Truth.

715 101 8
                                    

Sepertinya, prinsip 'kebenaran itu pahit' adalah benar adanya. Seungcheol pun menjadi salah satu saksinya. Pria itu termenung menatap keluar jendela. Wajahnya memang tidak sayu seperti kemarin, namun jelas terlihat kalau pandangannya sendu. Bahkan jika aura pria itu bisa dilihat, mungkin kabut hitam sedang mengelilingi tubuhnya, dengan awan gelap yang bergemuruh meneteskan air hujan menaungi kepalanya.

Genggamannya pada tiang penyangga infus mengerat, giginya menggertak. Emosi meledak dalam hati juga pikirannya. Entah bagaimana bisa dalam sehari semuanya terungkap, bahkan diluar prediksinya. Apapun yang tidak pernah ia pikirkan sebelumnya malah terjadi. Ia mencengkram kepalanya dengan kuat, menjambak rambutnya sendiri, hingga beberapa helai terjatuh mengotori lantai.

Nafasnya memburu. Pandangannya mulai mengabur. Pria itu berjongkok, lalu menangis. Seungcheol bukan pria lemah, tapi kalau begini situasi dan kondisinya, ia sendiri pun tidak bisa berbuat apa apa. Ucapan dokter Minghao memenuhi kepalanya. Terus berulang di dalam kepala, dan terdengar jelas di telinga.

↺ - :: sedikit flashback.

"Yang sakit itu soulmate anda, dan dia dirawat di rumah sakit ini juga." begitu kata Minghao setelah sehari berlalu semenjak dirinya pingsan dan terbangun di rumah sakit. Jujur, ia tidak menyangka kalau rasa sakit yang ia rasakan adalah milik soulmatenya. Tidak terbayangkan oleh Seungcheol bagaimana sakit yang dialami oleh pasangan hidupnya itu. Jika ia merasakan sakit yang sangat, apalagi soulmatenya.

Giginya bergemeletuk menahan rasa. Kalut, bingung, ragu, khawatir, dan takut. Ya, Seungcheol takut. Takut akan keadaan soulmatenya, juga takut akan nasib ia dan soulmatenya di masa depan nanti.

"Jujur saja," Minghao berdeham, "Saya masih belum bisa menemukan obat untuknya." lanjutnya.

Hati Seungcheol mencelos mendengarnya. Ia meraih gelas diatas nakas dan melemparnya kearah Minghao yang untung saja, dokter itu mampu menghindarinya dengan cepat. Ia tau pasiennya bisa mengamuk seperti ini. Diam-diam tangannya masuk ke balik jas dokter miliknya dan menggenggam erat suntikan berisi obat bius.

Minghao masih menatap Seungcheol dengan hangat, berharap bahwa pria dengan bulu mata lentik itu akan mengerti kalau semua butuh waktu juga proses. Namun sayang, pria itu justru meledak amarahnya.

"KAU DOKTERNYA! APA MENCARI OBATNYA SAJA TIDAK MAMPU?!"

Tertegun. Minghao tertohok, kalah telak. Kepanikan dan ketakutan memenuhi dirinya. Pria itu benar. Ia gagal merawat pasiennya.

Seungcheol sendiri meremat kasar selimut pasien miliknya. Netra bulatnya menatap nyalang pada dokternya. Wajahnya merah padam akibat amarah.

“KELUAR!”

↺ — :: flashback end.

Seungcheol mengusap kasar wajahnya begitu mengingat semua dialog tadi. Perasaan bersalah memenuhi relung hati dan juga rongga dadanya. Ia mungkin harus meminta maaf pada dokternya itu saat jadwal periksanya datang. Ia berusaha bangkit dengan bertumpu pada tiang infus miliknya, dan sebuah tangan kurus membantunya untuk berdiri.

Ia terkejut mendapati dokter Minghao ada disana untuk membantunya berdiri. Bahkan, senyum ramah masih ditampilkan diwajahnya, membuat Seungcheol tersenyum kikuk sembari menggaruk tengkuknya yang tidak gatal itu. Minghao menuntun Seungcheol untuk kembali keatas ranjang dan membenarkan posisi jarum infus pria bermata bulat itu.

Setelah melakukan pemeriksaan kondisi vital Seungcheol, Minghao menunduk lalu berpamitan ingin keluar dari ruangan itu. Ingin kabur secepatnya dari atmosfer canggung yang ia rasakan. Namun, sebuah tangan besar yang sedikit dingin itu menahan pergelangan tangannya, membuatnya menoleh pada pasiennya itu.

Seungcheol sendiri bingung kenapa ia reflek melakukan itu. Tapi, sebagai pria sejati, ia harus tetap berani. Ia melepas genggamannya pada tangan Minghao. Kepalanya tertunduk.

“Maaf..”

Sebuah ucapan maaf terlontar begitu saja dari bibir tebal milik Seungcheol, membuat sang dokter tersenyum tipis menanggapinya, merasa maklum kalau Seungcheol bisa jadi semarah dan se-emosi itu.

“Tak apa, aku mengerti.”

Seungcheol mendongakan kepalanya, menatap wajah Minghao dengan serius.

“Kalau begitu, kita bisa bicara? Lagi .. ?”

soulmate, —


Mingyu terkejut saat berpapasan dengan kekasih— yang juga adalah soulmatenya, di ruang administrasi rumah sakit. Ia memeluk pinggang ramping itu, membuat sang empu tersentak saat merasakan sebuah lengan memeluk pinggangnya. Mengurungkan niatnya untuk marah— Wonwoo, kekasih Mingyu, memberikan kecupan manis pada bibir kekasihnya itu.

Pria berkulit tan itu menarik tangan kekasihnya dan membawanya untuk duduk di kursi ruang tunggu. “Kamu, ngapain disini? Kak Jeonghan masuk rumah sakit lagi?” tanyanya, berusaha mencari tau.

Tentu Mingyu kenal Jeonghan dan Junhui. Selain karna mereka adalah teman kekasihnya, ia juga adalah supir pribadi pria berwajah kucing itu. Jadi ia tau banyak, belum lagi kekasihnya juga menceritakan banyak hal soal pria itu. Bahkan Mingyu sendiri beberapa kali berbincang dengan Jeonghan.

Wonwoo sendiri menganggukan kepalanya, seolah menjawab pertanyaan Mingyu.

“Iya, dia masuk rs lagi. Kecapean mungkin? Terus dia kumat, dan pingsan gitu aja.”

Kepala Mingyu bergerak naik turun. Mengangguk, seolah paham dengan cerita super singkat yang diceritakan oleh kekasihnya.

“Oh, pingsan..”

Mingyu terdiam, hingga akhirnya netranya membulat. “Pingsan—?”

Melihat Mingyu membeo seorang diri membuat Wonwoo memandangi kekasihnya aneh. Entah apa yang ada didalam pikiran si pria bongsor dengan kulit tan itu. Wonwoo meringis tiba - tiba. Pria besar itu meremat lengannya dengan kuat sambil menggoyangkan tubuhnya.

Mingyu terlihat gusar. “Apa Kak Jeonghan sakit kepala juga, terus sesak nafas?” tanyanya. Matanya menatap Wonwoo penuh harap. Ia menunggu jawaban kekasihnya. Jawaban yang akan memperjelas takdir dua orang, dan membuka lembaran baru pada buku kehidupan milik keduanya. Rasa tidak sabar memenuhi diri Mingyu. Sehingga cengkramannya pada lengan Wonwoo semakin kuat, membuat pria berwajah kucing itu meringis dan mengangguk cepat.

“Iya iya! Kenapa sih, gyu?!” pekik Wonwoo. Kekasihnya biasanya bersikap lembut padanya, tapi tadi sangat kasar. Ia menatap tajam pria bongsor itu.

“Kamu tuh kenapa sih?”

Hanya gelengan tegas yang diberikan Mingyu pada Wonwoo. 'Dugaanku terbukti benar.' batin Mingyu. Langkah besar kaki Mingyu membawa pria bertubuh bongsor itu menjauh. Berlari menuju kamar temannya, dan meninggalkan jutaan pertanyaan dalam pikiran kekasihnya, juga ringisan akibat cengkraman Mingyu yang begitu kuat pada Wonwoo.

soulmate. ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang