Urusan Belum Selesai

164 13 0
                                    

Kenzo POV

Gue menerima surat balasan dari Bima yang sepertinya diam-diam dia sembunyikan di laci meja gue—sebelum gue kira sampah dan nyaris membuangnya.

Gue baca tulisan itu dengan seksama, bahkan sambil ngucel-ngucel mata, memastikan itu benar tulisan dia atau bukan. Meski nama yang tertera Bima, bisa saja dari orang lain kan? Tapi siapa orang lain yang bisa kaya gini selain si kunyuk itu? Dan jelas-jelas ini memang tulisan dia. Tulisan cakar ayam ini sama seperti tulisan dia kemarin yang nyuruh gue buat makan buah pir.

Gue remas tulisan itu dan gue masukkan ke saku celana dengan kasar.

Ngapain sih dia?

Gue bersembunyi di balik tembok ketika gue lihat di depan pintu gerbang, Bima sedang bercakap-cakap dengan Lisa. Lisa nampaknya kecewa dan marah ke Bima. Mungkin karena janjinya untuk menemaninya ke mall batal mendadak. Bima tampak berusaha menjelaskan namun Lisa tetep merengek sambil memainkan ujung baju Bima.

Lalu gue memutar badan sehingga pandangan gue tak lagi ke mereka. Masih bersembunyi di balik tembok gue menarik nafas dalam-dalam.

Waktu pun berdetik. Terus berjalan.

Suasana sekolah tidak lagi ramai seperti tadi karena nyaris semuanya sudah balik ke rumah masing-masing. Ada yang baru pulang, mungkin baru selesai kegiatan ekstrakurikuler dan nyaris semuanya menyapa Bima yang masih berdiri di depan pintu gerbang. Sudah sekitar satu jam dia menunggu di sana, dan sudah selama itu pula gue bersembunyi di balik tembok.

Apa yang gue lakuin? Sembunyi di sini kaya orang bego...

Kenapa dia masih di sana? Apa yang bikin dia mikir kalau gue bakal nyamperin dia?

Tapi melihat senyum di wajahnya saat gue datang, menghampirinya, membuat gue yakin ini orang beneran gila.

"Apa?" tanya gue. Suara gue mungkin mendem karena gue lagi pake masker, tapi aura gue jutek. Semoga dia paham.... Walaupun kayaknya enggak ngaruh ke dia.

"Gue tahu lo bakal dateng."

"Sotoi lu. Bisa aja 'kan gue gue langsung pulang."

"Ya, tapi lo akhirnya disini. Nemuin gue." Sambungnya lagi yang bikin gue mencibir sinis.

"Bukannya lo hindarin gue habis-habisan hari ini?"

"Hooo... sadar? 'Kan lo maunya begitu."

Gue mendadak merasa kesal. Gue enggak suka ngeliat senyumnya seakan dia tahu segalanya dan bikin dia jadi belagu.

"Emang itu mau gue! Yaudah, gue balik!"

Emosi yang memuncak ini bikin gue pengen segera pergi dari sini--dari Bima. Tapi... Bima menahan. Ia menarik tangan gue.

"Sorry, Sorry...enggak maksud bikin lu kesel. Cuma gue bingung... lu ngejauh setiap kali gue ngedeket, tapi giliran gue yang ambil jarak, lu malah uring-uringan." Ungkap Bima dengan tatapan menembus, membuat gue canggung tapi juga menusuk secara bersamaan.

Mata gue berlari-lari, tak ingin tertangkap arah pandangnya.

"Gue enggak uring-uringan."

"Ya udah... yang penting lu Jangan pulang dulu. Hape gue gimana, nih? Masa lo cuma kasih nomor toko nya doang?" tanya Bima membawa kami ke topik seharusnya.

"Lha, emang mau apa lagi? Lu tinggal hubungin aja itu nomornya." jawab gue setelah berhasil mengatur diri dan batuk sesekali.

"Kalau gue yang telepon, sama aja bohong dong. Sama aja lu lepas dari tanggung jawab kalau gini."

Gue melongo dan mencoba memahami apa yang mau dari si kunyuk ini. Tapi nihil, gue enggak ngerti apa mau dia. Sambil berdecak, gua ambil kertas bertuliskan nomor toko itu dari tangan Bima.

"Yauda sini, gue yang telepon buat tanya alamat. Lo tinggal ke sana nanti--"

Alih-alih membiarkan, Bima malah menjauhkan handphone dari telinga gue.

"Gue maunya lo temenin gue benerin hape."

Kali ini melongo gue enggak ke kontrol. Gue tepis tangan Bima.

"Jangan ngelunjak. Udah bagus gue kasih nomor telepon tokonya sampai-sampai gue bantu teleponin buat nyari alamat---"

"Kok ngelunjak?" potong Bima lembut. "Kan gue yang dirugikan di sini. Wajar dong gue minta pertanggungjawabannya sesuai dengan cara gue? Gue maunya lo temenin gue. Apa ruginya buat lo? "

Gue hening. Apa ruginya buat gue? Banyaaaaak!  jerit gw dalam hati.

Gue terdiam. Memandang dia dengan tatapan heran, kemudian berubah menjadi menantang. Tapi terlihat sekali Bima pantang menyerah.

"Fine. Terserah. Yang penting gue enggak harus ganti hape mahal lu itu."

Bima tersenyum lebar.

SECRET CONFESSIONSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang