Rumor

204 14 0
                                    

Bima POV

Gue enggak nyangka, kabar gue nyemplung ke sungai udah jadi omongan anak-anak di sekolah keesokan harinya. Kaget gue, bahkan janitor sekolah sampe nanya, "Bima, kamu beneran kelelep di sungai?"

Tunggu dulu.

Siapa yang menyebarkan rumor kalau gue kelelep di sungai???? Yang ada: gue nolongin orang kelelep!

"Biar hidup lo enggak melulu indah, Bim. Bima-nolong-orang-di-sungai udah last year banget." Ujar Ramli sambil asik maen games di hapenya.

Kampret emang. Pasti si kribo ini yang bikin gossip enggak-enggak.

"Tadinya malah pengen kita tambahin 'Bima kelelep di sungai karena nangkep ikan cupang'." Timpal Dika.

"Atau 'Bima kelelep di sungai karena enggak tega tainya hanyut sendirian'. Hahaha!"

PLAK! Gue jitak kepala si Ramli dan si Dika.

"Bangsat lu semua. Hidup gue mulai enggak tenang nih. Semuanya pada nyamper gue, nanya gue kenapa, gimana kejadiannya. Capek gue."

Ramli dan Dika saling menatap satu sama lain. Lalu dengan santai berkata...

"Siapa suruh cakep?"

"Makannya muka biasa aja kaya kita biar hidup tenang."

Lalu mereka tos. Meninggalkan gue yang misuh-misuh sendirian. Ngeluh sama mereka emang enggak guna.

Lalu mata gue menyapu ke sekeliling. Kalau kabar gue nyempulung ke sungai jadi trend di sekolah, gimana kabar si Kenzo? Keseret trend juga enggak yah dia?

"Kenzo mana?" tanya gue singkat.

"Auk." Jawab Ramli cuek, lalu lanjut main games.

"Napa lo akhir-akhir ini sering tanya soal Kenzo deh?" Kini giliran Dika yang bertanya. Ada nada penasaran di sana.

"Emang aneh?" Alis gue mengerut. "Yang nyemplung ke sungai kan bukan cuma gue doang." tanya gue balik dengan bingung. Emang enggak boleh tanya soal Kenzo?

"Nah itu... karena ada lo, jadi si Kenzo kalah pamor." jawab Dika.

"Sialan lo!"

"Udahlah, Dik... si Bima kan emang kaya gitu anaknya. Baik hati, tidak sombong, dan digandrungi kaum hawa." Sahut si Ramli—walaupun gue tau dia ngucapin itu dengan nada menyindir. "Tapi mending, lo jauh-jauh deh dari dia." Lanjut si Ramli.

"Hah, siapa?" tanya gue makin bingung.

"Ya, Kenzo lah bego! Masa tai lo yang hanyut di sungai?"

"Ck, emang kenapa si Kenzo?" Tanya gue lagi, makin penasaran.

"Denger-denger sih katanya dia homo."

"HAH?!" Gue memekik tajam. Sampai-sampai mulut gue di sumpel buku sama si Dika.

"Berisik anjir!" Hardik Dika.

"Sory, sory! Heh, serius lo?! Gosip dari mana? Lo tahu juga Dik?" tanya gue dengan nada berbisik, menutut, dan penasaran.

"Gue enggak tahu." Sanggah Dika. "Enggak tahu juga nih anak dapet gosip dari mana. Jangan ngarang lo!" Tabog Dika di kepalanya si Ramli.

"Duh, bukan gue yang gosipin, anjir! Gue juga denger dari orang!" seru Ramli kesakitan yang kepalanya di tabog si Dika. "Emang lo berdua enggak ngerasa aneh dia enggak punya temen? Ngomong sama orang aja enggak."

Gue mikir ucapan Ramli. Lhaaaaaaaaaa apa hubunganya? Orang yang enggak punya temen dan enggak ngomong sama orang bukan berarti dia homo kan?

"Introvert kaliii." Bela gue. Sebenarnya gue ngasal—enggak tahu juga. Tapi siapa tahu ... sikapnya yang jutek, dingin, dan enggak tau terimakasih itu bagian dari introvert.

Tapi pembelaan gue malah dapet gelengan kuat dari si Ramli. Sampai-sampai dia naro handphonenya biar omongannya dianggep serius.

"Sekarang gue tanya sama lo berdua," Tunjuk Ramli ke arah gue dan Dika. "Lo berdua tau enggak kalau si Kenzo setahun lebih tua dari kita?"

Gue dan Dika sama-sama menaikan alis. Enggak paham dengan arah pembicaraan si Ramli.

Ramli tersenyum penuh kemenangan, seakan-akan dia tahu semua gosip yang terjadi di sekolah ini dan kita semua payah.

"Dia telat masuk SMA karena ada masalah di SMP nya dulu. Drop out! Gosipnya mulai dari suka tawuran sampai suka laki. Oh—gue denger cerita ini dari sepupu gue yang satu SMP sama dia. SMP si Kenzo di XYZ kan? Berarti bener itu! Jauhin deh mendingan. Daripada nular homonya!"

"Kan baru gosip." ujar gue.

Dika nempeleng si Ramli. "Enggak gitu juga kali. Gay itu bukan penyakit. Lo kira kudis sampe bikin nular? Buktinya kakak gue gay tapi enggak bikin gue gay juga 'kan?"

Perhatian gue teralih. "Hah? Kakak lo gay, Dik?"

Dika ngangguk santai. Lalu nepuk pundak gue seolah teringat sesuatu.

"Oh—Kakak gue sempet naksir sama lo."

"............."

"Tapi sorry, kakak gue udah punya pacar. Lebih ganteng dari lo."

"............."

Decakan dari bibir Ramli yang bikin fokus gue teralih.

"Gue sih enggak bisa ya, deket sama orang yang kaya gitu. Ngeri di colek gue!" Ucap Ramli sampai bergidik, yang di balas Dika dengan cool.

"Orang homo juga liat-liat kali. Ya kali orang macam lo dicolek sama mereka."

Gue ngakak dan mendapatkan tatapan sinis dari si Ramli.

Istirahat belum usai, tapi gue izin kembali ke kelas duluan sementara Ramli dan Dika masih asik di kantin. Sepanjang perjalanan menuju kelas, banyak hal yang gue pikirin. Lantas semuanya menjadi terlihat lebih masuk akal sekarang.

Jadi itu yang bikin Kenzo begitu anti-sosial? Kalau yang diceritain Ramli itu benar, apa salahnya?

Tawuran—kenakalan remaja di masa sekolah. Nakal laki. Hal yang wajar gue rasa.

Homo—enggak ada yang salah juga dengan itu.

Selama dia enggak bikin orang rugi, masih berbuat baik dengan sesama—sejatinya dia juga manusia sama seperti yang lainnya.

Gue pribadi bisa memahami itu. Sebagaimana Dika yang terima kakaknya gay, Gue pun enggak menganggap hal-hal yang berbau LGBT+ itu dosa atau penyakit. Tapi, tentu dunia enggak seterbuka itu pikirannya. Ada yang reaksinya seperti Ramli: antipati, takut, paranoid dan ujung-ujungnya menganggap hal yang berbeda itu adalah hal yang berbahaya.

Apakah itu yang dirasakan Kenzo—bahwa dia dianggap berbahaya oleh lingkungannya sehingga ia membangun tembok sebegitu tebal dan tinggi untuk menutup diri, menyembunyikan dirinya?

Bukankah itu sungguh menyiksa? Tidak bisa menjadi diri sendiri dan berpura-pura seakan-akan semuanya baik-baik saja... tidakkah Kenzo merasa kesepian?

Pikiran gue yang awut-awutan itu buyar ketika gue liat ada tote bag berwarna hitam di atas meja gue. Gue bingung, punya siapa itu? Seingat gue, gue enggak bawa tas tambahan ke sekolah. Pun sepengalaman gue dapet hadiah dari fans (cewek-cewek yang suka jerit histeris itu), enggak ada yang sembarangan ngasih barang kaya gini. Minimal dibungkus rapih, ada pitanya, dan berwarna pink.

Gue mencoba buka tote bag itu dan mendapati isinya ternyata baju gue sendiri.

Oh!—Ini baju yang Kenzo pinjem kemarin!

Gue langsung liat-liat ke sekeliling, mencari sosoknya. Dia emang bukan tipe anak yang suka stay di kelas saat istirahat, tapi ngeliat tasnya aja bahkan enggak ada di meja, gue jadi curiga.

"Woi, pada liat si Kenzo kemana enggak?" tanya gue ke sembarang anak yang ada di kelas. Siapa tau ada yang liat Kenzo.

"Si Kenzo pulang cepet kayaknya. Tadi gue liat dia izin ke ruang guru sambil bawa tas."

Bertepatan dengan penjelasan itu, bel sekolah berbunyi. Tanda bel masuk untuk memulai belajar kembali.

Gue seperti merasa kecolongan.

SECRET CONFESSIONSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang