16. Cooperation?

27 11 8
                                    

Di sini lah empat remaja itu sekarang. Di dalam mobil polisi bersama Fahmi dan Aida. Sejak keluar dari restoran tidak ada satu patah katapun yang keluar dari mulut enam orang tersebut. Semua hanyut dalam pikiran masing-masing.

Yang paling terlihat senang sudah pasti adalah Rias, sejak ponselnya dikembalikan Raihan, pemuda ini asik berselancar di dunia maya. Melihat akun whatsapp, Instagram, Facebook---semua akun sosial medianya diserbu oleh ratusan pesan masuk dari teman-temannya dan isi pesan tersebut rata-rata sama. Rias agak meringis kala mendapati ada beberapa pesan dari guru. Memang, sebagai siswa yang aktif di organisasi sekolah, pemuda ini memiliki kontak guru.

Merasa lelah dengan ratusan pesan tersebut. Rias memutuskan memasang status di sosial media bahwa dia, Raihan dan Kayla baik-baik saja dan akan segera pulang. Rias menghembuskan nafas lega saat menekan tombol 'kirim' paling tidak dia sudah tidak membuat teman-temannya gelisah lagi. Baru saja dia ingin membuka aplikasi lain, layar ponsel itu berdering keras. Seseorang menelpon. Rias meneguk ludah kasar kala membaca nama si penelpon adalah 'Bunda'. Rias sangat terharu kala mengingat begitu banyaknya riwayat panggilan tak terjawab dari sang ibu, itu menandakan betapa khawatir sang ibu kepadanya. Saking terharunya pemuda ini sangat takut untuk mengangkat telpon tersebut. Tapi jika tidak diangkat sekarang bisa- bisa di rumah nanti dia mendapat masalah yang lebih besar. Rias bergidik ngeri membayangkannya.

"Ass--"

"Eh, Rias di mana kamu sekarang?! Dari tadi emak teleponin ngga diangkat-angkat...." Suara melengking dari seberang telepon membuat Rias harus menjauhkan ponsel dari daun telinga. Orang-orang yang ada di dalam mobil kecuali Fahmi melirik kearah Rias, merasa terganggu. Sedangkan si biang kerok hanya nyengir lalu kembali mendekatkan ponsel ke telinga.

Astagfirullah, padahal ngga di loudspeaker.

Sementara Rias meladeni ibunya, Marion terus saja memikirkan sang ayah. Dia juga agak kesal dengan sikap Raihan. Pemuda itu tampak berbeda setelah bertemu polisi, Raihan seakan menghindari polisi bahkan sejak di apertemen tadi, benar Raihan memilih pergi dari apertemen karena tidak ingin bertemu dengan polisi. Sebenarnya dia sendiri tidak tahu alasan mengapa Raihan seperti itu, gadis ini sepenuhnya percaya kepada Raihan, sehingga dia mengiyakan saja semua kata tuan muda Collins ini. Tapi, bila melihat Raihan sekarang, entahlah apa dia masih bisa memercayai pemuda itu.

Angan Raihan sedari tadi melayang-layang. Ada beberapa hal yang mengganggu pikirannya. Dia kembali mengambil tabletnya dan membuka folder video CCTV, bola matanya memicing, dengan cepat ia mempause video lantas mengulang dari awal lagi --- memperhatiakan setiap inci video tersebut. Perhatian Raihan baru beralih kala mobil sedikit bergoncang akibat melewati jembatan. Dia baru ingat kota ini terkenal akan sungai-sungainya.

Kemudian Raihan kembali duduk menghadap depan. Tanpa sadar dia telah menatap tajam kearah Fahmi dan Aida.

"Pak polisi bagaimana caranya kok bisa dengan mudah menemukan kami?"

Fahmi dan Aida saling lempar senyuman.

"Apa jika kami menjawab pertanyaanmu, kamu juga mau menjawab pertanyaanku?"

Raihan mengangkat sebelah alisnya. Harus ada timbal balik yah.

"Tidak tahu, itu tergantung pertanyaan Bapak bisa ku jawab atau tidak," ujar Raihan.

Pernyataan tersebut Fahmi anggap sebagai persetujuan dari pemuda jenius ini.
Tanpa sadar lengkungan dua sudut dibibir berkumis ini terbit lagi, Fahmi semakin kagum dengan cara berpikir pemuda jenius tersebut.

"Begitu yah," ujar Fahmi, " mudah sekali, gerak-gerik kalian terekam kamera pengawas saat memberhentikan taksi, hanya dengan melacak nomor polisi taksi itu, kami bisa dengan mudah menemukan keberadaan kalian," jelas Fahmi tanpa memalingkan perhatian dari kemudi.

Raihan: The Lost Artifact( Completed, Re-Publis)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang