Hujan yang sering turun tiba - tiba bukanlah hal yang mengejutkan di bulan November ini. Maka dari itu Park Jimin hanya memutar bola matanya saat menginjakkan kaki di stasiun pemberhentian kerata dan mendapati hujan begitu deras mengguyur sekitar.
"Woah, benar - benar tidak bisa dipercaya," gerutu pemuda itu sembari menatap layar ponsel yang menunjukkan ramalan cuaca hari ini- masih cerah berawan, padahal jelas - jelas sekarang sedang hujan.
"Apa BMKG mabuk?" gerutunya lagi. Ia benar - benar kesal. Hari sudah sore dan ia harus segera sampai rumah karena ada acara penting yang membutuhkan kehadirannya. Tapi hujan ini sangat menghambatnya. Memang ia hanya perlu menyeberang jalan dan memberhentikan taksi, tapi ia sangat tidak suka pakaiannya basah, terlebih, melihat derasnya hujan, mau secepat apapun ia berlari, ia akan tetap basah kuyup.
Memikirkan itu, Jimin mengusak surainya kasar. Resah. Sesekali melirik arloji di tangan. Sudah hampir setengah 6. "Kapan kiranya hujan ini reda?" gumam Jimin, bertanya - tanya, dengan dua telapaknya yang sengaja digesek - gesekkan. Pemuda mungil itu berusaha mencari kehangatan, sebelum dering ponselnya membuat ia menghentikan kegiatannya.
"CK! Siapa yang menelepon? Apa eomma? " monolog Jimin sembari mencari ponselnya di saku mantel. Saat ia dapatkan sudah benda persegi itu, nomor tak dikenal adalah yang ia lihat di layar.
Jimin menghela nafas, sangat tidak suka jika harus menanggapi orang asing, tapi ia tetap menerima panggilan itu. Siapa tahu penting.
"Yeobsaeyo? Nugusaeyo? " tanpa berniat basa - basi, Jimin langsung menanyakan hal itu. Suasana hatinya sedang tidak baik, jika yang meneleponnya orang iseng, dua kali lipat sudah kekesalan Jimin.
"Yeobsaeyo? " panggil Jimin lagi. Pasalnya tidak ada balasan untuk yang tadi.
"Yeobsaeyo? Ahjussi atau Ahjumma? Nugusaeyo? Jika tidak menjawab aku akan tutup sekarang," Jimin menjauhkan ponselnya dari telinga, hendak menggeser tombol merah, tapi suara yang samar ia dengar membuatnya terdiam.
"Jimin-ah," suara husky yang sudah tiga bulan terakhir ini tak terdengar, masih terasa mustahil masuk ke telinganya. Jimin, pemuda mungil itu, sampai mengusak - usak telinganya sendiri, mencoba mendengarkan lagi, dan suara itu semakin jelas.
"Jangan mengusak telingamu, terlihat merah sekarang."
Jimin mengedarkan pandang. "T-taehyung? Taehyungie?? Kau di sini?" tanyanya pada si penelepon yang... Ya, adalah kekasihnya, Kim Taehyung, pria yang membuat Park Jimin percaya akan cinta pada pandangan pertama. Juga orang yang membuat pemuda mungil itu berani menjalani hubungan jarak jauh, karena ia yang harus menyelesaikan study-nya di Seoul, Korea Selatan, sedangkan Taehyung masih harus bekerja mengurus perusahaan utamanya di Venesia, Italia.
Sudah hampir satu tahun hubungan keduanya berjalan, dan selama itu belum ada masalah sama sekali. Keduanya sering bertukar kabar, terlalu sering malah. Hanya pada beberapa bulan terakhir ini saja, tiba - tiba Taehyung jarang memberi kabar pada Jimin. Dan itu membuat si pemuda mungil resah bukan main.
Selalu mencoba berpikir positif, mungkin kekasihnya sedang sangat sibuk hingga tidak sempat berbagi kabar atau membalas pesan dan panggilannya. Tapi tiga bulan terlewat, membuat si pemuda mungil sempat goyah.
"Tae? Kau dimana?" Jimin ulang kali bertanya, sembari mengedarkan pandang, menelisik sekitar. Hanya orang - orang asing yang berlalu lalang. Ia sudah sangat antusias jika benar sang kekasih mendatanginya, menjemputnya, tapi dari seberang sendiri belum ada balasan.
"Tae?" panggil pemuda itu lagi.
"Di belakang sayang,"
Jimin membalikkan badannya terburu - buru. Dua kelereng hitamnya sudah berkilauan karena liquid bening menggenang di sana. Ia ingin menangis, tapi bukan karena sedih, melainkan bahagia. Penantiannya selama hampir satu tahun tidak sia - sia.
KAMU SEDANG MEMBACA
LOVERS [VMIN]
FanfictionKumpulan story VMIN All genre with love Bahasa baku, semi baku, non baku . . Homophobic leave aja, ntar ketularan karena sekalinya vmIN, kalian ga bisa vmOUT 👼 BUAHhhhhhh