1

10K 232 1
                                    

Sebelum Ayah meninggal 2 tahun yang lalu, beliau selalu memberikan wejangan yang sama padaku hampir setiap harinya, bahkan disaat-saat kritispun Ayah masih tetap memberikan wejangan itu padaku.

"Berbahagialah, nak. Lakukan apa yang kau sukai. Jangan pikirkan apa kata orang padamu. Mereka hanyalah orang asing yang tidak mengenalmu. Tapi Ayah, seorang ayah akan selalu mengenali setiap bakat yang ada dalam diri anaknya,"

Ucapan itu memiliki makna tersendiri buatku yang anak semata wayang ini-sebenarnya aku memiliki seorang adik, dari pernikahan kedua Ayahku dengan seorang wanita yang cukup menghancurkan kebahagiaan masa kecilku.

Ibuku sudah meninggal sejak aku kecil, alasan yang membuat Ayahku harus menyandang gelar duda beranak satu. Pada saat itu aku merasa terlalu bahagia dengan seluruh kasih sayang yang Ayah berikan padaku. Setiap malam Ayah akan datang kekamarku menceritakan kisah-kisah pertemuannya dengan Ibuku atau mendengarkan setiap cerita yang kuceritakan padanya. Hal itu membuatku sangat menghargai setiap waktu yang kuhabiskan bersama Ayah. Hingga saat aku sudah berada di kelas 3 SMP, tiba-tiba saja Ayah membawa seorang wanita yang tak lain adalah pengasuhku sejak kecil, nona Berinda, dan memperkenalkan wanita itu sebagai calon ibu baruku.

Shock?  Tentu saja aku sangat kaget mendengar berita itu tapi aku tahu kalau aku tak bisa berbuat apa-apa. Aku menyadari kalau Ayah memang kesepian sejak Ibu meninggal makanya aku setuju-setuju saja ketika Ayah meminta pendapatku soal ingin menikahi nona Berinda itu.

Kebahagiaan yang sejak awal kuterima sebelum kehadiran wanita itu mulai berkurang. Ayah mulai jarang meluangkan waktunya bersamaku, Ayah juga bahkan tidak pernah bermain atau tertawa lagi bersamaku, waktunya terfokuskan pada istri barunya.

Aku tidak menyukai perasaan itu. Perasaan dimana kau merasa dirimu mulai tersingkirkan secara perlahan-lahan dan lama-kelamaan akan dilupakan. Aku takut. Dan ketakutanku menjadi semakin bertambah ketika tanpa sengaja aku mendengar istri baru Ayahku mengobrol dengan bu Mia, tetangga sebelah kami, kalau dia ingin menyekolahkanku ke sekolah asrama dan ayahku pun telah menyetujuinya.

Perasaanku mulai bergejolak. Aku benci kenapa harus aku yang mengalaminya. Aku bahkan tidak percaya dengan apa yang kudengar saat itu bahwa ayahku sendiri mengharapkan aku pergi meninggalkan keluargaku satu-satunya?? Aku juga mengingat saat dimana aku mengkonfrontasi Ayahku menanyakan kebenarannya.

"Lisa, kau tahu-saat ini ibumu sedang hamil. Ibumu tidak ingin aku terlalu memanjakanmu," katanya.

Mataku terasa panas. "Dia bukan ibuku, yah," seruku tegas, "Lalu bagaimana denganmu, apa Ayah ingin agar aku pergi berpisah denganmu?" tanyaku kali ini suaraku mulai terdengar serak.

Ayah menatapku seolah-olah meminta pengertianku, "Bersikaplah dewasa, Lisa. Kau sudah remaja dan sudah waktunya bagimu untuk mandiri. Lagipula, di asrama itu memperbolehkanmu untuk pulang kerumah 2 kali setahun," ucapnya seakan-akan dia rela melepasku.

Tangisku akhirnya pecah, aku tak tahu harus berkata apa lagi. Satu-satunya keluargaku mengharapkan aku untuk berpisah dengannya. Aku berlari kekamarku dan mengunci pintu dengan Ayah yang bahkan tidak menyusulku. Aku kecewa dengan keputusan yang dibuat oleh Ayahku sendiri. Apakah mungkin dia memang keluargaku? Tidak ada keluarga yang mendahulukan kepentingan orang lain -terutama ketika orang lain itu adalah orang asing yang baru saja disebut Ayahmu sebagai ibumu.

Terus menangis membuatku akhirnya jatuh terlelap hingga ketika aku terbangun, siang sudah berganti menjadi tengah malam. Seisi rumah sudah sepi dan gelap. Dari kamarku, aku bisa mendengar tawa Ayahku yang membahas soal kehamilan istri barunya. Tanpa berpikir panjang, kukemas pakaianku seadanya dan memasukkannya kedalam tas ranselku dan dengan bantuan dari kunci cadangan yang dibuatkan Ayah untukku, aku berhasil keluar dari rumah hanya meninggalkan sepucuk surat yang bertuliskan 'Aku pergi mencari 'keluarga' yang mau menerimaku didalamnya. Jangan cari aku'.

Dan akhirnya, 10 tahun telah berlalu sejak aku meninggalkan kota kecil itu. Meninggalkan diriku yang lama disana dan membentuk diriku yang baru di kota besar tempatku saat ini berada, ibukota. Sejak saat itu, aku sama sekali tidak pernah menghubungi Ayahku ataupun memberikan kabar pada orang-orang yang kukenal di kota tempat kelahiranku itu. Kecuali, saat aku mendapatkan telepon dari rumah sakit pada Desember 2014 kemarin mengatakan bahwa Ayahku sekarat dan memintaku untuk datang menemuinya. Bahkan untuk mengiyakan permintaan orang yang sekarat,aku harus berpikir selama 3 hari hingga akhirnya memutuskan untuk memesan penerbangan pertama menuju kota kecil itu. Dan itulah saat terakhir aku melihat Ayahku, diikuti dengan airmata yang mengalir turun ke wajah tirus dan pucatnya begitu melihatku di rumah sakit. Dan ketika pemakaman berlangsung, aku memutuskan untuk di hadir disana, karena sudah ada Berinda dan Bella, adik tiriku yang sudah berusia 15 tahun, menangisi kepergian pria tua itu.

***

Sampai pada hari Rabu yang kelabu dengan hujan yang hampir seharian mengucuri ibukota, aku bertemu dengannya. Seseorang yang selalu membuat gejolak aneh di dadaku serta seseorang yang memiliki arti bagiku di masa lalu, Oliver. Dulu aku sering memanggilnya Olly, terdengar lebih mudah di telingaku daripada memanggilnya dengan nama lengkapnya, Oliver.

"Lisa? Kau Lisa Rahmandantyo, kan?" tanya Oliver terlihat bingung melihatku, "Ini aku, Oliver. Dulu kita satu SMP," lanjutnya dengan senyum simpul di wajahnya.

Tiba-tiba saja aku merasa gugup ketika Oliver memanggil nama lengkapku, "Oh hai, Oliver. Apa yang kau lakukan disini?" tanyaku kikuk.

Pria itu memperbaiki letak tali tas laptop di pundaknya, "Aku bekerja di sini sebagai Staff IT. Apa yang kau lakukan disini?" tanyanya semakin membuatku tambah kebingungan.

Apa yang harus kulakukan? Kenapa dia juga ikut bekerja di perusahaan tempatku bekerja? Oh ya ampun, erangku.

"Hei, kau kenapa?" tanyanya sekali lagi.

"Ah? Tidak. Aku juga kerja disini, bagian Marketing," seruku tak bersemangat.

Oliver masih tetap menawan dengan senyum di wajahnya. Dulu aku terperangkap pada senyuman itu.

"Wah, kita hanya beda satu lantai saja," ucapnya, lalu tiba-tiba saja senyum menghilang dari wajahnya, "Aku ikut sedih waktu Ayahmu meninggal, Lis. Aku datang kepemakamannya tapi tidak melihatmu disana,".

Aku mulai bergerak tak nyaman, berusaha untuk menghindari topik seperti ini. "Ng... kurasa aku harus segera keruanganku. See ya, Olly," ucapku yang tanpa sengaja memanggil Oliver dengan panggilan jaman SMP dulu.

Pria itu kembali memasang senyum simpul di wajahnya, memperlihatkan lesung pipi di pipi kanannya. "Okay, sampai ketemu di jam makan siang," teriaknya di belakangku.

Aku tidak tahu ada berapa orang yang melirik kearah kami tapi saat ini pandanganku terfokus pada Lift yang sebentar lagi terbuka didepanku. Menghindari masa laluku. Menghindari topik tentang keluarga. Dan juga, menhindari Oliver.

Ya, sebaiknya aku memang harus mrnghindari pria itu.

###

Yuhuuuu,,
Cerita kesekian yang akhirnya kuputuskan untuk di published. Semoga ceritanya gak ababil kayak cerita sebelumnya, hehehe.

Bagi yang udah baca critanya tlg beri aku Vote ato Comment, ya. Buat pengembangan diri juga *halah* hahahaa,, makasih ^ω^

Comes After YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang