pengakuan

141 26 2
                                    

“Kamu serius?” tanya Gabrian sekali lagi untuk memastikan keputusan kekasihnya itu.

Lalu dibalas dengan anggukan.

Metawin memang mengangguk, namun tidak bisa dipungkiri jika jantungnya ini berdetak begitu ribut. Ia siap. Siap meledakkan bomnya. Siap juga untuk hancur menjadi berkeping-keping.

Kencan mereka hari ini masih sama seperti kencan sebelumnya. Sekedar pergi menghabiskan waktu berdua, makan, berjalan sebentar di taman kota, melihat langit senja hingga warna oranye itu berubah menjadi gelap, yaa... sama seperti kawula muda lainnya yang memadu kasih.

Namun Gabrian memperhatikan tingkah kekasihnya yang sedikit aneh hari ini. Seperti memikirkan hal serius di kepalanya. Sampai pada akhirnya Metawin menyuarakan apa yang mengganggu dirinya ketika motor matic milik Gabrian berhenti di depan rumah Metawin.

“Aku ngga masalah sedikit pun buat berhadapan sama orang tuamu. Aku cuma khawatir sama kamu. Aku tanya sekali lagi, kamu serius? Beneran yakin? Udah siap sama respon terburuk yang nantinya bakal kita dapet?”

Metawin menghela napasnya begitu berat, lalu perlahan kepalanya mengangguk.

Keputusannya sudah bulat. Ia sudah siap dengan kemungkinan terburuk sekalipun yang akan diterimanya. Beberapa hari ini ia selalu didesak oleh sang Bunda untuk memperkenalkan pacarnya, mendesaknya untuk segera melangkah ke jenjang yang lebih serius. Katanya, lebih baik ta'arufan. Katanya, pacaran itu dosa. Maka hari ini... ia memutuskan untuk membawa Gabrian ke hadapan orangtua nya.

Memberitahu jika dirinya berbeda. Memberitahu jika ia lelah didesak.

Dan dengan anggukan Metawin yang diterima Gabrian sebagai jawaban, maka lelaki itu menarik kekasihnya dalam pelukan. Mengusap pelan punggung kekasihnya untuk memberi sedikit ketenangan. Berbisik lirih jika apapun yang terjadi, Gabrian akan selalu disisinya.

Gabrian tahu, hari ini akan tiba. Cepat atau lambat. Dan sudah dipastikan jika hari ini akan mereka lalui dengan begitu berat.

Menarik diri dari pelukan, lalu Gabrian menautkan jemarinya dengan jemari kepemilikan Metawin. Membawanya melangkah masuk menuju rumah milik kekasihnya itu.

***

“Ayah, Bunda... maafin Meta.” ucapnya kepada kedua orangtuanya yang sedang menonton televisi di ruang tamu.

Kedua nampak terkejut dengan kehadiran putranya yang tiba-tiba saja terduduk bersimpuh dengan lutut sebagai tumpuan. Ditambah dengan hadirnya seorang pemuda yang datang bersamaan dengan sang anak.

Melihat raut wajah anak sematawayangnya itu begitu serius, pria paruh baya itu memilih mematikan televisi.

“Maaf kenapa? Meta buat salah apa memangnya, nak?” wanita itu bertanya pada anaknya, “Ini siapa? Temenmu?” lanjutnya begitu melihat sosok Gabrian disamping anaknya.

“Saya minta maaf.” Gabrian mulai buka suara.

“Sebentar, kalian ada salah apa? Habis berantem?” kembali Bundanya itu bertanya. Masih tidak mengerti dengan konteks pembicaraan mereka yang tiba-tiba saja melayangkan kata maaf.

“Maaf, Meta pacaran. Meta sayang sama pacar Meta, Yah, Bun... Maaf Meta udah buat kecewa Ayah sama Bunda,” menjeda sejenak ucapannya, “Pacar Meta orangnya baik, orang yang taat, juga rajin ibadah.”

Kedua orangtuanya masih diam, membiarkan sang anak melanjutkan kalimatnya hingga selesai.

“Tapi agama yang dianutnya bukan agama kita. Rumah ibadah kita berbeda. Selain itu... kita juga sama.”

“Maksudnya apa, nak?” wanita itu kembali bertanya dengan raut gusar.

Lantas Metawin menggenggam jemari Gabrian di sebelahnya, “Ini Gabrian, Yah, Bun... pacar Meta.”

Ayahnya yang sedari tadi memilih diam tanpa bertanya apapun karena ingin mendengar penjelasan dari sang anak, begitu mendengar kalimat yang baru saja terucap dari mulut Metawin, membuat pria paruh baya itu melayangkan sebuah tamparan keras ke anaknya,

“Lancang kamu! Menjijikkan!”

Ini pertama kali dalam hidupnya melihat sang Ayah sebegitu marah bahkan sampai hati menamparnya begitu keras. Metawin tertunduk lesu. Tak berani menatap kedua orangtuanya disana.

“Ini salah saya.”

Ucapan Gabrian membuat Metawin menoleh ke arahnya.

“Jelas saja ini salahmu! Anak saya ini orangnya nggak pernah aneh-aneh. Pasti gara-gara pengaruh kamu, anak saya jadi tertular penyakit menjijikkan kayak gini!”

“Ini bukan salah Gabrian, Yah. Memang Meta yang sayang sama dia.”

Pria itu meludah ke samping, bahkan liurnya itu hampir mengenai Gabrian disana. “Persetan! Istighfar, Ta! Kamu tau itu dosa! Dilaknat kamu sama Allah! Putusin! Ayah nggak sudi punya anak homo!”

Ngilu sekali ulu hatinya. Kedua tangannya mengepal kuat menahan emosi yang berkecamuk. Kristal bening itu merembes keluar dari pelupuk matanya. Mengalir deras di pipinya.

“Dan untuk kamu!” Ayah Metawin menunjuk ke arah Gabrian dengan telunjuknya. Menatapnya dengan tatapan nyalang disana, “Tinggalin anak saya! Berani-beraninya orang seperti mu menginjakkan kaki ke rumah saya. Najis!”

“Ayah!”

“Apa?! Berani kamu ngebentak ayah? Mau jadi anak durhaka?! Hidupmu akan dipersulit sama Allah, tau!! Homo menjijikan!”

“Yah, Bun... tapi Meta sayang sama Gabrian. Meta udah dewasa. Meta berhak menentukan jalan hidup Meta.” lalu pandangan Metawin mengarah ke sang Bunda yang sedari tadi hanya bisa menangis dalam diam,

“Bun,... bukannya Bunda pernah bilang kalau jatuh cinta itu fitrahnya manusia? Meta jatuh cintanya sama Gabrian, Bun. Apa Meta salah?”

Bundanya itu justru makin terisak dibuatnya. Satu patah katapun tak ada yang berhasil lolos dari bibirnya karena menahan tangis.

“Kamu masih tanya itu salah atau ngga? Sadar, Ta! Itu bukan jatuh cinta. Itu cuma nafsu iblis yang menguasai kamu!”

Lalu hening beberapa saat. Hanya terdengar suara tangis tanpa adanya kata.

“Kalau kamu lebih memilih orang ini,” tunjuk ayah Metawin pada Gabrian, “.... daripada orang tuamu sendiri yang sudah membesarkanmu, silahkan angkat kaki dari sini. Kamu hidup sesukamu di luar sana. Rumah saya masih menunjung tinggi norma dan keagamaan. Saya ngga pernah punya anak yang pembangkang. Membangkang pada orangtua apalagi pada Gusti Allah. Saya ngga sudi menampung aib menjijikkan kayak kalian!”

Gabrian menahan amarahnya dalam-dalam. Meski ia sudah sepenuhnya tahu jika respon seperti inilah yang akan diterima, tapi ternyata rasanya bisa sebegini menyakitkan. Mendengar kata menjijikkan berulang kali membuat dadanya berdenyut nyeri.

Sebegitu hinanya kah hubungan yang terjalin diantara dua lelaki?

Lantas Gabrian berdiri, mengajak Metawin untuk melakukan hal yang sama. Kemudian memandang kekasihnya dengan tatapan yang sulit diartikan,

“Kalau kamu masih sayang sama aku, kita keluar dari rumah ini sekarang. Tapi kalau kamu masih mau tinggal bersama orang tuamu, aku yang pergi. Aku ngga akan marah sama apapun pilihanmu. Tapi kalau kamu memilih untuk menetap, cerita kita usai sampai disini.”

Tacenda | BRIGHTWIN ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang