epilog; deklarasi melepasmu

139 16 6
                                    

-ini hanya sebuah deklarasi untuk melepasmu,

dari aku yang setelah sekian warsa masih membatu memendam rasa.

||

Satu dua kali kamu hadir menyapa alam bawah sadar. Menggelitik lirih dengan segenggam asa yang kamu bawa. Hingga perlahan menghancurkan kewarasan. Dan menjadi gila tanpa persiapan.

Pernah sesekali aku berpikir untuk menulis ulang kisah semu yang pernah hadir di dalam benak secara nyata.

Mengatakan dengan berani padamu bahwa aku menyukaimu.

Tidak, lebih dari itu. Aku mencintaimu.

Tapi sepertinya sejumput akal sehat masih terlalu posesif untuk meninggalkan ragaku. Mereka mengutuk ku atas keinginan bodoh yang nantinya hanya akan meninggalkan luka.

Tapi ...

Mencintaimu tanpa pernah bisa mengatakannya dengan jelas, bukankah juga bisa menggores luka yang tak nyata?

Entahlah. Semuanya terlihat sama saja.

•••

Hingga pada akhirnya, aku memilih untuk mengunci rapat lisan dan menelantarkan bualan tentang perasaan.

Namun,

Tiap warsa yang ku lalui dengan memendam rasa, masih meninggalkan elegi sendu yang masih terus membatu untuk merindu sosokmu yang mustahil digapai oleh kehendakku.

Perlu kamu ketahui bahwa,

Mengakhiri rasa agaknya lebih sulit daripada mengakhiri asa. Aku memang sudah sejak lama menyerah untuk menggantung asa. Menyerah untuk menggantung harap, barangkali nirwana mau membagi sedikit saja bahagia untuk bersama.

Benar. Pikiran itu sudah sejak lama ku tinggalkan di belakang.

Aku terlalu pengecut untuk sekedar menyuarakan perasaan.

Bukan penolakan darimu yang ku takutkan.

Tapi penolakan dari dunia.

Dunia sudah mutlak mengatakan jika tidak ada harapan untuk kita.

Kita, dua pria dengan hubungan romansa.

•••

Diantara ketidakpastian yang nyata, aku lebih memilih bungkam.

Tak punya cukup kuasa untuk berontak.

Ratusan kali ditampar realitas.

Tentang bagaimana caramu bersimpuh menghadap Yang Kuasa, menjadi tembok besar lainnya yang menjadi penghalang untukku mengungkapkan rasa.

Aku cukup tahu diri untuk tidak membuatmu berpaling dari Tuhanmu.

Agaknya terlalu banyak objek yang menjadi perwakilan dari hancurnya harapan.

Seperti memberi tanda pada ku yang masih membatu dalam memendam rasa untuk segera mengibarkan kekalahan absolut karena telah lancang melawan arus.

•••

Hari ini senyum mu masih menawan.

Masih sama seperti hari-hari sebelumnya.

Hanya saja, buket bunga yang saat ini kamu dekap, lengkap dengan toga dan jubah wisuda yang kamu kenakan menjadi pelengkap sosokmu yang melebihi kata sempurna.

Baris gigimu yang rapi terlihat manakala tawa mendera, masih menjadi canduku untuk dilihat dengan mata telanjang.

Dengan sedikit ragu, aku menyeret langkah untuk memberimu sepatah kata selamat atas kelulusanmu.

"Gabrian," panggilku untuk membawa atensimu pada eksistensiku diantara teman yang lain.

Fokusmu berhasil terdistraksi oleh suaraku.

"Eh, iya?"

"Selamat ya! Happy graduation!" ucapku sembari mengulurkan tangan. Berharap disambut dengan hangat yang disertai dengan segaris senyum mu yang menawan.

"Makasih," balasmu yang lantas menerima jabatan tanganku. "You too, happy graduation!" sambungnya.

Sebelum sempat aku berharap jika waktu akan terhenti sebentar saja, kamu lebih dulu membawaku kembali dalam labirin realitas dengan melepaskan jabatan tanganmu yang hangat.

Benar.

Kita tidak cukup dekat untuk memperpanjang durasi bergurau.

Kita hanya sebatas teman yang pernah satu kelas dalam mata kuliah yang sama.

Bahkan penggunaan kata teman agaknya terlalu berlebihan mengingat kita tidak pernah terjebak dalam konversasi yang cukup panjang.

Kita hanyalah dua pria yang sebatas saling kenal.

Hanya saling mengenal, namun dengan lancangnya aku menaruh rasa.

Selain statistika, ku rasa memendam rasa adalah kelebihan yang agaknya sedikit pantas untuk dicongkakkan.

Karena hingga pada detik ini, aku mampu bersembunyi tanpa meninggalkan sedikitpun jejak untuk dicurigai.

Gabrian,

Menaruh rasa padamu adalah luka yang tidak pernah aku sesali sedikit pun.

Membiarkan diri sibuk mendamba pada sosokmu yang sulit tergapai, adalah candu meski harus berdampingan dengan pilu.

Hari ini kita berdua lulus.

Kamu lulus dalam bidang akademis,

Aku lulus dalam melepasmu secara utuh.

Dengan ini, aku mendeklarasikan untuk mengenyahkan gelitik kupu-kupu yang selalu hadir ketika aku begitu memuja sosokmu.

Aku, melepasmu.

•••

Meski begitu, tolong izinkan aku menaruh satu harap.

Semoga masih ada kesempatan untuk kita bertemu lagi. Namun pada lembar alinea berbeda yang bersedia menerima dua pria dengan hubungan romansa tanpa cela.

Dengan begitu, aku bukan hanya sekedar menaruh rasa dan membiarkannya terbengkalai hingga menjadikannya bangkai.

Dengan begitu, tanpa adanya setitik ragu yang membelenggu, akan ku sampaikan jika aku mencintaimu.

Nanti,

Jika aku diberi kesempatan untuk kembali bertemu denganmu pada masa yang berbeda, bisa ku pastikan jika aku akan selalu menyadari jika hadirmu akan selalu menggelitik akal sehatku.

Ribuan kali mendamba pada sosokmu.

Hanya untuk saat ini,

Hanya untuk saat ini, aku akan berteman dengan lara.

Dan sepenuhnya menyerah pada dahaga atas asa yang mengharap bahagia bersama.

Sampai berjumpa lagi pada lembar kehidupan yang lain.

-tertanda,

Metawin, si pengagum rahasiamu yang pada akhirnya menyerah secara utuh.

Tacenda | BRIGHTWIN ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang