Mean berulang tahun yang ke delapan belas. Itu bertepatan dengan liburan kenaikan kelasnya ke kelas dua SMA. Pesta besar digelar di rumahnya. Sayangnya, Plan bukanlah salah satu tamunya. Ia harus berpuas diri membantu ibunya di dapur menyiapkan makanan dan minuman untuk para tamu. Tidak apa-apa toh dua anak muda ini selalu punya cara untuk bisa bersama dan berbagi banyak hal.
Seusai pesta, Mean langsung menarik Plan dari dapur dan membawanya ke taman di belakang rumahnya. Taman itu sangat jauh dan biasa mereka gunakan saat mereka ingin berduaan. Mereka belum melakukannya. Keintiman mereka hanya baru sampai pada tahap saling berciuman dan menjamah. Plan belum siap melakukannya dan Mean harus dengan sabar menunggunya.
Namun, Plan sudah pernah berjanji kepadanya. Pada saat ulang tahun Mean yang ke-18, ia akan memberikan yang Mean sudah lama inginkan darinya. Oleh karena itu, Mean dengan sigap menarik kekasihnya itu dari keramaian dapur dan membawanya ke taman belakang rumah.
Mereka duduk bersebelahan di sebuah sofa yang cukup nyaman di rumah kebun dikelilingi oleh berbagai macam tanaman bunga.
Sofa itu biasanya digunakan nenek Mean untuk duduk menikmati pemandangan bunga yang menghampar di sekelilingnya. Sekarang jarang digunakan sebab sang pengguna sofa sudah tak ada lagi di dunia. Sekarang, sofa itu lebih sering menganggur. Tak ada yang berani mendudukinya sampai akhirnya Mean dan Plan mendatangi rumah kebun itu dan duduk di sana.
"Selamat ulang tahun, Khun Mean," ujar Plan lembut sambil memberikan sebuah kotak kecil dibungkus kertas berwarna hijau muda dan dihiasi pita di bagian tengahnya.
"Apa ini?" tanya Mean sambil tersenyum dan menerima hadiah itu. Ia menatap Plan dengan sumringah.
"Khun Mean, buka saja, " ujar Plan sambil tersenyum.
Mean membukanya dan ia mendapati sebuah kalung dengan liontin bunga Krisan tergolek di sana. Mean mengambilnya dan menatap kalung itu.
"Semoga Khun menyukainya,"sahut Plan menatap Mean dengan lembut.
"Suka. Aku sangat suka. Tolong pasangkan," ujar Mean memberikan kalung itu kepada Plan. Plan mengambilnya dan kemudian memasangkannya di leher Mean.
"Terima kasih. Hadiahnya indah sekali," sahut Mean. Plan menganggukkan kepalanya sambik tersenyum bahagia. Matanya berbinar indah membuat Mean tak bisa menahan dirinya untuk mencium Plan.
Mean mendekatkan wajahnya dan Plan paham dengan yang ingin ia lakukan. Jadi, ia memiringkan wajahnya dan memejamkan matanya. Mulutnya terbuka sedikit, sangat siap untuk menerima sebuah ciuman hangat dari kekasihnya itu.
Mereka berciuman lama dan setelah itu membuka matanya dan saling tersenyum.
"Bagaimana keadaan Khun Pho? Khun pasti sedih karena beliau tidak bisa hadir dalam acara yang penting dalam hidupmu," nada Plan terdengar sedih. Mereka duduk bersebelahan kembali.
"Aku sedih. Tapi, aku tak apa-apa. Ada hal yang lebih penting yang aku ingin dia hadiri dalam hidupku," sahut Mean sambil tersenyum dan menatap Plan.
"O, apa? " Plan mengernyitkan alisnya.
"Pernikahan kita, tentu saja. Semoga saat kita menikah, ia sudah sembuh. Kesehatannya semakin memburuk. Aku heran. Mae bahkan tak mengizinkan aku membawanya ke dokter lain. Ia hanya percaya dokter yang ia kirim," ujar Mean dengan nada yang sedih.
"Mungkin Khun Mae khawatir akan hasilnya yang malah tidak baik. Aku yakin, ia akan mengusahakan yang terbaik untuk Khun Pho," ujar Plan. Ia berusaha memberikan Mean dukungan.
"Uhm, kau benar. Kenapa kita jadi bicara tentang Pho. Aku ke sini ingin merayakan ulang tahunku bersamamu dan menagih janjimu," bisik Mean sambil tersenyum nakal.
"Uhm, aku tahu. Khun Mean mau melakukannya di sini?" Plan menatap Mean dengan percaya diri.
"Kau ingin kita ke hotel?" Mean menatap Plan juga dengan percaya diri. Plan menggeleng pelan.
"Di sini tidak apa-apa," ujar Plan pelan sambil menundukkan kepalanya. Mean tersenyum. Ia memeluk Plan dan mencium pucuk kepalanya.
"Jangan khawatir. Aku tidak akan menyakiti dirimu. Ini juga pertama kalinya untukku. Aku akan membuatmu bahagia. Aku janji," bisik Mean.
"Iya," jawab Plan pelan.
"Aku mencintaimu, Plan," bisik Mean.
"Aku juga, Khun Mean," sahut Plan pelan.
"Hei, bisakah kau panggil namaku saja tanpa Khun. Aku suka panggilan itu terlebih keluar dari mulutmu, tapi aku lebih suka kau memanggilku tanpa embel-embel. Kita kekasih, bukan? " bisik Mean lagi. Mereka masih berpelukan.
"Baiklah," sahut Plan.
"Coba panggil namaku," ujar Mean.
"Mean," lirih Plan.
"Uhm, aku suka mendengarnya. Sangat indah," bisik Mean. Mereka bertatapan dan berciuman. Perlahan, Mean merebahkan Plan di atas sofa itu dan ia kemudian membuka pakaian Plan. Setelah itu ia membuka pakaiannya sendiri. Begitulah sampai akhirnya keduanya tanpa sehelai benang pun.
"Plan, kau cantik sekali," desah Mean sambil menatap Plan yang tengah memalingkan wajahnya karena malu. Mean meneguk ludah. Tubuh indah yang melambangkan kesempurnaan itu adalah miliknya. Tangannya menjulur secara lembut menyentuh setiap inci tubuh indah Plan.
"Plan, aku sangat menginginkanmu," suara Mean sudah pada posisi berahi tinggi. Itu sejalan dengan naganya yang juga sudah mantap tegak siap menembus dinding dan menikmati kehangatan dan kebahagiaan di dalamnya.
Plan menganggukkan kepalanya pelan. Mean mencium Plan di keningnya. Perjalanan bibirnya tak berhenti di sana, tetapi menjelajah bahagia di seluruh permukaan tubuh itu, bahkan punggung dan ujung kakinya saja Mean tak lewatkan. Ia memastikan, memberikan tanda sekaligus menegaskan bahwa semuanya yang ada pada Plan adalah miliknya.
Malam itu akan menjadi malam pertama bagi mereka. Keduanya merasakan sebuah perasaan yang melebihi definisi bahagia. Keduanya sama-sama antusias menikmati pengalaman malam itu. Malam pembuka bagi mereka sebab tentunya sesudah malam itu, bercinta akan menjadi bagian dari interaksi mereka.
Bersambung