sebuah akhir?

145 32 0
                                    

Metawin menyandarkan kepalanya di punggung tegap milik Gabrian. Menyembunyikan wajah merah sembabnya disana. Kedua lengannya melingkar untuk mendekap sang kekasih lebih erat lagi.

Sebelah tangan Gabrian terulur untuk mengusap pelan tangan sang kekasih yang melingkar di pinggangnya. Sebelahnya lagi masih berfokus untuk melajukan motornya.

“Aku minta maaf.”

Meski suara milik kekasihnya itu sedikit teredam karena helm yang dikenakan, namun Metawin masih bisa mendengar dengan jelas suara itu.

“Untuk apa?”

“Semuanya.”

Walau Gabrian berjanji pada Metawin untuk tetap berada disisinya, namun dengan adanya peristiwa beberapa saat yang lalu di rumah Metawin membuat dirinya dihujam rasa bersalah.

Potongan-potongan kejadian itu masih berputar di kepalanya. Melihat bagaimana sosok seorang Ayah itu menampar anaknya, hingga mengusirnya telak dari rumah. Seandainya saja jika dirinya tidak bersikukuh tetap berada disisi sang kekasih, apa pemuda manis itu masih bisa diterima keluarganya?

“Bri!” tepukan di pundaknya membuatnya tersadar dari lamunan.

“Eh, iya kenapa?”

“Aku panggilin daritadi ngga nyaut-nyaut. Jangan ngelamun.”

Kepalanya ia tolehkan sedikit ke belakang, melempar senyum pada kekasihnya itu meski tidak terlihat sekalipun karena tertutup helm yang dikenakan, “Nggak kok.”

“Ta, aku tau keluargamu begitu religius. Sebegitu menjunjung tingginya nilai keagamaan dan norma yang berlaku di masyarakat. Aku juga tau, kamu bisa saja pergi meninggalkanku dengan seorang perempuan yang di damba orangtuamu lalu menikah dengannya. Kamu juga bisa saja memutuskan hubungan kita beberapa saat yang lalu ketimbang pergi dari rumahmu dan melarikan diri bersamaku. Aku tau kamu bisa melakukan semua itu.”

“Tapi kamu justru melakukan hal yang sebaliknya. Kamu memilih menjadi pendosa bersamaku. Bersama menjadi manusia pembangkang. Melarikan diri dari tuntutan norma, dan berakhir memeluk erat pinggangku saat ini.”

“Tuhan, aku tau aku memang hanya seorang pendosa ulung. Tapi, tak bisakah aku egois mengenai hati? Ini juga bukan pintaku untuk jatuh hati begitu dalam pada seseorang yang tidak mencintai-Mu. Bukan pintaku juga untuk menaruh hati pada sesama lelaki. Jadi, bisakah aku memohon satu permohonan? Apapun yang terjadi, tolong tetap persatukan kami.”

“Kamu ngga usah ngerasa bersalah, ini udah keputusan aku.”

Tanpa menanggapi apapun, masih berfokus melajukan motornya. Gabrian nampak agak sedikit terkejut mendengarnya. Kekasihnya itu seperti mendengar suara hatinya.

Sangat kentara sekali jika kedua pemuda ini begitu dimabuk cinta. Keduanya seperti menuhankan hubungan asmara yang terjalin, asal bersamamu, semuanya akan baik saja.

Mereka tidak sadar, atau mungkin sadar tapi memilih abai— sudah menduakan Tuhan mereka. Menjadikan perasaan keduanya nomor satu sebagai prioritas. Lupa, jika Tuhan tidak suka diduakan.

Dan malam itu, Tuhan mengabulkan pinta Gabrian. Entah Tuhan siapa yang mengabulkan, tapi pintanya itu benar-benar terwujud.

Pelukan dipinggang Gabrian semakin mengerat seiring dengan laju kecepatan motornya yang tiba-tiba saja tidak bisa dikendalikan. Remnya mendadak tidak berfungsi sebagaimana mestinya.

Gabrian berteriak frustasi pada Metawin untuk tidak melepaskan pelukannya. Metawin menurut. Semakin memperat pelukannya disana.

Dan di persimpangan jalan itu, motornya terhantam oleh sebuah mobil dengan laju kencang yang datang dari sana. Keduanya terpental cukup keras ke jalan. Terpisah oleh jarak, dan helm nya yang sudah lepas entah kemana.

Tubuh mereka terasa kaku. Darah pun mulai mengalir atas kulit yang bergesekan dengan aspal. Orang-orang mulai berdatangan. Dalam sisa kesadaran yang hampir terenggut, sebongkah kristal bening itu mengalir dari pelupuk mata keduanya. Menangisi takdir mereka yang begitu tragis.

Setelah norma dan keyakinan berusaha keras memisahkan mereka, kini semesta lah yang menyatukan keduanya; —dengan kematian.

Semesta sebercanda itu.

Tacenda | BRIGHTWIN ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang