17

7.6K 1.5K 102
                                    


Jeno memerhatikan Lala yang sibuk mengoleskan salep pada lebam di tulang pipi sebelah kirinya.

Gadis itu telaten mengobati Jeno, tak lupa sebab laki-laki itu yang sering berkelahi berakhir ditangan Lala dan juga Lala yang sewaktu kelas sepuluh sempat mengikuti kegiatan PMR.

"La, maafkan mama." Kata Jeno pelan, namun suaranya tentu dapat didengar jelas oleh Lala.

Ruangan UKS hanya ada mereka berdua saat ini. Bunyi sepelan apapun pasti akan terdengar juga.

Lala mengangguk pelan, "iya pasti."

"Jangan marah sama mama." Katanya lagi.

Lala menggelengkan kepalanya, "enggak akan."

"Jangan dimasukin ke hati yang mama bilang."

"Iya aku usahain."

Tangan Jeno terkepal erat, pandangannya menyiratkan kesedihan. Lala sadar tapi Lala diam. Banyak yang gadis itu pikirkan saat ini, tapi mencoba ia fokuskan pikirannya hanya untuk mengobati Jeno.

"Jangan putus, La." Pinta Jeno, kini bukan hanya mulut Lala yang diam, tangannya pun ikut terdiam.

Gerakannya terhenti, pandangan mereka bertemu. Jeno dengan mata merahnya, tampak menahan kesedihan atau bisa juga amarah. Sedang Lala yang sungguh mati-matian untuk menahan tangis sedaritadi, tanpa sadar akhirnya meneteskan setetes air mata.

Jeno kaget, tapi ia tidak heran lagi. Ia tahu kekasihnya itu sedaritadi ingin menangis.

"Nangis aja." Katanya mengusap pipi Lala.

Lala menggelengkan kepalanya, "nangis bukan jalan keluarnya."

"Tapi ditahan enggak bakal hasilin apapun, La. Jangan tahan, nangis aja." Bilang Jeno lembut, tapi Lala kekeuh menggelengkan kepalanya.

"Daripada itu, kamu kenapa berantem? Kamu enggak tanpa alasan kan, berantem?"

Jeno menggelengkan kepalanya, "aku berantem karna harus."

"Apa? Kenapa? Korbannya gimana?"

"Kepalanya bocor, dia masuk rumah sakit."

"Hah?" Lala memandang Jeno tidak percaya, buru-buru Jeno menggenggam erat tangan Lala. Laki-laki itu menggelengkan kepalanya.

"Bukan aku yang bocorin kepalanya." Katanya menggeleng, "dia bocorin sendiri."

"Enggak masuk akal kalau dia bocorin kepalanya sendiri, Jeno." Geram Lala menarik tangannya namun gagal sebab Jeno menggenggam nya erat.

"Sumpah! Aku berantem biasa aja. Jauh-jauh aku cuma buat dia bonyok sampai susah bangun."

"Dengan bocorin kepalanya?" Tanya Lala tidak menyangka, dan Jeno menggelengkan kepalanya. Laki-laki itu memandang dengan tatapan memohon. Ia minta untuk dipercaya.

Lala menghela napasnya, "alasannya?"

"Dia ngatain kamu." Jawab Jeno cepat, Lala mengerutkan keningnya lagi.

"Cuma itu?"

"Itu bukan cuma itu, La! Kamu enggak tau apa yang dia bilang soal kamu di depan aku!" Bilang Jeno geram.

"Kalau gitu bilang sama aku, dia bilang apa."

Jeno diam, menimbang-nimbang apa ia harus menuruti kemauan Lala dengan mengatakan kata-kata yang tidak pernah ia harapkan dituju pada Lala, atau diam membiarkan Lala sampai pada amarahnya.

"Jawab jujur, sebelum aku marah! Aku serius kali ini, Jeno." Perintah Lala mengancam, sesuai ucapannya, wajah gadis itu terpapar keseriusan. Kalau katanya ia marah, pastinya bukan marah yang akan memaafkan dengan mudah.

Jeno terlampau mengenal Lala.

Jeno berdehem pelan, pandangannya menurun. Ia tak kuasa mengucapkannya dengan menatap manik mata Lala. "Katanya aku cuma mau sama kamu karna badan kamu."

"Terus?"

"Katanya aku udah lecehin kamu." Kata Jeno kian memelan, memandang Lala khawatir. Ia takut ucapannya menyakiti gadisnya. Ia takut gadisnya sakit hati.

"Udah?" Tanya Lala, perlahan Jeno mengangguk.

"Cuma itu?" Tanya Lala lagi, kali ini tidak Jeno balas dengan anggukan. Kening Jeno mengernyit sempurna, tatapan matanya berubah seketika.

"Kamu bilang cuma itu?" Suara tajam tidak percayanya menusuk telinga Lala.

"Iya cuma itu Jeno. Cuma itu tapi kamu sampai buat kepala anak orang bocor? Pantes aja mama kamu dipanggil lalu dia marah-marah."

Jeno memandang Lala sengit, tangannya kini tidak lagi menggenggam tangan Lala. Laki-laki itu duduk sedikit menjauh, memberi jarak pada kekasihnya.

"Kamu dikatain sama dia. Dilecehkan sama dia secara enggak langsung, dan kamu malah bilang cuma itu?" Tanya Jeno lagi, amarahnya perlahan memuncak.

"Semua yang dia bilang enggak benar, kan? Kamu tau itu juga. Lalu kenapa? Kenapa mesti marah?"

"Kamu masih nanya kenapa aku mesti marah?! Jelas-jelas dia jelekin kamu, La! Dia jelekin kamu di depan aku!" Bentak Jeno kini bangkit dari duduknya, buru-buru Lala menarik tangannya. Gadis itu menarik Jeno untuk duduk kembali, tapi tidak berdampak apa-apa.

Jeno berdiri dengan tatapan marah bercampur tidak percaya kala menatap mata Lala kini.

"Kamu duduk. Jangan pakai emosi kamu, atau kamu bakal nyesal." Bilang Lala mengingatkan tapi Jeno hanya acuh tak acuh.

"Kamu dilecehkan secara enggak langsung La! Gimana bisa aku enggak harus marah?! Ini harga diri kamu! Kamu tau kan, harga diri?!"

"Aku tau Jeno! Tapi bukan berarti aku harus marah! Saat semuanya cuma omong kosong, kita enggak harus marah, Jen!" Bentak Lala yang mulai geram dengan Jeno sebab sulit untuk mengontrol emosinya.

"Lalu kapan aku harus marah?! Apa aku harus marah pas dia lecehin kamu secara langsung di depan mata aku?!" Tanya Jeno dengan napas menggebu, Lala hanya diam mencoba untuk tenang sendiri.

"Jeno, duduk." Pinta Lala menarik tangan Jeno kembali, tapi laki-laki itu menepisnya.

"Sia-sia aku bela harga diri kamu. Tapi kamu malah senang harga dirinya diinjak-injak." Desis Jeno tanpa sadar menyakiti hati gadisnya.

Berbalik pergi tanpa mendengar panggilan Lala yang melirih. Seperginya Jeno dari UKS, air mata Lala meluruh sendirinya.

•••

Pesen Dyu tetep, kalian stay healthy 💚💚💚💚💚

Semangat hari Rabu yaa💚💚💚💚

Dingin | JenoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang