04. BAR-BAR & SABAR

63.4K 7.5K 462
                                    

"Hidup itu jangan apa-apa dibikin mainan, sesekali serius dong."

Sebelum baca, ketik HADIR dulu yuk!
Jangan lupa vote dan ramaikan kolom komentar, ya.

"Mau ngomong apa? Buruan, gue mau pergi nih," ketus Luvi begitu menemui Irgi yang masih memberi makan ikan di kolam belakang rumah

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Mau ngomong apa? Buruan, gue mau pergi nih," ketus Luvi begitu menemui Irgi yang masih memberi makan ikan di kolam belakang rumah. Alis laki-laki itu terangkat samar kemudian duduk di kursi kayu panjang. Bersama Luvi yang juga turut duduk di sampingnya.

Ck.

"HELLO, IRGI? You denger gue, 'kan?" Luvi setengah berseru kala Irgi tak kunjung berbicara.

Mengundang senyum semu yang terpatri di bibir merah jambu itu. "Aku menyanggupi permintaan Ibu. Dan besok keluargaku ke sini."

Luvi bergumam. "Ya, terus?"

"Kalau kamu ada merasa keberatan omongin aja sebelum terlanjur jauh." Seketika perkataan Irgi membuat Luvi mendengkus, lalu hening.

"Gimana, Vi?"

Gelengan kecil Luvi merespons. "Terserah, gue ngikut aja. Yang ngerencanain pernikahan ini juga elo sama Ibu. Gue cuma korban."

Hela napas Irgi mengudara, pelan. "Itu yang aku maksud, Vi. Kalau kamu keberatan dengan keputusan ini, kita masih bisa bicarain baik-baik ke Ibu dari pada ke depannya kamu nyesel."

Luvi mendelik kecil. Menyesal yang bagaimana maksudnya? Sejurus kemudian bola matanya berputar. "Demi Ibu ya gue sih mau-mau aja nikah sama lo."

"Tapi sebelum itu, aku boleh minta satu hal ke kamu?" ujar Irgi. Melirik singkat ke arah sang empu.

"Apaan?"

Tatapan Irgi meneduh. Bersamaan dengan semilir angin yang membelai wajah keduanya ia berbicara, "Seandainya di antara kita ada yang punya pacar, tolong akhiri hubungan itu cukup sampai sini. Kita saling menghargai untuk ke depannya. Aku nggak suka plin plan dalam mengambil keputusan. Kalau iya ya iya, enggak ya enggak. Jangan setengah-setengah. Yang jatuhnya malah kayak bocah."

Kelopak mata Luvi mengerjap cepat. "Putus maksud lo?"

"Ya." Lalu menit berikutnya keheninganlah yang menguasai. Luvi mengulum bibir. Memutuskan lima belas pacar? Bagi Luvi adalah hal mudah. Namun, yang jadi masalah apa pacar-pacarnya mau dan tidak mengamuk? Sedikit bocoran, rata-rata pacar Luvi merupakan anak tongkrongan. Liar. Mereka kerap berbuat onar seperti mabuk-mabukan pun balapan. Termasuk seorang Ervano Gardana.

Murahan? Mungkin orang-orang akan menyebut Luvi begitu, tetapi apa peduli gadis itu? Mereka siapa? Hanya sekumpulan manusia hobi berkomentar. Menilai sebelum mengenal.

"Aku mau pernikahan ini terjadi satu kali seumur hidup. Putuskan yang belum menjadi hak dan mulai serius dengan tanggungjawab masing-masing. Aku harap kamu ngerti, Luvi. Sebelum kita melangkah ke jenjang sakral."

Irgi menunduk dengan sepuluh jari yang saling bertaut.

"Aku tau kita cuma dua orang asing yang sebelumnya nggak saling kenal. Tapi coba pikir lagi, kalau dalam pernikahan nanti ada status lain apa bedanya dengan kamu mengundang badai untuk menghancurkan?"

"Karena setelah ijab kabul, aku yang akan bertanggungjawab atas kehidupan kita nanti. Membimbing kamu, menafkahi, mendidik anak-anak .... "

Panjang lebar Irgi menjelaskan. Dengan setarik senyum di akhir kalimatnya. Luvi masih diam, setia mendengar setiap kata dari bibir laki-laki itu. Dia meresapinya namun sekejab saja dibuat gagal fokus saat menyimak kata anak-anak. "Lo ... udah mikirin anak?"

Irgi menoleh. "Kenapa?"

Cengiran Luvi menyapa konyol. "Cuma pengen tau, nanti mau produksi anak berapa?"

Astaga, telinga Irgi memerah malu. Apa-apaan? Batinnya.

• • •

Keesokan harinya.

Lemari berukuran besar terbuka lebar dengan presensi Luvi di hadapannya. Sedari tadi dia memilah-milah baju yang akan dikenakan ketika menemui keluarga calon suami.

"Baju gue kenapa mendadak jelek semua, sih?!"

Decakan sebal menguar kasar. Luvi memang sering berbelanja pakaian bersama para pacarnya. Namun ketika hendak digunakan entah mengapa terasa norak tanpa terkecuali.

"Huft! Bodo ah, Luvi 'kan cantik. Pakai apa aja ya jelas cantik lah! Yakali burik. Emangnya muka lo?"

• • •

"Luvi, lihat Ibu."

Pupil Luvi naik. Baru keluar kamar saja langsung disambut seperti tuan putri. Pasti wanita itu akan memulai mukadimah panjangnya melebihi Pembina upacara. "Apa lagi? Mau protes?"

Bagaimana tidak protes? Kalau penampilan Luvi sangat-sangat tidak sopan. Celana jeans sepaha lengkap atasan di atas pusar. Sungguh, bukan didikan orang tuanya.

"Ganti pakaian yang sopan, Luvi. Yang menutup bukan malah memamerkan."

"Emang kenapa, sih? Repot banget deh. Pake baju apa-apa salah mulu perasaan. Sekalian aja aku telanjang biar semua puas!" Berjalan ke meja makan, tahu goreng dia comot tanpa mengidahkan omelan sang Ibu. Entah mengapa kupingnya mendadak panas.

"Kamu tau siapa yang bakal dateng?"

"Keluarga Irgi, kan? Gitu doang ribet," jawab Luvi tetap memakan tahu hingga tersisa seperempat piring.

Sontak saja Bu Hasna menarik Pergelangan tangan Luvi. Menyeretnya kembali ke kamar. "Bu, sakit ih! Merah nih!"

Wanita bergamis hitam itu membuka lemari lantas mengambil setelan busana muslim yang berada di paling bawah karena Luvi singkirkan. Bahkan pernah Luvi buang ke tempat sampah. Untungnya beliau memergoki.

"Pakai ini."

Ekor mata Luvi meliriknya tak suka.

"Diketawain banci lekong aku make ginian. Aku sadar diri kali Bu, bukan ustadzah, jadi gak pantes pake baju gituan," tolaknya mentah-mentah.

"Pakai atau Ibu yang memakaian?"

"Gak mau, Bu. Panas. Kalau aku nggak mau ya jangan dipaksa. Ibu ngerti nggak, sih? Kenapa seneng banget nuntut hidupku? Tau gini mending kabur aja sekalian! Pergi yang jauh dari rumah."

"Luvi .... "

Luvi menyangkal kasar tangan Ibunya saat beliau hendak menyentuh. Alhasil hanya senyum tipis yang wanita itu tunjukkan. "Ibu tau Luvi udah besar. Bahkan bentar lagi mau jadi istri. Dandan yang sopan ya, Nak. Ibu tunggu di luar."

Luvi melirik saat Ibunya meninggalkan dress panjang di atas kasur. Kemudian dia menghela panjang. Dalam hatinya terbesit rasa bersalah telah membentak malaikat dunianya, tadi.

Menunduk dalam, setetes air mata jatuh dari pelupuk. "Maaf, Bu. Aku memang bukan anak yang baik."

_Bersambung_

Santrimu SuamikuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang