Gabrian melirik sejenak ke arloji yang dikenakannya dipergelangan tangan kiri. Jarum jam menunjukkan pukul sebelas pagi. Lalu kembali memusatkan atensi ke pemuda yang duduk tepat di sebelah kiri. Tatapannya masih sama. Masih menatap dengan sebegitu sejuk dan teduhnya. Meski tahu jika saat ini cuaca sedang terik menyengat, tapi percayalah, tatapan yang selalu Gabrian layangkan pada pemuda dengan pemilik nama Metawin itu selalu terlihat sejuk.
Seperti hak khusus yang hanya dimiliki Metawin,
“Habis ini masih ada kelas?” tanya Gabrian sembari tangannya itu terulur untuk mengusap peluh keringat yang menetes dari pelipis Metawin dengan selembar tisu.
Yang ditanya lantas mengangguk,
“Masih. Nanti habis jum'atan baru dilanjut lagi.”
“Sebentar lagi ya jum'atannya?”
“Iya, sekarang belum adzan. Aku masih mau sama kamu dulu. Gapapakan?” tanya Metawin yang diakhiri dengan seulas senyum tipis disana.
“Gapapa dong. Aku seneng malah bisa pacaran dulu sama kamu.”
Lalu keduanya saling melempar senyum.
Jemarinya saling bertaut, meski harus terhimpit ke dua paha mereka sebagai penutup. Bersembunyi dari khalayak yang mungkin saja lewat di hadapan.
Walau keduanya kini sedang menyingkir dari keramaian, memilih untuk singgah dan bercengkrama di pendopo kampus yang terletak di ujung, rasa was-was masih bergelayut dihati mereka. Tidak bisa sembarang memadu kasih ditempat umum.
Sejak awal menjalin hubungan pun keduanya tahu, akan ada konsekuensi yang harus dipikul. Merangkai cerita asmara yang masih dianggap tabu, adalah tantangan besar bagi keduanya.
Bersembunyi dari dunia dan tak bisa dengan bebasnya melayangkan kata sayang.
Allahuakbar Allahuakbar...
Dan kumandang adzan kala itu menjadi batas dari senda gurau keduanya,
“Udah adzan tuh. Kamu siap-siap gih. Bawa peci nya kan?” tanya Gabrian pada Metawin.
Yang ditanya lantas merogoh tasnya sejenak. Mengeluarkan peci berwarna putih dari sana, lalu mengenakannya di kepala.
“Aku jum'atan dulu ya?” ujar Metawin yang langsung bangkit dari posisi duduknya. Dan diikuti oleh Gabrian setelahnya.
“Gantengnya pacarku,” pujian itu lolos dari bibir Gabrian begitu melihat kekasihnya mengenakan peci di kepala. Lalu dapat respon dengusan dari sang kekasih,
“Kalau sudah wudhu, gantengnya bakal jadi berkali-kali lipat. Liat aja!” kata Metawin.
Gabrian mengangguk menyetujui,
“Iya tau kok, udah sering liat kamu abis wudhu. Balik jum'atan juga gantengnya pasti langsung nambah. Iri deh aku.”
“Ngapain iri?”
“Ya iri. Gantengnya bisa nambah sehabis wudhu.”
“Yaudah kalau gitu kamu wudhu aja.” katanya setengah meledek.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tacenda | BRIGHTWIN ✔
Fanfictiontacenda; (n.) things better left unsaid Katanya, jatuh cinta itu fitrahnya setiap manusia, dan bila Metawin jatuh cinta pada Gabrian yang tidak percaya pada Allah dan Rasul-Nya sebagaimana yang ia percayai, apakah semesta akan merestui hubungan kedu...