Cinta yang Tertulis Bukan Terucap

22 1 0
                                    

Tak hanya terampil dalam sebuah permainan bola. Aku juga sedikit pintar dalam mata pelajaran akademik. Karena aku adalah langganan rangking 3 besar dalam kurun waktu 2 tahun terakhir. Sebagai lelaki, aku merupakan saingan dari Dua perempuan yang selalu menghimpitku dari segi rangking nilai.

Pada urutan rangking pertama ada Kumala, urutan kedua ada Aku dan pada urutan ketiga ada Laily. Dan dilanjutkan dengan temanku Samsul dan Arif. Baru sadar ternyata dari situlah aku selalu dirumorkan dekat dengan saingan-sainganku itu. Bukan sombong tapi kenyataannya aku pada masa itu berada pada tingkat kepopuleran yang tinggi.

Karena sebagai seorang yang jago main bola, dan pandai dalam segala bidang pelajaran sekolah. Karena memang ibuku adalah seorang guru yang sangat disiplin dan tidak pilih kasih pada saat mengajar. Tidak memandang murid atau anaknya sendiri, beliau akan keras dan disiplin agar anak-anak muridnya menjadi orang yang sukses.

Kurasa karena pengaruh itu aku menjadi orang yang seperti itu pada masanya. Itu juga penyebab aku sering dikait-kaitkan dengan dua cewek sainganku, Kumala dan Laily. Kalian pasti pernahkan dijodoh-jodohkan dengan teman sekelasmu waktu kecil, memang terdengar seperti sebuah paksaan. Tapi itu semua cuma sebuah candaan semata.

Ketika itu aku sering dihubung-hubungkan dengan Laily. Sering kami dijadikan sebagai bahan candaan misalkan seperti singkatan dari nama kami, "ACL" yang merupakan singkatan dari "Arman Cinta Laily" cukup menjijikan kedengarannya kan. Aku sangat muak karena hal itu terkesan jijik. Meskipun ku akui Laily adalah salah satu wanita cantik dikelasku.

Bukan hanya itu tetapi mereka juga yang membuat coretan-coretan di dinding, di papan tulis, bahkan di meja yang menyangkut nama kami. Isi tulisannya kurang lebih seperti tadi "Arman Cinta Laily" dan masij banyak lagi macamnya. Bukan hanya teman sekelasku saja tetapi kakak kelas sampai adik kelasku juga ikut-ikutan seperti itu.

Kurasa kalian juga pernah mengalami hal tersebut sewaktu masa SD, hal-hal tersebut biasa disebut dengan cinta monyet pada saat ini. Maksudnya kata cinta yang hanya dipakai sebagai hiburan atau candaan semata, dan tidak ditindaklanjuti secara serius.

Serangan seperti itu terjadi bertubi-tubi, dan tiba-tiba saja aku mulai memikirkannya. Siapa yang tidak berpikir demikian ketika mendapat tekanan yang bertubi-tubi? Lagi pula Laily adalah perempuan yang baik bagiku. Meskipun kami adalah saingan dalam hal nilai, dia tak pernah menolak bila aku bertanya kepadanya tentang materi yang belum aku pahami.

Ya memang lelaki setingkat dibawah perempuan dalam hal ketelitian, menurut riset dan pengalaman yang aku lalui. Selain itu dia juga pandai mengaji, merdu sekali suaranya ketika melantunkan ayat-ayat Al-Qur'an yang suci. Dibenakku aku berpikir dia adalah sebuah kesempurnaan, dia memiliki segalanya. Dibalik itu semua, parasnya yang cantik juga menarik perhatian lawan jenis termasuk juga aku. Rambutnya yang hitam panjang, merah merona raut wajahnya. Siapa lelaki yang akan lari dari kesempurnaan itu.

Namun entah kenapa, semakin aku memikirkannya, semakin pula aku merasa minder. Aku memang merasa mampu bersaing dengannya tentang pendidikan akademik, namun tidak untuk bidang religi. Dia terlampau jauh diatasku. Aku tak pernah mengungkapkan perasaan itu, kalau aku tertarik padanya. Karena aku merasa belum pantas apalagi di usiaku yang masih terlalu dini dan kurang berpengalaman.

Dan sebenarnya aku tidak terlalu berniat untuk menjalani hubungan yang berlebihan dengan perempuan. Entah kenapa aku merasa kalau perempuan akan membuat fokusku terpecah dalam mencapai apa yang ku inginkan. Yaitu ambisiku sebagai pemain bola profesional.

Ada suatu peristiwa yang membuat hati seorang Armansyah memutar balik ideologinya tentang wanita. Di suatu sore di bulan Februari, saat itu merupakan ujung dari musim penghujan. Dan kebetulan sedang terjadi musim layangan yang mulai eksis kembali.

Tak banyak yang tau kalau aku juga jago memainkan layang-layang. Kala hari sedang cerah-cerahnya, dan aku berpikir hari ini cocok untuk menerbangkan layangan. Aku mengajak Dimas, rekan pilotku. Kalau masalah layangan kami berdua adalah duo pilot yang lumayan jago.

Kami bermain sampai tiba-tiba layangan Dimas putus tanpa sebab yang jelas. Kami berdua berlari mengejar layangan itu yang berakhir tersangkut di pohon tepat didepan rumah Laily. Bukan disengaja dan sebuah kebetulan ternyata Laily sedang duduk-duduk di teras rumahnya.

Tiba-tiba saja hujan turun dengan derasnya, membasahi setiap petak tanah di bumi di setiap sudut desa kami. Dimas yang rumahnya dekat dengan tempat itu memilih pulang karena takut dimarahi ibunya. Aku berpikir untuk ikut ke rumah Dimas tapi aku terlalu membayangkan yang tidak-tidak dan berpikir aku juga akan kena marah.

Aku memilih berteduh dibawah pohon besar itu. Jangan berharap lebih kalau hanya berteduh di pohon karena lama kelamaan pasti basah juga. Seperempat jam aku disana sendirian, kesepian, dan kedinginan. Sampai aku mendengar seseorang memanggilku.

"Man.. Arman.. kenapa disitu nanti kedinginan loh."

Setelah ku tengok ternyata itu suara Laily yang tadinya duduk di terasnya, dia menghampiriku dan mengajak mampir ke rumahnya.

"sini ke rumahku aja sekalian nunggu hujan reda."

Aku yang kedinginan gak berkata apa-apa dan langsung ikut menuju rumahnya. Laily adalah anak dari keluarga sederhana sama sepertiku. Ibunya juga sangat baik kepadaku. Kami bertiga cukup lama berbincang-bincang sambil menunggu hujan reda. Aku merasa cocok dengan cara mereka saat sedang membicarakan sesuatu, entah kenapa tanpa alasan yang jelas aku merasa nyaman.

Setelah hujan reda ibunya Laily menawarkanku sebuah tebu kepadaku. Aku sangat suka tebu, rasanya manis dan menyegarkan tenggorokan melenyapkan dahaga, terlebih sudah lama sejak tebu terakhir yang masuk ke penggilingan mulutku. Ibunya mengajakku ke belakang rumahnya, ternyata dibelakang rumah ada banyak sekali tanaman tebu. Mantap pokoknya.

Ditengah kegembiraan itu aku mengalami sedikit masalah dengan duri-duri halus yang ada di batang tebu. Banyak sekali yang tertancap dilenganku, duh sakit sekali.

"Usapkan duri-duri yang menancap itu ke rambutmu, secara perlahan nanti akan hilang sendiri." kata ibu Laily.

Aku yang tak tau apa-apa merasa itu hal yang cukup mustahil, tapi apa boleh buat, kalau tidak dicoba tanganku akan terasa sakit dan gatal terus. Ajaibnya, ternyata benar apa yang dikatakan ibu Laily, duri-duri itu langsung hilang, Alhamdulillah.

Ternyata banyak yang belum aku ketahui tentang dunia ini. Meski aku merasa sudah pintar dalam pelajaran tetapi ternyata pengalaman dari orang-orang dewasa itu jauh lebih besar pengaruhnya bagi kehidupan.

Setelah kenyang memakan yang manis-manis, hujan sudah mulai mereda. Aku segera berpamitan untuk pulang dan berterima kasih telah memberikan pengalaman baru kepadaku yang masih kecil kala itu. Laily yang tersenyum lebar saat itu terlihat lebih cantik dari biasanya.

Pengaruh besar cinta sudah mulai merasuk kedalam hati kecilku. Ibu Laily menyuruh untuk sering-sering main ke sini dan jangan malu-malu.

Aku hanya berkata "iya bu kalau ada waktu main lagi." sambil tersenyum dan menganggukkan kepalaku.

Aku pulang dengan perasaan yang tidak karuan, senyumnya terbayang-bayang sampai alam bawah sadarku. Diperjalanan pulang wajahku terhias dengan senyuman.

°°°°°°°

Tiga Benang MerahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang