Setiap hari Minggu atau tanggal merah, Mail membantu bundanya berjualan sayuran di pasar. Ia dan bundanya hanya tinggal berdua. Bila ditanya kemana ayahnya, sungguh ia tidak tau. Sekali pun ia tidak pernah berjumpa dengan sang ayah.Di tempat inilah ia melihat Gretel untuk pertama kalinya—bernyanyi bersama Siti alias mengamen. Dan hari ini juga ia melihat gadis itu, bertingkah aneh tepat di depan ia berjualan, mengenakan topi, kaca mata, dan masker, layaknya mata-mata di film-film. Gretel tidak menyadari keberadaanya di sana. Setelah berbincang sebenbar, gadis itu bersama temannya pun pergi.
Kedua gadis itu masuk ke sebuah warung penjual bakso. Siti membawa gitarnya sebagai pengiring suara emasnya, sedangkan Gretel membawa bungkus permen untuk menampung uang yang diberikan orang-orang dari hasil ngamen mereka.
Siti berdiri di belakang orang-orang yang sedang makan, lalu memetik senar gitarnya, dan mulai melantunkan sebuah lagu populer.
“Terimalah lagu ini dari orang biasa. Tapi cintaku padamu luar biasa. Aku tak punya bunga. Aku tak punya harta. Yang kupunya hanyalah hati yang setia ... tulus padamu....” Suara merdu Siti pun menggema di kerumunan tempat sempit itu.
Setelah Siti selesai bernyanyi, saatnya Gretel menghampiri pelanggan warung itu satu-persatu untuk diberikan uang. Dari mereka ada beberapa memasukkan uang mereka ke bungkus permen yang Gretel sodorkan dan ada juga yang tidak. Setelah selesai, mereka pun pergi meninggalkan warung itu dan pergi ke tempat selanjutnya.
Entah mengapa, membantu Siti mengamen membuat Gretel senang. Ini lebih menyenangkan dari pada mem-bully anak-anak di sekolah. Dari sini ia bisa merasakan susahnya mencari uang dan juga bahagianya melakukan hal yang ia sukai.
Sudah beberapa tempat mereka jelajahi. Hingga lelah menghampiri. Gretel dan Siti duduk berselo di depan ruko kosong untuk beristirahat sejenak.
Gretel melirik arloji di tangannya, lalu ia bangkit dari duduknya, dan melepaskan maskernya. “Aku pulang dulu ya, Ti. Takutnya mamaku ngomel-ngomel lagi.”
Siti pun ikut berdiri berhadapan dengan temannya itu. Ia mengeluarkan uang hasil ngamen dari sakunya, lalu menarik beberapa lembar dan didekatkan uang itu ditangan Gretel. “Terima ini Tel. Kamu udah sering bantu aku ngamen. Jadi, kamu kali ini harus terima uang ini, ya.” Paksanya karena ia sungguh tidak enak Gretel membantunya tanpa mendapatkan apa pun.
Gretel menolak uang itu. Ia memaksa Siti untuk mengambil uang itu kembali. “Aku nggak mau! Aku lakuin ini dengan senang hati, kok. Kamu nggak perlu kasih aku imbalan.”
“Tapi, Tel—”
Gretel memasukkan uang itu ke dalam saku celana Siti. Sang empunya celana merasa tidak enak hati."Itu uang kamu. Aku punya cukup uang kok, buat jajan. He-he ...." Gretel terkekeh menampakkan deret gigi putihnya.
"Makasih banyak, Gretel. Kamu benar-benar baik. Aku nggak tau harus berbuat apa untuk membalasmu. Sekali lagi terima kasih sudah bantu aku ngamen." Siti tersenyum sambil memegang kedua tangan Gretel.
"Sama-sama, Siti. Kamu nggak perlu membalasnya. Justru aku yang berterima kasih karena kamu pernah menolongku pas aku dicopet dulu."
"Kamu selalu mengungkit itu. Aku beneran tulus nolongin kamu saat itu."
"Aku pulang dulu, ya, Ti. Da ....!" Gretel menjauh dan menggoyangkan telapak tangannya. Begitu juga Siti membalas hal serupa.
Gretel tidak butuh uang dari Siti karena ia punya penghasilan tersendiri yaitu dari malakin anak-anak lemah di sekolah. Selain itu ia juga tak enak menerima uang Siti secara gadis itu sangat membutuhkan uang untuk menafkahi dirinya dan juga neneknya yang sudah tua. Walaupun, Gretel tampak garang di sekolah, sebenarnya ia tidak seburuk itu. Lingkungan pertemanan dan rasa bencinya terhadapa keluarganya yang membuatnya menjadi gadis buruk.
***
Baru saja Mail turun dari motornya. Tiba-tiba dua orang dengan cepat menyeretnya dan membawanya ke suatu tempat. Ia panik dan hanya bisa pasrah karena cengkraman mereka terlalu kuat, susah untuk melarikan diri.
Rupanya, tiga teman mereka sudah menunggu di belakang gudang. Ada yang tertawa, ada yang memasang senyum miring, dan yang satu lagi sosok yang ia kenal memasang wajah cuek, masa bodoh.
Badan Mail dihempaskan begitu saja hingga ia terjatuh dan terduduk. Wajahnya langsung pucat, mendongak memandang wajah ke lima brandal sekolah yang sangat memuakkan. Mereka adalah Gretel dan gengnya.
"Heh, anak baru!" Ucup menendang punggung Mail hingga ia meringis kesakitan. "Kau tau, kenapa kau kami bawa ke mari?"
Mail menunduk, membisu. Bibirnya seketika kelu. Sungguh ini sangat menakutkan. Pikirannya sudah membayangkan sesuatu hal buruk akan terjadi. Takut ia dihabisi berandal-berandal ini.
Akbar menarik kerahnya, sehingga cowok itu pun ikut berdiri dibuatnya. "Kami tanya tu dijawab! Kecuali, kau bisu atau budek." Ia melepaskan cengkaraman di kerah kemeja putih Mail dan cowok itu jatuh lagi.
"Sebagai balasan atas sikap kau kemaren. Kau harus bawa cewek bantet." Akbar yang lupa nama cewek yang dimaksudnya pun bertanya pada temannya. "Siapa Guys, namanya?"
"Ica," jawab Gretel.
"Iya, si Ica. Kau bawa Ica ke mari. Paham, 'kan?!"
Mail mengangguk, lalu ia pergi mencari Ica sesuai permintaan Malik. Ia tidak memperdulikan punggung kemeja dan pantatnya yang kotor. Yang terpenting ia secepatnya menemui Ica agar masalahnya kelar. Ia sedikit menyesal melawan Akbar saat itu. Tapi, apalah daya semua telah terjadi dan ia hanya bisa pasrah dan berharap hal buruk tidak menimpa dirinya.
Wah, kapan nih Gretel dkk, tobatnya?Jangan lupa vote dan komennya ya
Terima kasih sudah mampir😄
KAMU SEDANG MEMBACA
Apology
Teen FictionHansel dan Gretel, saudara kembar yang memiliki sifat yang sangat berbeda. Hansel yang nyaris sempurna, baik, pintar, ramah. Sedangkan, Gretel yang bandel, tukang bully, suka buat onar. Mereka bersaudara dan sama-sama anak orang tua mereka, tetapi h...