Empat

63 55 46
                                    

"Dari mana aja kamu, jam sembilan baru pulang?" Seorang paruh baya itu bertanya dengan nada mengintrogasi.

Ara sudah dapat memastikan, dirinya akan terkena masalah saat pulang nanti.

Setiap orang melakukan sesuatu hal pasti memiliki alasan, meskipun itu adalah hal kecil. Ara sendiri memiliki alasan, mengapa dia pulang telat dari jam malamnya.

Mau di perjelas seperti apapun, orang tua akan selalu benar. Jadi, untuk apa Ara repot-repot memperjelasnya?

Itu akan membuang waktu, dan tentunya akan sia-sia.

Terkadang Ara akan memilih untuk diam, biarkan salah faham itu hadir, dan waktu yang akan menyelesaikan nya.

"Kalo di tanya itu Jawab!" Bentakan itu keluar dari bibir Nenek Ara yang saat ini tengah berumur 65 tahun.

Jika boleh jujur, Ara sangat tidak kuat jika harus dibentak.

Ara Diam. Percuma dia menjawab, jawaban itu akan menjadi angin lalu.

"Mau seperti apa kamu pulang malam?! Mau seperti Mama mu?!" Kepala Ara semakin menunduk dalam, dia berusaha menahan air matanya. Ara adalah tipe cewe yang mudah menangis, sakiti saja hatinya, meskipun itu dengan kata atau perbuatan kecil.

Bilang saja Ara baperan, memang itu adalah kenyataan.

"Tadi macet, nek." Setidaknya Ara akan membela dirinya, meskipun itu percuma.

"Halah, alesan aja. Kamu itu kalo di omongin Jawab!"

'tadi suruh Jawab, pas dijawab malah suruh diem' Ara meringis dalam batinnya. Semua itu tidak ada gunanya, lebih baik dia diam saja.

"Kerjaan mu kalo gak main Hp, ya main ke luar sama temen temen gak jelas mu itu. Mau seperti Mama mu? Itu di contoh Kak Aila, diem duduk anteng dirumah, gak keluyuran kayak kamu. Dia belajar, makanya pinter. Lha kamu? Makan mu aja yang di depan-in, tidur mu aja yang di depan-in, kapan belajar nya? Pantesan aja kamu goblok, gak pernah belajar! Anak ku gak ada yang kayak kamu, Cucu cucuku Semuanya pinter, cuma kamu aja yang goblok."

"Bener kata paman mu. Hp itu, hp itu pengaruh nya. Kamu itu kerja apa? Cuma nyapu doang!"

"Aku juga belajar," Jawab Ara dengan lirih. Tubuhnya bergetar menahan tangis.

"Di omongin kok jawab!" Sekali lagi, bentakan itu menggores hati yang rapuh.

Memang, Semua yang dia lakukan akan terlihat salah di mata semua orang. Keluarga nya hancur, mungkinkah dia akan mengorbankan hatinya juga?

'kayak rumah ini kecil aja. Ruang tamu sama ruang keluarga, aku butuh satu setengah jam buat beresin itu.' tidak ada keberanian pada tubuh Ara untuk mengungkapkan semua keluh kesah, dia akan cenderung memendam itu semua.

Lagian, pada siapa dia berkeluh kesah? Pada sahabatnya? Itu hanya akan di anggap sebagai bahan candaan.

Sudah cukup Ara menderanya.

Ara beranjak dari tempatnya berdiri. Mengunci diri dalam kamar, seperti yang biasa dia lakukan.

oOo

BRAK

Pintu kamar bernuansa kelabu itu di dobrak dengan sangat keras. "Cari mati lo hah?!"

"WOE SEMPAK!"

"Tidur goblok!"

Pemilik kamar menengok pada arah jam dinding. "Apasih anjink, masih jam se--"

"Jam berapa? Jam berapa hah? Cari mati Lo? Punya darah rendah juga! Kalo mau mati yang elite dikit napa."

"Ya mana gue tahu kalo udah jam setengah dua, gue kira masih jam sembilan."

MemoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang