti menyita banyak waktu! Sudah mama bilang berapa kali, jangan terlalu banyak kegiatan menghabiskan uang bolak balik sana-sini, belum lagi menyita banyak waktu, pekerjaan mu terbengkalai."

Apakah tidak bisa sang mama memuji anaknya bisa mengikuti lomba, bangga anaknya aktif mengikuti kegiatan, bukan malah melarang seperti ini, sepertinya semua yang dilakukan Seina akan salah di mata sang mama. Lain cerita jika ia mendapat bonus lebih dari tempatnya bekerja, sudah pasti Mama akan memuji.

"Bukan mama tidak adil, tapi coba lihatlah keadaan sekarang, akan lebih baik jika kamu tidak kuliah, bisa membantu perekonomian."

Sakit..
Meskipun sudah biasa menghadapi perkataan seperti itu, tapi masih terasa menyakitkan. Air mata hampir menetes, tapi Seina sudah bertekad tidak akan mengeluarkan air mata didepan keluarga.
Belum masalah di kafe tadi hilang di tambah sang mama, sepertinya kepala kecil Seina tak kuat menampung semua beban ini.

"Mama ini lelah Seina." Ucap sang mama lirih. "Gimana kalo Bu Rena menelpon karena ada hal penting? Bagaimana jika karena kamu tidak mengangkat kamu akan di pecat? Bagaimana biaya kuliah kamu Seina? Mama tidak mungkin membiayai, apalagi Papa mu, tidak ada pekerjaan dari mana uang?"

Stupid I Love You (End) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang