Bian dan Era terlihat sedang bermain di depan panti sambil menunggu ayah Bian yang akan datang menjemput. Ini pertama kalinya Era akan bertemu dengan ayah Bian karena selama ini mereka tidak pernah bertatap muka. Era besyukur karena pada akhirnya Bian bisa kembali berkumpul bersama ayahnya. Jujur saja, pria kecil itu tampak kesepian dan selalu berhasil membohongi semua orang dengan keceriaannya.
"Nek, papa lama banget sih?" Bian tampak jenuh dengan permainannya. Dia sudah menunggu kedatangan ayahnya selama satu jam, dan pria itu belum juga muncul. Era yang melihat itu semakin kesal akan tingkah ayah Bian.
"Kayanya papamu kena macet, Bian. Sabar dulu ya," ucap Bu Ratna dari teras rumah.
"Bian udah ngantuk."
Era tersenyum dan mengelus kepala Bian sayang. Dia semakin prihatin dengan anak itu. Bian masih kecil, seharusnya dia bisa merasakan kasih sayang orang tuanya secara penuh. Jika seperti ini, apa bedanya Bian dengan dirinya? Mereka sama-sama tidak mendapatkan kasih sayang orang tua.
"Era!" panggilan dari Bu Asih membuat Era berdiri.
"Iya, Buk?"
"Minta tolong ke apotek ya, obatnya Rafi habis."
Mendengar itu, Era kembali masuk untuk bersiap. Kali ini dia tidak bisa menunggu Bian dijemput oleh ayahnya, padahal ingin sekali Era melihatnya. Setidaknya dia ingin memberi petuah yang dia pendam selama ini untuk tidak mengabaikan Bian lagi.
***
Di perjalanan, Era berdecak saat lagi-lagi dia terjebak macet di jalan yang dia lewati. Hari masih menjelang sore tapi kenapa jalanan begitu padat? Jarak panti ke apotek cukup lumayan jauh dan dia harus bergegas karena kondisi Rafi yang kembali demam.
"Ini orang-orang pada nganggur apa gimana sih? Kok pada di jalan semua," gerutu Era berusaha mencari cela untuk laju motornya.
"Eh, Buk! Kalau mau belok kiri jangan lampu kanan yang dinyalain!" teriak Era lagi saat dia terpaksa mengerem mendadak karena ulah pengendara di depannya.
Emang bener ya, kalo nyetir deket ibuk-ibuk bawaannya istighfar mulu.
Era masih menyetir dengan hati-hati. Dia masih berusaha mencari celah di antara mobil sampai akhirnya dia dikejutkan dengan suara klakson mobil. Era yang sedari tadi mencoba fokus mendadak terkejut dan hilang keseimbangan. Dia terjatuh dan menghantam mobil hitam di sampingnya.
"Bokong gue!" umpat Era saat dia sudah terduduk sempurna di atas jalan. Bahkan lengannya yang mengantam mobil tidak sesakit pantatnya yang mengantam panasnya aspal.
Semua orang mulai menatapnya bingung. Keadaan jalan yang macet membuat orang-orang tampak kesulitan membantu Era. Gadis itu masih meringis meratapi nasibnya. Bahkan dia tidak lagi memikirkan kondisi tubuhnya, dia semakin dibuat takut dengan mobil di sampingnya yang beset karena ulahnya.
Era menunduk saat pemilik mobil turun menghampirinya. Tanpa melihat, Era tahu jika pemilik mobil terdengar menghela nafas lelah.
"Kita bicarain di pinggir." Hanya kalimat itu yang Era dengar. Tampak begitu dingin dan membuatnya takut.
Kalo minta ganti rugi gimana nih? Masa jual ginjal beneran?
Dengan tertatih, Era berdiri untuk segera menepi. Dia tidak ingin karena ulahnya akan semakin membuat jalanan macet. Saat masih berusaha mengangkat motornya, sebuah tangan menggantikannya dan memarkirkan motornya di pinggir jalan. Dilihat dari punggungnya, pria itu adalah pemilik mobil yang Era rusak.
"Pak, saya minta maaf," ucap Era pelan saat sudah berada di belakang si pemilik mobil.
"Mobil saya beset, tanggung jawab kamu apa sekarang?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Harta Tahta Kesayangan Duda (SELESAI)
RomansaCoba bayangin gimana rasanya ditaksir sama duda? Iya duda. Itu yang gue rasain sekarang. Bisa-bisanya cowok kalem kayak dia suka sama cewek aneh kayak gue? Pingin banget gue lari, tapi ada buntutnya yang bikin nggak jadi. Bukannya gue nggak mau, tap...