Eliza jelas tau bagaimana memanfaatkan keadaan. Setelah seminggu hidup di dalam tubuh Putri, Eliza sudah berhasil mendapatkan pekerjaan. Dia akan berkerja selama satu bulan dan bisa membeli ponsel baru.
Selain itu dia berhasil mendapatkan teman. Eliza akan mulai menghitung dari Nathan, lalu Nanda.
"Put... lo bisa bantuin gue ngerjain yang nomer lima nggak ?" Nanda menyodorkan buku fisika pada Eliza.
"Bisa, sini gue ajarin. Minta kertas binder lo satu dong buat coret-coretan," Eliza mengajari Nanda sampai cewek itu paham.
"Wah... Ada jawabannya. Gila lo mendadak pinter, Put," Nanda menatap Putri takjub, "Apa rahasianya ?"
"Gue mulai rajin pinjem buku di perpus terus belajar lewat google gitu," Eliza menjawab asal.
"Sumpah ?! Lo nggak ikut les atau apa gitu ?"
Eliza menampilkan wajah sedih, "Gue mana ada duit buat yang begituan, Nan."
"Eh... sorry... gue nggak maksud," Nanda tampak kasihan, "Sebagai balasan karena lo seminggu ini sering bantuin gue, gue traktir bakso mau nggak ?"
Seminggu ngebantuin lo ngerjain puluhan soal dan bayaran gue cuma bakso sepuluh ribu ! Dasar pelit !
"Beneran ? Wah... makasih banget, Nan," Eliza tersenyum palsu.
"Iya, sama-sama. Nanti ke kantin bareng ya,"
Eliza mengangguk-angguk. Lumayanlah hari ini dia tidak perlu memakan bekal makanan mengerikan itu. Nasi dengan lauk yang bahkan Eliza tidak tau namanya.
---
Ini hari Jumat dan Eliza sudah bersiap-siap untuk mengerjakan proyek matematika di rumah Nathan.
Eliza sudah membawa baju ganti, berupa kaos yang baru saja dia beli dengan gaji mingguannya mengajar piano.
Selera berpakaian Putri benar-benar menyedihkan. Si Udik itu bahkan tidak memiliki satu kaos pun yang pantas digunakan.
Kaosnya kebanyakan adalah kaos yang dibagikan parpol, kaos sponsor, dan kalau ada kaos polos itu berbahan nilon yang gerah dan sudah bolong dibeberapa bagian.
"Supir gue agak telat soalnya harus jemput adik gue dulu, sorry ya ?" Nathan kembali meminta maaf pada Eliza —ralat, Putri– yang terpaksa menunggu lima belas menit lebih lama.
"Nggak papa, Than. Adik lo kelas berapa ?"
"Kelas 4 SD,"
"Selisih lumayan jauh ya berarti ?"
"Ya gitu deh, batal jadi anak tunggal gue,"
Eliza tertawa, "Seru lagi kalo punya adek, daripada kayak gue, sendirian di rumah."
"Eh... lo anak tunggal ?"
Eliza mengangguk, "Iya. Adek lo cewek atau cowok ?"
"Cowok, Namanya Noah. Anaknya tengil banget, lo jangan kaget kalo ketemu adek gue,"
"Sumpah ? Beda banget dong sama lo ?"
"Emang gue gimana ?"
"Kalem, tenang, nggak banyak tingkah lah pokoknya,"
"Wah makasih loh buat pujiannya,"
Eliza nyengir, "Mohon maaf nih ya. Diem lo lebih menjurus ke bisu jadi itu nggak dihitung pujian."
Nathan tertawa, "Ngaca... lo dulu juga diem banget, sekarang aja udah berani ngomong."
"Yah... semua itu butuh proses. Gue kan beradaptasi dulu," Eliza menghentikan kalimatnya saat gerombolan Putri —dengan wajah Eliza– melewatinya dan Nathan.
Eliza mengamati Putri yang seolah tidak mau berkontak mata dengannya dan wajah Nathan yang mendadak jadi sepuluh kali lebih dingin.
Saat gerombolan itu sudah hilang ke dalam mobil, Eliza memberanikan diri bertanya pada Nathan, "Lo kenapa sih kayak nggak suka banget sama Eliza ?"
Nathan menatap Putri heran, "Lo suka sama orang yang tabiatnya kayak Eliza ?"
"Memang Eliza kenapa ?" Tabiat gue kenapa ? Manner gue ada yang salah ?
"Lo pernah dilabrak Eliza kan ? Dan lo masih tanya tabiatnya Eliza kenapa ?"
Ya, tapi kan gue ngelabrak Putri gara-gara dia nyayat tangan gue pake kaca. "Ya itu kan karena gue yang salah, gue yang bikin Eliza luka."
Nathan tertawa sarkas, "Lo itu lucu ya... udah dibully masih aja belain Eliza. Lo kira yang bikin alat gelas yang lo bawa jatoh itu siapa kalo bukan Eliza ? Dia celaka karena ulahnya sendiri. Lo nggak boleh ngerasa bersalah. Yang salah Eliza. Titik.
Tuh mobil jemputan gue udah datang. Yuk."
Eliza mengekori Nathan masuk ke dalam mobil.
Gila ! Nathan bencinya udah nggak tertolong lagi sama gue. Gue pernah bikin salah apa sampe dia sensi banget gini.
"Put kenalin ini adek gue, Noah," Nathan menunjuk anak laki-laki yang duduk di samping supir.
"Halo Noah, nama kakak Putri," Eliza mengulurkan tangan dan balasan yang diberikan Noah membuat Eliza ingin menjitak bocah itu.
"Nggak peduli," balasan sengit dari Noah itu membuat Eliza menarik kembali tangannya.
"Dek... temen kakak ngajakin kenalan baik-baik loh ini," Nathan memperingati adiknya.
"Tapi Noah nggak mau kenalan, kakaknya jelek,"
Eliza mengatupkan bibir. Muka Putri emang jelek sih dek,lo nggak salah kalau nggak mau kenalan. Gue aja males liat kaca.
"Noah," panggilan peringatan dari Nathan itu berhasil membuat Noah menoleh.
"Kenalin aku Noah, adiknya kak Nathan. Kakak jelek jangan berharap jadi pacarnya kak Nathan ya... nggak pantes soalnya," perkenalan dan penghinaan panjang itu hanya dijawab Eliza dengan anggukan pasrah.
"Oke...oke... aku juga nggak mau pacaran sama kak Nathanmu yang ganteng ini kok. Ih... tapi masih kecil kok udah tau pacar-pacaran. Hayo... udah punya pacar ya kamu...," Eliza menuduh tidak serius.
"Menuduh tanpa bukti konkret itu namanya fitnah. Kakak bisa dipidanakan tau," Noah membalas jengkel.
"Anak kecil udah main pidana. Mau jadi hakim ya ?"
Noah mendengus, "Sok tau, aku mau jadi pengacara kayak Mama. Pengacara yang bela orang-orang kecil."
"Bohong ! Nanti kalo kamu jadi pengacara cuma bela yang cantik-cantik, kalo orangnya jelek kayak aku kamu nggak mau bantu,"
"Ih ! Enggak ! Noah bakal bantu semua orang, nggak pilih-pilih,"
"Kamu tau sebelum membantu kamu harus bisa dipercaya sama orang yang mau kamu bela. Biar bisa dipercaya kamu harus jadi teman. Kamu aja nggak mau berteman sama aku, gimana aku mau percaya ?"
Noah menoleh dengan wajah menahan kesal, "Ya udah kita berteman."
"Salaman dulu dong kalau berteman," Eliza menyodorkan tangannya dan dibalas jabat tangan super tidak ikhlas dari Noah.
Nathan yang melihat itu hanya tertawa tanpa suara. Baru kali ini ada yang mampu menaklukkan adiknya.
Eliza melirik Nathan, "Lucu banget adik kamu."
Nathan mengerutkan dahi, "Kenapa jadi pake aku-kamu ?"
"Ada anak kecil, nggak boleh pake slang," Eliza berbisik pelan.
"Ih ! Noah udah gede tau," Protesan Noah ditanggapi tawa oleh Eliza.
"Iya percaya,"
"Kak Nathan temennya kok resek sih," Noah mengadu pada kakaknya.
"Kamu duluan yang usil," Nathan menepuk kepala adiknya yang hanya bisa memasang wajah cemberut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Replace
Short StoryEliza Yuvena Sastrawidjaya memiliki segalanya. Wajah cantik, kekayaan yang melimpah, dan otak jenius. Tuhan pasti sedang bergembira saat menciptakannya. Jangan ditanya berapa banyak temannya atau bahkan fansnya, Eliza jelas malas menghitungnya. Putr...