Perhatian pria itu langsung teralih dari E-koran dihadapan kepada suara ketokan pintu. Begitu pula semua orang yang satu ruangan dengannya.
Semua mata langsung tertuju kepada wanita yang baru memasuki ruangan bernuansa putih ini. Wanita itu melangkah pelan namun tegas, suasana yang hening memperjelas suara hak yang beradu dengan ubin. selendang hitam yang dia gunakan sebagai kerudung tidak bisa menutupi seluruh rambut bergelombang yang dibiarkan terjuntai bebas, terombang-ambing dipunggungnya, dengan gaun hitam berbahan jatuh serta kacamata senada yang bertengger di hidung, sudah sangat menjelaskan bahwa wanita itu baru saja menghadiri acara duka.
Di ruangan serba bercat putih itu terdapat sekitar sepuluh orang berseragam cokelat, yang mana diantara mereka adalah Aida dan Fahmi serta seorang gadis belia, Marion.
"Marion kamu jangan pergi lagi, kamu tahu aku sangat menghawatirkanmu!" Wanita itu lantas mengambil tempat di samping Marion, membuka kacamata hitamnya, lalu menyimpan benda itu kedalam tas selempang yang tersampir di bahu.
"Aku baik-baik saja, kamu tidak usah menghawatirkanku." Marion sedikit menggeser posisi duduk, wanita itu terlalu menempel padanya.
"Oke, ayo kembali ke rumah sakit." Wanita itu lantas mengambil pergelangan Marion, kembali berdiri hendak membawa pergi gadis itu.
"Aku tidak mau!" Suara tegas Marion menyentak si wanita dengan cepat dia berbalik.
"Apa yang kamu pikirkan, dokter membutuhkan data mortem darimu." Wanita itu melepas cekalan tangannya. Menatap Marion bingung. "Apa kamu tidak peduli dengan jasad ayahmu?"
Ucapan wanita itu sontak membuat Marion membola. Cairan bening tanpa diundang kembali mengalir di pipi gadis itu. Menyadari dirinya terbawa suasana, cepat gadis merah ini mengusap linangan air mata. Tidak. Orang itu salah. Ingin sekali Marion menyangkal semua itu, namun ia urungkan. Biar yang lebih tahu melakukannya.
Ayahnya masih hidup hanya saja dalam keadaan tidak baik-baik saja. Paling tidak hal itu yang dia percayai hingga saat ini.
Lawan bicara Marion tersadar dengan ucapannya kelimpungan sendiri. Dia tidak bermaksud menyinggung hati si Thomson.
Marion mengangkat kepala. "Aku di sini karena peduli dengan ayahku."
Lagi dan lagi wanita itu tidak habis pikir dengan gadis di depannya lantas memijat pelipis, ia cukup pusing memikirkan Marion karena hilang setengah hari ini. Sekarang saat dia seharusnya bernapas lega karena telah mendapati Marion kembali malah bertambah pening menghadapi sikap si gadis merah barusan.
" Tidak usah terburu-buru, sebenarnya ada sesuatu yang harus kita bicarakan tentang kecelakaan tadi pagi." Seorang pria menyela pembicaraan dua perempuan berbeda usia itu. " jadi Bu Mastika, silahkan duduk!"
Mastika Anthalea menoleh kepada personil polisi yang tak lain adalah Fahmi. Dua ujung alisnya menyatu kala mendengar penuturan dari polisi itu, lantas atensinya berpindah pada Marion. Sang gadis telah kembali duduk di sofa. Mau tidak mau Mastika menurut. Toh kata Fahmi ada yang harus dibicarakan menolak polisi bukan opsi yang bagus.
"Begini Bu, ini tentang TKP kecelakaan. Apa Anda tahu mereka sebenarnya dari mana?" Seorang polisi bertubuh gempal duduk berseberangan dengan dua perempuan itu. Bahu kanannya tertulis Gilang Hamdani, seorang polisi dari satuan Lantas yang ikut andil menyelidiki kasus kecelakaan van itu.
"Sebenarnya hal itu ingin kami tanyakan kepada pihak keluarga, tapi sepertinya tidak bisa mengingat tragedi ini membuat keluarga korban syok berat. Mungkin Ibu bisa membantu."
Mastika melirik Marion, benar yang di katakan Gilang, keluarga korban belum bisa dimintai keterangan. Dia telah melayat ke rumah duka, kondisi di sana penuh haru biru. Tidak jauh beda dengan Marion saat ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Raihan: The Lost Artifact( Completed, Re-Publis)
Mystery / ThrillerMistery-Adventure-action Bismilllah. Assalamualaikum wr. Wb. Selamat datang di cerita pertama aku. Aku harap ceritaku dapat menghibur kalian. Cast:-Raihan Collins -Aisha Collins -Kayla Nasution -Aldovino Adjimoljo ...