20. The Lost Artifact.

30 10 11
                                    

Di ruangan bercahayaan minim, hanya terdepat satu lampu kuning yang cahayanya pun remang-remang.

Seorang pria terlihat menyedihkan dengan keadaan tangan terikat pada kursi kayu tepat di bawah lampu itu. Wajah si pria telah dipenuhi luka lebam akibat pukulan yang tak henti-henti. Sudut bibirnya juga mengeluarkan darah segar yang hampir kering. Tidak hanya itu, hampir seluruh tubuhnya sudah bermandikan darah.

Badannya juga terasa remuk-redam akibat siksaan yang membabi- buta. Anehnya, meski air mata mengucur, bibir pecah itu tidak menampakkan kesedihan sedikitpun, bibir itu ... melengkung ke atas. Dia menangis hanya sekedar respon rasa sakit yang menjalar ditubuh.

"S-sudahku bilang, jurnal ... itu telah ku buang." Dengan sisa tenaga yang dimiliki pria itu berujar.

"Cepat katakan di mana kamu membuangnya!" Lawan bicaranya naik pitam, kursi yang awalnya diduduki ditendang keras, mengakibatkan suara dentuman bergema di seluruh ruangan ini.

"Kamu siksa sampai matipun, aku ... tidak akan ... mengatakannya," ujar Robin tanpa ada rasa takut.

Ia telah disekap di ruangan ini berjam-jam tanpa makan dan minum, terkadang ia ditinggal sendiri namun di suatu waktu akan ada orang yang menghampirinya untuk mengintrogasi. Seperti sekarang, sang arkeolog bersama seorang pria berkulit hitam dengan postur besar yang siap memukul, menendang dan memaki.

Mendengar tutur kata Robin barusan, si pria hitam makin kebakaran jenggot, tangan besarnya mengepal kuat-kuat, menampakkan buku jari yang meruncing. Didetik selanjutnya Pria itu mencengkeram kerah kemeja Robin.

"Jika kamu ingin tetap hidup, maka katakanlah di mana jurnal itu!" ujar si pria tepat di telinga Robin.

Robin berusaha menyunggingkan senyum di bibir pecahnya. "Ti-tidak akan," lirihnya mantap.

"Bedebah!" Sentak si pria langsung melayangkan bogem mentah ke wajah Robin, saking kuatnya pukulan itu. Kursi yang diduduki Robin terjungkal ke kiri, Robin yang terikat kuat di sana ikut limbung jatuh mencium lantai berdebu. Tidak puas hanya memukul, si pria hitam lantas mendaratkan puluhan tendangan acak di sekujur tubuh Robin, pria itu hanya bisa diam menahan sakit, dia sudah pasrah bila seandainya tidak bisa melihat matahari terbit dikeesokan hari.

Kata umpatan terus meluncur dari mulut si hitam. Robin hanya bisa mengigit bibir bawahnya seraya memejamkan mata. Tanpa bisa dikontrol air mata semakin deras berderai.

"Yeay ... Ayah pulang!" Ingatan masa lalu berkalebet di kepala Robin. Itu Marion saat masih kecil, dia berlari menghampiri Robin yang baru saja kembali.

" Kau pasti sangat lelah, Honey." Bayangan istrinya juga terekam jelas diingatannya.

"Tolong ...jaga Marion baik ... baik ... aku mau pergi." Robin meneteskan air mata. Kali ini bukan karena rasa sakit tubuh, melainkan rasa pedih pada sanubari. Kata-kata terakhir dari sang istri terngiang dibenaknya.

"I am sorry, Dear." Kepala Robin sudah tidak kepalang sakitnya, bau amis darah memperburuk keadaan. Badan lemahnya terus saja dihujani tendangan membabi buta. Hingga pada satu titik Robin tidak tahan lagi, kepalanya berdenyut, tubuhnya mati rasa, suara makian dari si hitam makin lama makin mengecil ... hingga akhirnya hilang tidak terdengar lagi.

"Belum saatnya, Honey." Tidak! Robin tidak salah lihatkan? Kenapa setelah suara dari orang yang menyiksanya hilang dia malah berpindah tempat. Sekarang dia berada disebuah tempat yang dia sendiri tidak tahu dimana, yang jelas tempat ini sangat indah, mungkin tempat terindah yang pernah Robin lihat. Robin merasa bebas, tubuhnya ringan, tidak ada rasa sakit yang menyiksa seperti beberapa menit yang lalu. Dia agak kaget kala mendapati dirinya telah bergabti pakaian seba putih. Apa aku sudah mati?

Raihan: The Lost Artifact( Completed, Re-Publis)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang