14. Papa Marah (2)

57 24 98
                                    

Mail mengikuti Gretel yang jalan terburu-buru

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Mail mengikuti Gretel yang jalan terburu-buru. Cewek itu pergi ke arah gudang, tanpa menyadari ia mengikuti. Gretel pergi ke belakang gudang, sehingga membuat Mail bingung.

"Ngapain dia ke sana?" batin Mail penasaran.

"Hiks ... hiks ...." Suara tangisan terdengar samar.

Mendengar suara itu, mata Mail membulat. Ia cemas dan sedikit ragu. Pikirannya berkata bukan Gretel yang menangis, bisa jadi murid lain yang disakiti Gretel. Tapi, ia ragu karena tidak terdengar sedikit pun suara cewek itu.

Dengan langkah lambat, Mail pergi ke sana untuk memastikannya. Ia kaget melihat seorang cewek menangis. Dia Gretel, duduk memeluk lutut, menunduk, menangis terisak-isak pelan.

"Kak Gretel?" sapa Mail yang berdiri di samping cewek itu dengan sedikit jarak.

Gretel menoleh ke kiri, melihat Mail dengan mata berair, dan kantung matanya yang terlihat mulai membengkak. Ia usap air mata yang membasahi pipinya, lalu beranjak dari duduknya, berhadapan dengan Mail.

"Ngapain kau di sini?!" tanyanya ketus.

"Justru aku yang mau tanya ngapain Kakak di sini?" tanya Mail balik. Ia tidak mungkin memberitahu bahwa ia ke situ karena penasaran. Bisa-bisa di-bully lagi dia.

"Suka-suka akulah mau ngapain di sini. Pergi sana!" Gretel mengusir Mail. Ia tidak mau memperlihatkan kelemahannya menangis sendirian di tempat sepi kepada anak yang pernah ia bully.

Mail tidak mengikuti perkataan cewek itu. Ia tetap berdiri dan tidak bernajak dari tempatnya, justru kini ia mencoba mendekat. "Kakak kenapa menangis? Aku mau kok jadi pendengar curhatan Kakak, supaya kesedihan dan beban di hati Kakak bisa berkurang," tawarnya.

"Nggak butuh. Udah, pergi sana. Nggak guna kau di sini!" usir Gretel sembari mengisyaratkannya dengan tangannya.

"Baiklah, kalau sekarang Kakak nggak mau berbagi. Tapi, jika Kakak butuh temen curhat, cari saja aku. Aku siap selalu." Setelah menyampaikan kesediaannya, ia pun pergi meninggalkan Gretel yang masih berdiri di belakang gudang.

Entah mengapa, kehadiran Mail tadi membuat kesedihannya hilang, dan berganti kekesalan karena ia malu tampak menangis. Sebaiknya ia kembali ke kelas, tiada guna ia menangis di tempat seperti ini. Takutnya nanti ada murid lain yang mendengar dan melihatnya. Mau dibawa ke mana wajahnya yang terkenal ditakuti banyak murid-murid di sekolah ini.

***

Di rumah Gretel tidak bisa tenang. Prasetyo kembali marah-marah, menasehati putrinya. Amukan papanya tidak cukup di sekolah tadi. Kini Gretel tidak bisa mengelak. Air mata tidak bisa ia tahan. Mamanya juga ikut-ikutan menghujatnya, menceramahinnya, dan yang paling ia benci yaitu memuji putra kesayangan mereka--Hansel. Bagaimanapun, ia tak sudi bersikap seperti kembarannya itu. Lebih baik menjadi diri sendiri dan menjalani hidup dengan senang hati, daripada menjadi orang lain hanya untuk mendapat pujian, tapi tidak bahagia. Ia mau bahagia, disayangi orang tuanya, tapi tidak menjadikannya menjadi orang lain. Itu hanya mimpi di siang bolong. Sangat sulit untuk jadi kenyataan.

"Mulai besok, kamu nggak dapat uang jajan selama sebulan. Kalau kamu mau dapat uang jajan, kamu harus ikuti kemauan kami. Jadi anak penurut," ucap Prasetyo berdiri di kamar putrinya dengan tegas penuh emosi. Kini, semua anggota keluarga ngumpul di sana.

"Kalau Gretel nggak dikasih uang, 'ntar Gretel bayar uang fotocopy-an tugas di sekolah pakai apa, Pa? Terus kalau buku, pena Gretel habis, belinya pake apa? Papa nggak bisa begini, dong," jawab Gretel membuat alasan.

"Kamu bisa minta sama Hansel. Itu pun kalau dia mau kasih kamu uang. Nggak enak, 'kan? Makanya Kamu harus ikuti permintaan Papa. Nggak sulit kok. Tinggalin teman-teman kamu yang bandel itu, dan berhenti membuat onar di sekolah. Kalau sampai papa dipanggil lagi ke sekolah, kamu nggak boleh tinggal di rumah ini lagi."

Apa? Diusir dari rumah? Terus Gretel mau tinggal di mana? Oh, Tuhan, jangan sampai itu terjadi. Tidak dikasih uang jajan saja belum tentu ia bisa. Terpaksa dengan berat hati untuk sementara ia turuti saja kemauan orang tuanya itu.

"Baiklah. Gretel akan turuti semua kemauan Papa. Tapi, besok Gretel dikasih ujang jajan, ya. Gretel bisa kelaparan kalau nggak jajan."

"Besok kamu nggak dapat uang jajan. Untuk makan kamu bisa bawa bekal dari rumah. Lusa kalau kamu benar-benar ninggalin teman-teman kamu, baru papa kasih uang."

"Hansel, papa minta tolong untuk mengawasi adik kamu. Pastikan dia nggak ngumpul sama anak-anak bandel itu," pinta Prasetyo kepada Hansel.

Hansel kasihan melihat saudara kembarnya dimarahi habis-habisan oleh orang tuanya. Apalagi sekarang diminta untuk mengawasi Gretel, sungguh tidak nyaman baginya.

"Iya, Pa. Hansel akan pastikan itu," jawabnya melirik wajah Gretel yang memerah.

Gretel tak bisa berkata apa-apa lagi. Ia duduk di tepi ranjangnya menatap lantai dengan raut kesedihan. Prasetyo keluar kamar Gretel duluan, disusuli Santi, istrinya, dan tersisa Hansel yang ingin menghibur saudara kembarnya. Ia duduk di samping Gretel.

"Gretel jangan sedih lagi." Diusapnya rambut panjang Gretel. "Kamu turuti saja kemauan papa, Papa begitu buat kebaikan kamu."

"Makasih, Sel. Aku saat ini pengen sediri. Kamu bisa pergi dari sini," usir Gretel dengan halus. Sebenarnya, ia malas mendengar ocehan Hansel. Yang pastinya terus ceramahinnya. Memintanya itu begini-begitu. Menyebalkan.

"Ya udah kalau kamu maunya begitu. Jangan sedih lagi, ya. Mata kamu tuh udah bengkak, jangan sampai bertambah bengkaknya. Apalagi sampai besok." Hansel pun pergi dan Gretel tidak peduli dengan ucapannya. Lagi pula, ia bisa menghilangkan bengkak di matanya dengan batu es. Kata Om Gugel itu sangat ampuh. Mungkin, nanti atau besok ia bisa mencobanya. Ia juga tidak mau kelihatan jelek dengan kantung mata bengkak.

Sedih-sedih begini, ia jadi kangen kekasihnya, Justin. Gretel mencoba menelpon kekasihnya itu, tapi tidak kunjung diangkat.

"Pacar nggak guna." batinnya. Mood-nya bertambah buruk, berimbas ke ponselnya yang dilemparkannya di atas kasur. Sehingga, membuat benda pipih itu terpental dan jatuh ke lantai. Syukurlah, tidak rusak karena ia sadar saat ini sangat miskin-miskinnya.

 Syukurlah, tidak rusak karena ia sadar saat ini sangat miskin-miskinnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Jangan lupa vote dan komen
Terima kasih sudah mampir😄

ApologyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang