Aku menarik gaunku yang tersangkut di jendela. Kemudian melompat keluar jendela. Hap! Aku berhasil menginjakkan kaki dirumput taman dengan sukses. Kutinggalkan halaman rumahku. Rasa kecewa pada Mom dan Dad memenuhi dadaku. Aku benar-benar tidak percaya. Mereka menjodohkanku dan merencanakan pertunangan tanpa memberitahuku? Aku kecewa sekali. Selama ini mereka selalu bilang menyayangiku, tapi ternyata?
Aku melangkahkan kakiku tanpa tujuan. Malam ini terasa begitu dingin. Aku harus kemana? Aku tidak punya uang untuk menginap di hotel. Aku begitu kaget mendengar perjodohan ini dan meninggalkan meja makan begitu saja tanpa membawa tas selempangku. Aku tidak mugkin tidur di jalanan. Gaunku berdada rendah dan hanya menutupi bagian pahaku pasti mengundang niat jahat bagi siapa saja yang melihat. Aku hampir menangis.
TINNNNNNNNNNN
Sebuah mobil hampir menabrakku. Aku terjatuh saking terkejutnya. Belum sempat aku mencerna apa yang terjadi, seorang gadis seusiaku keluar dan wajahnya tampah cemas.
"Yaampun, maaf... maaf... aku tidak....." Kalimatnya terhenti dan dengan sedikit intonasi yang dibaikkan dia bertanya, "Grace?" ia tampak terkejut.
Bagaimana ia tahu namaku? Sontak aku berhenti membersihkan lututku dan mengamati gadis di depanku. Kurinci tubuhnya dari bawah ke atas. Rambut hitam sebahu, mata biru yang selalu berbinar, kaus putih dengan rompi jeans, jeans belel, sepatu kets yang hampir pudar warnanya. No clue. Gadis ini tampak familiar tapi aku sama sekali tidak mengenalinya.
Kusipitkan mataku untuk melihat lebih jelas untuk mengenali gadis ini. Dia terseyum tak percaya. Mata birunya.... Sebuah lesung pipi terbentuk di pipi kirinya.
"Jill!!" pekikku tertahan. Jillian, sahabatku sejak kecil. Kami selalu bersama bagaikan anak kembar. Dimana ada Grace, pasti ada Jillian, begitu kata mereka. Aku dan Jill berpisah saat lulus SMA, karena ayahnya mendapat promosi keluar pulau, dan mereka sekeluarga pindah bersama. Tentu saja aku dan Jill mencoba untuk stay in touch selama beberapa tahun pertama. Saling berkirim surat, Mencoba menelpon satu sama lain. Namun seiring dengan kesibukan universitas dan kehadiran teman-teman baru kami akhirnya makin jarang berkomunikasi hingga akhirnya sama sekali kehilangan kontak satu sama lain.
"hahahah kupikir kau sudah lupa" katanya terkekeh.
"kau tampak......" aku berpikir-pikir mencari kata yang pas melihat penampilannya yang kini benar-benar berubah sejak aku melihatnya terakhir kalian di prom night SMA dulu. Bukannya aku ingin body shaming ya, Jillian yang dulu bisa dibilang obesitas. Jill makan apa saja yang di depannya. Dan sekarang.. tampaknya dia bekerja keras untuk menurunlan berat badan.
"Aneh?"
"Berbeda. Kau jauh lebih kurus dan funky" kataku meneliti setiap inci pakaiannya. Dulu, karena terbatasnya pakaian dengan ukuran extra, penampilan Jill terbatas di sweater rajut dengan warna pudar atau kaos tipis dengan bekas noda makanan.
"Ya, aku melakukan diet ketat. Kau benar. Nothing's impossible" katanya tersenyum. Senyumnya masih sama, sebuah lesung pipi disebelah kiri dan mata yang berbinar penuh semangat.
"Jadi... kau mau kemana?" katanya menatap gaun dan tatanan rambutku yang berantakan. Aku pasti tampak sangat menyedihkan sekarang.
Aku menghela nafas. Hampir menangis kuceritakan segala kronologi kisah yang ku alami padanya.
Jill tersenyum lebar. "You know what, kebetulan sekali. Aku baru saja pindah kesini dan tinggal sendiri sekarang. Kau bisa menempati kamar kosong di apartemenku kalau kau mau. Kita bisa melakukan banyak hal seperti masa SMA dulu" katanya bersemangat.
"Benarkah? Aku akan sangat berterima kasihh!!"
******
KAMU SEDANG MEMBACA
It Always Been You
RandomGrace kabur dari rumah karena dijodohkan. Namun, hidup mandiri di tengah kota New York bukanlah hal mudah. Ia yang biasanya berfoya-foya dengan uang ayahnya akhirnya harus bekerja untuk membutuhi hidupnya. Untunglah, ia hidup dengan keempat sahabat...