Bab 4

9.3K 1K 29
                                    

Sepertinya kali ini akan menjadi pertengkaran yang panjang. Seina mendengar di luar kamar, Mama terus-menerus memaki Papa. Seina terkejut, selama ini tiap kali mereka bertengkar tidak pernah Mama Sampai memaki Papa, biasanya kalau mama sudah terlanjur kesal akan lebih banyak diam, dan akan terus mengomel di depan anaknya memaki Papa ketika Papa tidak ada.

Kali ini berbeda, Mama mengeluarkan semua unek-unek nya, jika situasi seperti ini Seina selalu bingung berpihak kemana. Seina kesal dengan sikap Mama yang seperti ini, tapi jika di pikir, bila kita ambil dari sudut pandang mama Seina tidak tau sepenuhnya yang dia rasakan, harus mengurus keluarga membeli kebutuhan dengan uang yang sangat minim, mungkin wajar ia selalu menyalahkan papa yang tidak bekerja. Tapi jika dilihat dari kata-kata Papa yang selalu ia ucapkan, "ini ujian dari Allah, Papa sudah berusaha mencari kerja sana-sini, tapi belum di di beri Allah, yang kita butuhkan hanya bersabar setelah berusaha." ucapannya selalu diingat Seina. Benar yang diucapkan Papa harusnya mama mengerti hal itu juga, mungkin yang di pikirkan mama realistis keadaan saat ini saja. Ntahlah ..

Seina membuka pintu kamar, dilihatnya muka sang Papa benar-benar sedang menahan amarah, jujur ia takut. Ia tidak tau masalah besar apa kali ini. Tadi tidak mendengar jelas dari kamar.

"Semua ini salah kamu Pa!" Teriak Mama sambil menahan air mata.

"Jangan menyalahkan, seolah-olah kamu yang paling menderita." Balas Papa dengan amarahnya.

Sudah cukuppp..

Seina putuskan berlari menuju kamar, disambarnya dengan cepat sweater baby blue yang dipakainya tadi, beserta jilbab di sampingnya, asal  pakai tak tau bentuknya seperti apa.

Keluar rumah. Berjalan di hening malam adalah tujuannya. Selalu seperti ini jika Seina ingin menangis, selalu menghindar dari orang lain bahkan keluarganya sendiri. Mereka tidak tau sudah seberapa banyak air mata yang keluar ketika sedang sendiri di kamar, ketika diam di kamar mandi, atau seperti ini luar berjalan tak tentu arah.
Yang penting dirinya bisa meluarkan emosi ini.

Akhirnya Seina berhenti di taman depan gang, lumayan bisa menenangkan pikiran sejenak. Mengapa harus selalu dirinya yang menyaksikan pertengkaran, sulitnya hidup. Mengapa tidak kak Mahes saja dia kan sudah dewasa dan bisa melerai, atau kak Sheril sekali-kali dia mendengar hancurnya keluarga ini, Lirihnya.

Seina benci terlahir menjadi anak bungsu, mengapa orang-orang selalu iri terhadap anak bungsu, anak bungsu lain pun sepertinya enak sekali, di manja dan sebagainya. Mengapa dirinya berbeda??
Ia si bungsu yang harus memikul beban beratt, selalu mendengar pendebatan orang tua, selalu mendengar keluhan mama ketika akan mengirimkan uang bulanan kakak-kakaknya.

Bagaimana selalu bertengkarnya Papa dan Mama ketika kakak-kakaknya membutuhkan uang dan keadaan benar-benar tidak memiliki uang, selalu dirinya yang menyaksikan.
Seina pun imbas dari keadaan ini, harus memikul beban yang tidak seharusnya kupikul. Jangan anggap anak bungsu selalu enak ya, tidak juga, ini buktinya dirinya tidak.

Dipandangi langit sambil menahan air mata yang akan keluar. Kegiatan ini menenangkan, walaupun mengakibatkan segala emosinya keluar. Disini ditengah sepinya taman malam, Seina meluapkan segala keluh kesah  kepada langit dan disaksikan bumi.

Setelah puas mengistirahatkan pikiran. Diputuskan nya balik, ia lelah, ingin cepat-cepat tidur sambil memeluk Niki, pasti nyaman sekali, mengapa bagi Seina bulu kucing itu sangat menenangkan, ia sempat heran dengan orang yang sampai teriak-teriak ketika didekati kucing, apa seramnya sih.

****

Seina berjalan sambil memasukkan kedua tangannya ke dalam saku sweater. Mukanya masih sangat kusut mata yang membengkak akibat kelamaan menangis. Jilbab yang sudah tak karuan.

Stupid I Love You (End) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang