Another £10,000

882 76 15
                                    

Jeon Jungkook

Wanita di sebelahku ini tidur dengan begitu nyenyak. Sepertinya dia sangat kelelahan setelah kami melakukan seks mulai dari semalama hingga matahari terbit tadi.

Kuakui bahwa aku gila karena memintanya untuk terus melayaniku sepanjang malam. Tapi, itu memang keinginanku. Sudah lama aku tidak melakukan seks, dan penisku rindu vagina. Jadi wajar saja jika aku meminta seks terus.

Kutatap wajah wanita ini—yang belum kuketahui siapa namanya—saat dia sedang terlelap.

Jujur, wanita ini cantik sekali. Sangat, sangat cantik. Aku bahkan bingung kenapa dia harus bekerja sebagai prostitutor seperti ini.

Semakin kutatap wajahnya, semakin aku menyadari bahwa dia itu cantik sekali ketika terlelap seperti ini. Wajahnya begitu damai. Sepertinya Tuhan telah mengirim malaikat untuk memberinya mimpi indah.

Lalu tatapanku turun pada bibirnya.

Aku tidak tahu mengapa dia tidak ingin aku untuk mencium bibirnya, padahal bibirnya terlihat sangat menggoda. Well, mungkin dia memiliki alasan yang begitu personal untuknya.

But—fuck, I want to kiss her so bad!

Ketika aku ingin menaruh tanganku pada rambutnya, ponselku berdering tiba-tiba. Aku mendecak sebal, tapi tetap mengambilnya. Nama Nenek muncul di sana.

Aku menghela nafas. “Halo, Nek?”

“Jungkook!” Nenek berteriak. “Astaga, apa yang kau lakukan, huh? Mengapa kau tidak menghadiri semua acara yang sudah dituliskan dalam jadwalmu kemarin? Kau juga pergi tanpa mengatakan apa pun pada Alexander.”

“Kepalaku pusing, Nek. Aku tidak bisa menghadiri acaranya karena kemarin malam aku mabuk. Nenek tidak mau aku mempermalukan Nenek di hadapan semua orang, bukan?”

“Jika begitu, kenapa harus meminum alkohol?”

“Aku butuh refreshing, Nenek. Yang selalu kulakukan adalah memenuhi tugas kerajaan. Aku lelah, oke? Aku butuh alkohol untuk menenangkan diriku dan memperbaiki suasana hatiku.”

“Ya sudah, terserah apa yang ingin kau katakan. Tapi hari ini, kau akan menghadiri semua acaranya lagi dan Nenek pastikan kau akan hadir. Kalau tidak, Nenek akan mencabut hak-mu dan memberikan kekuasaan Plantagenet pada sepupumu saja. Kau tidak akan pernah menjadi raja untuk Plantagenet jika kau terus seperti ini.”

Oh, sial. Nenek mulai mengancam. Ini tidak baik.

Aku menghela nafas. “Oke, oke, baiklah. Aku akan menghadiri acaranya. Semuanya. Oke?”

“Bagus. Dan jangan lupa, pukul tujuh malam nanti, kau harus menghadiri wawancara untuk dokumentasi di televisi nasional Perancis. Jawab pertanyaannya dengan benar.”

“Iya.”

“Jangan lupa untuk terus tersenyum. Berikan attitude baik di hadapan semua orang.”

Aku memutar bola mataku. Ugh. “Iya, Nenek.”

“Ya sudah. Semua jadwalmu dimulai pukul delapan pagi. Bersiap-siaplah dari sekarang.”

Setidaknya aku masih punya waktu dua jam, karena sekarang masih pukul 6:12 a.m.

Panggilan diputuskan dari Nenek. Aku menaruh ponselku di atas meja di sebelah ranjang, kemudian aku menoleh pada wanita ini yang ternyata sudah bangun.

Wanita ini menatapku dengan begitu tajam. Aku menaikkan alisku. “Kenapa?”

“Aku sedikit mendengar percakapanmu. Si penelepon bilang bahwa kau tidak akan pernah menjadi raja Plantagenet jika kau terus seperti ini,” katanya. “Tunggu. Jadi kau—”

SEPTEMBER IN PARISTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang