Realize.

739 98 7
                                    

Aku kebelet end cerita ini maaf nne 🤧 kajja lompat ke cerita! Jangan lupa vote and comment xixi! 👉👈






Pria itu sedang duduk di kantin, termenung seorang diri, ditemani secangkir teh hangat didepannya. Helaan nafas berat berulang kali keluar dari bibir tipisnya. Ia meraih ponselnya, mengabari dosen bahwa ia dan dua temannya sedang berada dirumah sakit yang jelas saja sangat dipahami dokter tersebut meski pria itu tidak menjelaskannya. Wajahnya terlihat lelah namun masih merasa khawatir. Hingga akhirnya sebuah usapan lembut pada surai coklatnya menyadarkannya dari lamunan yang jauh entah kemana.

Kepalanya mendongak, menatap sosok manis dihadapannya yang entah sejak kapan duduk disana. Jemari kurus nan panjangnya masih mengusap lembut kepalanya, membuatnya memejamkan mata lalu menghembuskan nafas, sedikit relax. Ketika membuka mata, sosok didepannya menggenggam erat jemarinya, meyakinkannya bahwa semuanya akan baik-baik saja.

Merasa nyaman, senyumnya kembali terbit. “Ai,” bisiknya pelan. Sosok manis didepannya hanya mengangguk lalu tertawa perlahan, membuat pria itu menaikan sebelah alisnya, seolah bertanya 'ada apa' pada sosok di depannya.

Sosok itu menggeleng, lalu melepaskan genggaman dan menopang dagunya sendiri. Netranya menatap netra berwarna coklat terang milik pria di depannya. “Lucu aja. Aku yang shift malem, ngga tidur, yang kucel kamu.” jawab sosok manis itu membuat pria yang kebingungan itu ikut tergelak.

Jemari panjangnya menarik segelas teh dihadapannya, lalu menyesapnya pelan. Membuatnya dihadiahkan tatapan tidak terima oleh sang pemilik. Sosok itu tidak peduli, ia hanya ingin membasahi kerongkongannya yang terasa kering saja.

“I miss you, Ai.”

Uhuk—

Pria itu panik. Ia langsung berpindah tempat dan menepuk lembut punggung sosok tadi, merasa bertanggung jawab karena membuatnya tersedak. Tatapan kesal dilemparkannya pada pria itu. “Jun ge!” pekiknya. Bibirnya mengerucut gemas, membuat pria yang tentu saja adalah Jun itu mengecup singkat bibir ranum dihadapannya.

“Maaf, haohao.”

Itu Minghao. Kekasih Junhui.

Mengapa Junhui bisa dipanggil gege sedangkan Minghao sudah bekerja? Biar ku jelaskan. Junhui mengambil S2 saat ini, bersama Wonwoo dan Jeonghan. Sedangkan Minghao menjadi dokter di rumah sakit itu dengan privilege milik keluarganya. Keduanya bertemu saat pertama kali Jun mengantar Jeonghan kerumah sakit itu pada semester dua, sewaktu Jun menjalani kuliah S1-nya.

back to the story.

Jun terkekeh melihat kegemasan kekasihnya itu. Ia mengacak surai karamel milik kekasihnya lalu meninggalkan sebuah kecupan manis disana. “Katanya tadi suruh bilang langsung. Aku bilang langsung kamu malah keselek.” bela Jun. Ia tidak ingin disalahkan.

Minghao mendengus kesal, lalu menjauhkan tubuhnya dari Jun. “Salahmu galiat situasi kondisi.” Ia mendebat. Tak ingin disalahkan. Ia korban disini, wahai Wen Junhui.

Mengalah, Jun hanya mengangguk lalu mendekap hangat tubuh kurus kekasihnya, menyalurkan rindu yang tertahan selama berbulan-bulan karena kesibukan. Minghao membalas dekapan itu, dan beberapa kali meninggalkan kecupan manis di pipi sang kekasih.

“Mau ke cafe?”

— ๑๑๑ —

Menyetujui ajakan Jun, kini keduanya berada di cafe yang tak jauh dari rumah sakit. Memang dekat, sehingga keduanya memutuskan untuk berjalan kaki sambil bertaut jari. Kini keduanya duduk berhadapan dengan dua gelas teh hijau dan sebuah cheese cake untuk dimakan bersama. Satu suapan kecil masuk kedalam mulut Minghao.

“Jadi, kak Jeonghan masuk rumah sakit lagi? Ditanganin siapa?”

“Iya, ditanganin sama dokter Jisoo tadi. Karna kamu lagi nanganin pasien lain.”

Minghao hanya tergelak pelan. Memang, Minghao adalah dokter yang mengurus penyakit Jeonghan, namun sering kali digantikan oleh Dokter Jisoo kalau Minghao harus menghadapi pasien lain di ruang operasi atau unit darurat lain. Ia bertopang dagu setelah dua suapan kecil kue masuk kedalam mulutnya.

“Jadi, kali ini kak Jeonghan kenapa?”

Minghao ingin tau, bagaimana kejadian sebelum Jeonghan masuk rumah sakit. Setelah itu baru ia akan meminta data kondisi pasiennya itu pada Dokter Jisoo dirumah sakit nanti. Pertanyaan Minghao membuat pikiran Jun melayang jauh. Ia berdeham sebelum bercerita.

“Kita bertiga pergi ke outbound pinggir kota, mau ajak Jeonghan main. Kita udah make sure kalo Jeonghan minum obat dan kita berdua bawa obat punya dia. Lagi, dia gaada jadwal kontrol kan hari ini? Soalnya kamu juga ga ngabarin aku.”

Minghao mengangguk. Benar adanya kalau hari ini Jeonghan tidak ada jadwal temu dengannya, dan dirinya pun tidak mengingatkan Jun soal jadwal temu itu. Dan ya, Minghao memang memberi obat beserta resepnya kepada Jun dan Wonwoo. Keduanya harus siap sedia, takut-takut Jeonghan kambuh jika hanya satu dari mereka yang memegang obatnya. Apalagi, Jeonghan seringkali lupa meminum obatnya.

“Terus yaudah, kita main.” Jun melanjukan ceritanya setelah menghabiskan setengah gelas teh hijau miliknya. “Lagi kejar-kejaran, mau nangkep Wonwoo. Eh, tiba-tiba dia jatoh. Untung dibawah ada jaring pengaman.”

Minghao hanya bergumam, lalu wajahnya terlihat seperti berpikir dengan keras. Ia merogoh sakunya dan terlihat seperti menghubungi seseorang. “Dokter Jisoo, di rumah sakit?”

Jun yang mendengarnya hanya mendengarkan dalam diam, meski merasa bingung. Ia menyantap kue dihadapannya dalam diam. Tangannya bergerak menggenggam erat jemari kekasihnya, lalu mengusap punggung tangan pria itu dengan lembut.

“Mm, aku butuh konfirmasi dari keluarga pasien kamar 808. Kulihat tadi ada satu temannya menunggu. Secepatnya. Dah ya, kirim perkembangan vital pasien Jeonghan padaku. Pasien 808 juga.”

Dahi Jun mengernyit bingung. Mengapa nama temannya disebut, bersama dokter Jisoo pula. Lagi, siapa itu pasien 808? Jun harus mencari tau.

“Ah iya, aku balik ke rumah sakit jam 1. Sekalian mau minta libur sama kakek. Kak Jisoo mau nitip libur?”

Pikiran Jun buyar, berganti dengan perasaan antusias yang menggebu, ingin mengajak kekasihnya berjalan-jalan dan menghabiskan waktu berdua bersama.

Minghao terkikik, “Oke, nanti ya kak. See you.” dan panggilan pun berakhir. Kini perhatiannya fokus pada kekasihnya yang sepertinya menunggu lama. Bahkan tehnya telah habis, dan teh milinya masih tersisa setengah. Ia menunjukan cengirannya sembari bergumam maaf, membuat Jun, kekasihnya, mengacak rambutnya perlahan karena gemas.

Tatapan matanya menggoda, berniat menjahili. “Jadi, dokter muda kita mau libur nih?” tanya Jun. Alisnya bergerak naik turun, namun seringai tidak luntur dari wajahnya. Minghao salah fokus. Jun terlalu tampan. Hingga Jun menyentil dahi pria itu.

“I ask you, soon to be Mrs. Wen.”

Pipi Minghao merona, tapi tetap memukul tangan Jun didepannya. Pukulan sayang, tidak menyakitkan. Jun tergelak karenanya. Minghao mengangguk, lalu menggenggam jemari kekasihnya. Mengusap cincin silver dengan huruf M yang melingkar manis di jari sang kekasih.

“Iya. Ayo kita pergi liburan.”

Senyum keduanya terbit, lalu melangkah keluar kafe, dan berniat kembali kerumah sakit.

soulmate. ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang