apa kita salah?

146 27 2
                                    

"Udahan dulu ngetik laporannya, yang. Kamu nggak shalat?" tanya Gabrian pada kekasihnya yang masih terlihat sedang berkutat dengan laporan PPL yang sedang di kerjakan.

Sejenak Metawin melirik jam dinding yang ada di kostan Gabryan.

"Astaghfirullah, udah setengah tujuh. Nggak kerasa banget. Aku belum magrib-an lagi..."

"Iyalah nggak kerasa. Kamunya aja serius banget."

Metawin mendengus dibuatnya. Namun tak dapat dielak jika dirinya sedari sore tadi memang terlalu tenggelam dalam tuntutan laporan yang harus diselesaikan.

"Yaudah, kalau gitu aku shalat dulu ya." katanya yang langsung disambut anggukan oleh sang kekasih.

Metawin bangkit dan berjalan ke kamar mandi untuk mengambil air wudhu. Tak lama setelahnya, ia keluar dengan rambut basah akibat gemercik air wudhu yang membasahi. Membuat Gabrian yang melihatnya melempar senyum simpul disana.

"Ganteng."

Pujian itu lagi-lagi lolos. Gabrian memang seringkali memuji kekasihnya itu. Terlebih ketika melihat helai rambut pemuda basah karena terbasuh air wudhu. Rasanya berbeda. Wajahnya itu bagai dihiasi oleh gemerlap yang memikat hati.

Ya, dan hati Gabrian sepenuhnya terpikat oleh pemuda itu.

"Iya, tau.." kekehnya menanggapi pujian dari sang kekasih.

Lalu Metawin segera memulai ibadahnya yang sempat tertunda karena seonggok laporan yang dikerjakan. Mengangkat kedua tangannya lalu mengucap takbir. Kemudian hikmat dalam setiap lantunan ayat yang ia ucap perlahan.

Meski terdengar pelan, namun Gabrian tetap memperhatikan. Dirinya dengan suka rela ikut terhanyut.

Selang beberapa saat, seusai menyelesaikan ibadahnya, Metawin menengadahkan kedua tangannya. Mulai mengadu pada Tuhannya.

Melihat dari cara Metawin berdoa, begitu kontras dengannya. Kembali mengingat problema yang mereka alami. Membuat jantungnya berdenyut nyeri.

Gabrian melamun tanpa sadar.

"Bri!" panggil Metawin yang sedikit meninggikan suaranya.

Mungkin sudah ketiga kalinya ia memanggil Gabrian tapi tak juga mendapat respon. Pemuda itu seperti hanyut dalam pikirannya. Bahkan ia sampai tidak sadar jika Metawin sudah terduduk dihadapannya.

Tersadar dari lamunan,

"Eh, iya kenapa?"

"Kamu ngelamun? Ngelamunin apa?"

Gabrian menggeleng,

"Engga kok, aku cuma suka aja liat kamu mengadu pada Tuhanmu."

Metawin terkekeh pelan,

"Haha apasih, kamu kayak baru pertama kali liat aku shalat."

"Kamu tau ngga?"

"Apa?"

"Setiap kali aku nungguin kamu disamping masjid kampus, cewek-cewek tuh pada kagum sama kamu sewaktu jadi imam. Kata mereka, kamu itu calon imam idaman. Kata mereka, mau kamu jadi imam dalam rumah tangga mereka. Kadang aku sebel aja dengernya."

Tacenda | BRIGHTWIN ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang