Semuanya berakhir begitu saja. Namun,....
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
“Woy!”
Teriakan dan satu jentikan jari itu mengembalikan kesadaran Metawin yang semula menguar ke udara. Sedikit tersentak dan mengerjapkan matanya berkali-kali.
“Gue tanya, jadi kapan lo bakal balikin catetan gue? Soalnya gue juga butuh buat ngerjain tugas.”
Metawin tersenyum kikuk, lalu menggaruk tengkuknya yang tak gatal.
“Maaf. Gue ngelamun ya?”
Yang ditanya lantas merotasikan matanya malas, “Ya menurut lo aja. Daritadi gue ajak ngomong lo nya malah bengong!”
“Maaf. Gue ngga sadar.”
Lalu Metawin menatap sebuah binder di tangannya. Ah, iya. Catatannya,
“Nih...” Metawin menyodorkan benda itu kepada lawan bicaranya, “... gue kayaknya nggak jadi pinjem catetan lo.” lanjutnya.
Pemuda itu lantas mengernyit bingung. Lalu diliatnya arloji di pergelangan tangan, dan mengumpat setelahnya.
“Shit, gue telat.”
Tanpa banyak berpikir, lalu ia menyambar binder yang disodorkan oleh Metawin.
“Yaudah. Sorry ya, gue lagi buru-buru.” ucapnya yang menjadi kalimat akhir penutup percakapan keduanya.
Metawin melihat punggung itu menjauh dengan terburu. Mulai menghilang dari pandangannya. Lalu hembusan napasnya begitu berat selepas kepergian orang itu. Tapi setidaknya masih bersyukur.
Keputusannya untuk menjaga jarak dan mengubur dalam perasaan itu adalah keputusan yang paling tepat.
Terhitung sejak tiga bulan lalu Metawin berada di kelas yang sama dengan pemuda bernama Gabrian itu, ia mulai merasakan perasaan aneh tiap kali ada di dekatnya. Jutaan kupu-kupu bagai beterbangan di perutnya. Sebuah perasaan yang belum pernah ia rasakan.
Metawin menyukai Gabrian.
Menyukai apapun tentang pemuda itu. Menyukai senyum indahnya, paras rupawannya, wajah seriusnya ketika mendengarkan penjelasan dari dosen, sikap formalnya,... apapun. Apapun tentang Gabrian, Metawin menyukai itu.
Tuhan memang tidak melarang hambanya untuk jatuh cinta, untuk menyukai seseorang, tetapi khayalan panjang yang baru saja hinggap di kepalanya ini membuat Metawin tersadar. Ia harus terus memendam perasaannya untuk pemuda itu. Atau mungkin mulai mengikisnya secara perlahan.
Memangnya apa yang mau diharapkan dari hubungan asmara yang hadir diimajinasinya? Mempunyai kisah cinta di antara dua laki-laki...., sadarlah! Ini bukan fiksi dengan segala ilusi. Realita jelas akan menampar telak bagi siapapun pengkhayal yang menginginkan akhir bahagia.
Bersanding dengan Gabrian? Jangan bermimpi, Metawin!
Kisah asmara yang hidup dalam angannya, jelas mendapat kecam dari berbagai pihak. Bahkan jika ingin bersembunyi dari dunia pun, suatu saat; cepat atau lambat, pasti akan terbongkar.
Gender pun menjadi pembatas atas validasi suatu hubungan yang diterima masyarakat. Katanya, atas dasar norma. Hanya hubungan antara lelaki dan perempuan yang disetujui oleh khalayak. Mereka memandang hubungan yang terjalin selain lelaki dan perempuan sebagai hubungan yang aneh. Mereka bahkan menganggapnya sebagai penyakit yang menular, perbuatan menyimpang, juga dicap sebagai pendosa.
Tapi, bukankah setiap yang bernyawa dan memiliki akal itu juga berdosa? Punya catatan dosanya masing-masing. Masih terus melakukan dosa meski sudah bersimpuh memohon ampun pada Yang Maha Kuasa. Lantas mengapa mereka sibuk dengan dosa orang lain? Dan dengan lancangnya memberi label pendosa pada orang lain, sedang mereka juga berkubang dengan dosa.
Terkadang, manusia itu memang sulit dimengerti.
Dan belum lagi, Metawin jatuh hati pada seseorang yang tidak percaya kepada Allah dan Rasul-Nya, sebagaimana yang ia percayai.
Hubungan sesama jenis yang sudah ditolak mentah oleh masyarakat, ditambah dengan perbedaan keyakinan.... Metawin, sungguh —apa yang kau harapkan dari itu semua?
Lantas ia menggeleng pelan. Menyudahi keributan yang terjadi dipikirannya, lalu pergi meninggalkan lorong koridor kampusnya.
||
Terkadang, memang ada beberapa hal yang lebih baik tidak disampaikan, tidak diutarakan. Membiarkannya terpendam, lalu berdebu oleh masa.
—selesai.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tacenda | BRIGHTWIN ✔
Fanfictiontacenda; (n.) things better left unsaid Katanya, jatuh cinta itu fitrahnya setiap manusia, dan bila Metawin jatuh cinta pada Gabrian yang tidak percaya pada Allah dan Rasul-Nya sebagaimana yang ia percayai, apakah semesta akan merestui hubungan kedu...