tentang rumah ibadah

128 26 0
                                    

Tin... Tin...

Suara klakson itu menyapa rungu. Membuat Metawin kembali menatap pantulan dirinya di cermin. Sedikit merapihkan rambutnya, juga tak lupa menyemprotkan parfum di pakaiannya sebelum meninggalkan kamar.

“Yah, Meta pamit dulu ya.” katanya sembari mencium tangan pria baruh baya yang sedang sibuk membaca koran di teras rumah.

“Masih pagi gini mau kemana, Ta? Nggak sarapan dulu? Bunda lagi masak lho itu.”

“Main, Yah. Nanti aja Meta sarapannya bareng temen. Udah disamper soalnya. Assalamualaikum.

Waalaikumsalam. Hati-hati, nak.” jawabnya sembari menampilkan gurat penasaran diwajahnya. Ingin melihat siapa yang masih sepagi ini menculik anaknya itu.

Meski diliputi rasa heran melihat putranya di hari minggu pagi sudah rapih dan pamit pergi, tak ada yang bisa dilakukan selain memberinya izin.

***

Metawin menarik dagunya yang sebelumnya ia istirahatkan di pundak Gabrian ketika motor matic itu berhenti di depan gereja.

Gabrian turun dari motor, membuat Metawin yang sebelumnya menduduki kursi belakang memajukan dirinya. Gabrian melepaskan helm yang dikenakan, lalu mengusak surainya yang sedikit berantakan. Memberikan helm itu pada Metawin yang masih duduk di motor, lengkap dengan helm di kepalanya.

“Aku tunggu di warkop biasa dipersimpangan jalan ya. Kalau udah selesai, chat aja. Nanti aku langsung kesini.”

Dibalas anggukan oleh Gabrian. Lalu senyum teduhnya terangkat.

“Inget ya, jangan minum kopi. Masih pagi. Habis ini kita cari sarapan. Kamu pesen susu aja disana sambil nunggu aku.”

“Bawel. Kayak baru pertama kali aja. Udah sana masuk, nanti keburu dimulai ibadahnya.”

Gabrian terkekeh dibuatnya. Kekasihnya ini luar biasa menggemaskan. Rasanya ia ingin selalu mencubit pipi gembilnya setiap kali pipi itu terkembang kala si empu memamerkan senyum dan tawanya.

“Yaudah. Aku masuk ya...”

Metawin mengangguk memberi jawaban. Lalu dengan isengnya,

Assalamualaikum, ganteng.”

Sedikit tersenyum kikuk mendengar salam yang diucap kekasihnya,

Syalom, ganteng.

Lalu Gabrian melangkah masuk ke dalam gereja. Meninggalkan Metawin yang menatap punggungnya menjauh dari sana.

Metawin masih disana. Belum beranjak pergi dari tempatnya.

Sebelum punggung Gabrian benar-benar menghilang dari pandangan, kedua netra Metawin menatapnya nanar. Menatap punggung tegap kekasihnya serta rumah ibadah yang menjulang tinggi itu bergantian.

Lalu desah beratnya terhembus.

Ini bukan kali pertama ia mendampingi Gabrian pergi ke rumah ibadah. Namun rasanya tetap sama. Rasa sesak itu masih menghimpit dadanya.

Bundanya pernah bilang, jatuh cinta itu fitrahnya setiap manusia. Kita tidak bisa memilih kepada siapa hati kita akan berlabuh. Kita tidak bisa memilih kemana hati kita akan bermuara.

Dan jika Metawin memilih Gabrian sebagai muaranya, apakah Bundanya masih bisa mempertahankan perkataannya? Katanya jatuh cinta itu fitrah kan? Jadi bukan salahnya jika hatinya ini berlabuh pada pemuda dengan pemilik nama Hansel Gabrian Elmuel itu.

Jika Metawin memilih Gabrian sebagai rumahnya, apakah semesta akan merestui keduanya? Apakah hubungan dua insan dengan dua rumah ibadah yang berbeda masih bisa dipersatukan? Berbagai pertanyaan kerap kali berdenging di telinganya bagai ribuan lebah yang bergumul jika sudah memikirkan hubungannya dengan kekasihnya itu.

Memilih tak memikirkannya lebih lanjut, Metawin mulai menyalakan motornya, lalu pergi dari sana.

Tacenda | BRIGHTWIN ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang