Teman

177 7 2
                                    

Kenzo meremas kuat telapak tanganya yang terasa linu. Seperti ada aliran listrik dari ujung kakinya yang menjalar ke kepala lalu menghentikan kinerja otaknya saat itu juga.

Sesaat setelah bibi mengizinkan Bima masuk ke dalam kamarnya yang sempit, Kenzo tak berani sedikitpun menatap Bima. Menatap ujung kaki nya saja tidak.

Kenzo baru saja ingin mempersiapkan mental, tapi tidak untuk ini. Ia selama ini selalu beranggapan Bima akan menjauhinya. Bima yang datang menghampirinya tidak pernah ada di skenarionya sehingga ia menjadi kalut dan bingung. Bagaimana ini?! Sungguh ia ingin menangis saking tidak berdayanya. Tapi dibanding itu semua, ia selalu ingin menangis jika melihat sosok Bima.

Bima dengan seragam SMA putih-abunya, masih berdiri tak jauh dari ujung tempat tidur Kenzo. Menunggu dipersilahkan untuk duduk. Namun, yang punya kamar nampak sedang sibuk dengan pikirannya sendiri, sehingga ia menarik kursi belajar Kenzo lalu mendudukinya.

Gesekan suara kursi membuat Kenzo tersentak. Rasa-rasanya gerakan apapun yang dibuat Bima saat ini membuat Kenzo sensitif.

Bima meminta maaf karena telah membuatnya terkejut, sementara Kenzo berusaha mengontrol agar air matanya tidak jatuh.

Tidak ada suara di antara keduanya. Yang terdengar hanya suara kipas angin.

Ini bukan kali pertama Bima masuk ke dalam kamar Kenzo. Dulu, waktu Kenzo dalam keadaan sakit juga, Bimalah yang memapahnya dan membaringkannya di kasur. Lalu obat-obatan yang tergeletak di samping Kenzo membuat Bima sadar bahwa Kenzo benar-benar sakit.

"Kata Bibi lu demam. Udah enakan?" tanya Bima peduli.

Kenzo mengangguk samar, tak mampu bersuara.

Lalu tak ada komunikasi lagi.

Bima menyapu pandangan. Di samping bungkus obat-obatan, segelas air minum, dan semangkuk kecil berisi apel kupas, tergeletak handphone Kenzo yang kuno. Bima meraih handphone itu dan memeriksanya. Mati total. Entah kehabisan daya atau sengaja dimatikan.

"Handphone lu mati. Gue sama Dika ngehubungin lu berkali-kali..."

Kenzo menundukkan muka. Malu karena ketangkap basah. Niatnya untuk menghidar ketahuan.

Kenzo masih tak sanggup melihat Bima. Sementara Bima diam-diam mengamati kondisi Kenzo.

Baru tiga hari tidak melihatnya, kenapa Kenzo malah terlihat lebih rentan? Ada jejak basah di ujung matanya. Mata dan hidungnya sembab. Apakah dia habis menangis?

Kenzo sadar Bima sedang mengamatinya. ia semakin memalingkan muka. Tak sanggup, sungguh. Rasanya ingin menghilang.

Mungkinkah Bima meminta penjelasan, soal dirinya yang gay? Penjelasan mengapa Kenzo membohonginya? Menipunya? Haruskah Kenzo menjelaskan bahwa ia tidak ada maksud tertentu? Haruskah Kenzo menjelaskan bahwa Bima adalah teman dan tidak lebih? Haruskah Kenzo memohon untuk Bima tidak membencinya?

"Sorry...." gumam Kenzo memecahkan keheningan. Kenzo masih menunduk menyembunyikan wajahnya tapi aura sendu tak mampu menghilang dari sisinya. Ia tahu terlihat menyedihkan, tapi apalagi yang bisa ia tampilkan dan ucapkan selain kata 'maaf'? Kenzo tidak minta lebih. Ia hanya ingin dimaafkan. Jadi Tuhan... tolong jangan menghukumnya lagi.

"Sorry, Bim..."

Bima menggeram dalam hati. Kemarin saat Kenzo berulang kali meminta maaf, Bima hanya terdiam. Bukan mengabaikan, hanya dia tak tahu berbuat apa.

Kini, Kenzo meminta maaf kembali. Jika kali ini ia tidak berbuat sesuatu, ia yakin akan menyesalinya seumur hidup.

Bima meraih tangan Kenzo yang gemetar namun segera ditepis oleh Kenzo yang terkejut. Saking terkejutnya Kenzo seperti meminta penjelasan dari matanya, apa yang lu lakuin, Bim?!

SECRET CONFESSIONSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang