Nathan bergegas menyandang tas dan menuju ruang klub olimpiade matematika. Ruangan masih kosong, hanya ada Eliza yang duduk di sudut ruangan sambil memainkan Ipadnya.
Seperti yang diharapkan, Nathan meletakkan tasnya di bangku terjauh dari Eliza.
Dulu Nathan mengagumi wajah cantik dan kegeniusan cewek itu. Eliza memang luar biasa menarik, tapi sayang kelebihan hanya pada tampang dan otak.
Sikap Eliza benar-benar parah, cewek itu tidak akan sungkan menindas orang yang tidak disukainya. Sikapnya juga semena-mena pada supir ataupun pembantu di rumahnya.
Nathan yang dibesarkan dengan berpegang pada norma-norma kemanusiaan jelas merasa Eliza adalah bentuk manusia paling cacat. Kesempurnaan luar yang terlihat dari Eliza hanya digunakan untuk menutupi sikap angkuh, egois, dan kasarnya.
Ruangan klub mereka mulai ramai. Beberapa anak sibuk membahas soal bersama, sementara Eliza masih mengabaikan sekitarnya.
Cewek genius itu tentu tidak akan buang-buang waktu untuk mengajari orang lain. Egois.
Saat Profesor pembimbing mereka masuk dan membagikan lembaran soal. Nathan bergegas menunduk dan fokus mengerjakan.
"Kamu ini kenapa Liz ? Kamu mogok mengerjakan soal hanya karena tidak saya pilih menjadi perwakilan yang berangkat ke Singapore minggu depan ?"
Seisi kelas melirik kearah Profesor mereka yang mengomel melihat kertas kosong Eliza.
Suasana semakin terasa mencekam saat Eliza memilih bangkit dan meninggalkan kelas pembinaan begitu saja. Aneke yang melihat itu menjadi salah tingkah sendiri. Masalahnya dia adalah orang yang dipilih pergi ke Singapore bersama Nathan dan Kael.
"Apa gue ngundurin diri aja ya, Than... gue takut Liz marah sama gue," Aneke mencicit pelan.
"Kalo lo mundur, gue juga mundur. Nggak sanggup gue kalau harus satu tim sama Liz," Nathan memperingati.
"Gue juga ogah satu tim sama, Liz," Kael bergidik pelan. Dia benar-benar kapok satu tim dengan Eliza.
Eliza benar-benar mendominasi dan semaunya sendiri, ikut berangkat lomba dengan Liz artinya tidak perlu melakukan apapun dan hanya perlu mematuhi Eliza yang songongnya setengah mati.
---
Putri mengelus dadanya setelah berhasil kabur dari ruang klub matematika. Dari semua hal yang berhasil Putri curi dari Eliza, hanya kegeniusan cewek itu yang tidak berhasil menjadi miliknya.
Tukar raga bukan berarti tukar otak ! Harusnya gue minta tukar otak sekalian !
Putri menghabiskan waktu senggangnya menunggu jemputan sambil berdiam di kelas untuk memainkan Ipadnya.
Saat ponselnya berdering, Putri mengerang jengkel melihat tulisan Mama di layarnya.
"Halo Mam... Ada apa ?"
"Jangan lupa resital piano untuk acara amal minggu depan ya Liz. Mam nggak bisa temani kamu latihan minggu ini... Pap ada urusan bisnis dan Mam harus temani Pap,"
"Iya, Liz ingat kok. Nanti Liz latihan sendiri. Mam fokus temani Pap aja,"
"Thank you dear... Mau oleh-oleh apa dari Ausie ?"
"Mau tas baru boleh ?"
"Sure,"
Sambungan telepon terputus dan Putri berdecak jengkel.
Ternyata ada lagi yang tidak berhasil dicuri Putri. Semua bakat Eliza tidak menjadi miliknya sama sekali.
Sekarang bagaimana caranya dia memainkan piano ? Satu-satunya lagu yang bisa dia mainkan hanya doremi fasolasido.
Ya kali gue main doremi pas resital !
"Nggak tau ah ! Pusing !" Putri mengacak rambutnya jengkel dan mendadak mendapat pencerahan saat matanya menangkap sosok Eliza —dengan wajah jelek Putri— keluar dari perpustakaan.
"Liz ! Eh... bukan... Put ! Putri !" Putri berusaha memanggil Eliza yang hanya mencibir dan berpura-pura tidak mendengarnya.
"Put ! Putri ! Budek ya lo !" Teriakan dengan nada jengkel itu membuat Eliza melirik Putri sekilas sebelum kembali berjalan.
Putri berlari mendekati Eliza dan berniat menarik tangan Eliza, tetapi ada tangan lain yang lebih sigap menahan pergerakan tanganya.
"Stop bertingkah semena-mena dan gangguin orang lain," Nathan menatap jengkel ke arah Putri.
Eliza menoleh dan tersenyum tipis melihat Nathan membelanya.
"Lo nggak usah ikut campur," Putri menghempaskan tangan Nathan begitu saja dan kembali manatap Eliza, "Gue ada urusan sama lo !"
Eliza menyalakan layar ponselnya untuk melihat jam, "Sorry gue ada jadwal ngajar. Gue duluan ya."
"Gue punya kerjaan buat lo ! Gue bayar mahal !" Putri memekik tertahan.
Eliza menoleh, "Nggak tertarik."
"Gue tau lo butuh uang ! Nggak usah sok jual mahal deh !" Putri menarik tangan Eliza.
"Karena lo kaya bukan berarti lo bisa semena-mena sama orang lain. Ayo Put gue antar," Nathan menarik tangan Eliza dan membawa cewek itu menuju mobilnya.
"Gue heran kok bisa ada cewek kayak Liz," gerituan Nathan membuat Eliza tertawa.
Kalo aja lo tau gue itu Liz. Udah kena serangan jantung kali lo, Than.
"Tuhan menciptakan manusia beragam, Than. Jangan berharap semua orang kayak lo," Eliza menanggapi singkat.
"Ya bukan berharap semua orang kayak gue juga sih, Put... kadang gue nggak habis pikir aja sama orang-orang yang nggak memperlakukan manusia selayaknya manusia."
Eliza menepuk pundak Nathan, "Jangan terlalu benci sama sesuatu. Nanti dapat karma dari Tuhan."
Nathan menatap Eliza, lalu tersenyum begitu saja, "Habis baca apa lo di perpus ? Jadi bijak gini ?"
"Pengalaman hidup, Than. Gue bisa jadi kayak gini karena pengalaman hidup."
Nada lelah dalam suara Eliza membuat Nathan meraih tangan Eliza lembut lalu menggenggamnya, "Lo bisa cerita sama gue kalau ada masalah."
Eliza menarik sudut bibirnya, "Makasih ya, Than."
"Iya, sama-sama Put," kenapa gue suka banget lihat senyum polos lo, Put.
"Eh... minggu depan jadi berangkat lomba ?"
Nathan mengangguk, "Jadi, gue, Aneke, dan Kael jadi perwakilan sekolah."
"Tumben bukan Liz ?"
"Akhir-akhir ini dia parah banget. Nggak mau ngerjain evaluasi mingguan, sering cabut dari kelas. Jangan ngomongin Liz deh, bikin gue kesel."
"Oke ganti topik. Gue habis cari tau soal beasiswa yang pernah diceritain sama bokap lo dan kayaknya gue harus mulai ikut lomba-lomba biologi deh biar memenuhi persyaratan."
"Nanti gue bantu cari lomba atau olim yang bisa lo ikuti. Gue ada buku biologi juga di rumah, barangkali lo mau pinjem," Nathan membukakan pintu mobil untuk Eliza.
"Besok bawain ya, Than," permintaan Eliza langsung dijawab anggukan oleh Nathan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Replace
Short StoryEliza Yuvena Sastrawidjaya memiliki segalanya. Wajah cantik, kekayaan yang melimpah, dan otak jenius. Tuhan pasti sedang bergembira saat menciptakannya. Jangan ditanya berapa banyak temannya atau bahkan fansnya, Eliza jelas malas menghitungnya. Putr...