*03. Jangan nangis gini ih (17+)

15.7K 1.6K 382
                                    

"Apa pun yang kamu nggak suka sama pasanganmu, ngomong. Jangan diem aja. Biar bisa saling introspeksi diri." -Ratih Audia

"Nggak sakit 'kan, Sayang?" tanyanya sambil membelai pipiku

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Nggak sakit 'kan, Sayang?" tanyanya sambil membelai pipiku. "Lagi, ya. Masih kurang."

Aku mau bilang kalau rasanya aku kesakitan dan bolak-balik aku meringis, nahan nyeri- yang perih gimana gitu. Aku pikir Raden bakal peka terus nyadar kalau sekarang tuh aku lagi nggak nyaman. Namun, lagi-lagi dia kurang peka.

Apa aku harus bilang jujur? Tapi, aku nggak mau dia jadi kepikiran terus nyuruh aku periksa ke dokter lah. Besok tuh jadwalku padat. Setelah bulan madu ke New York, terus kita bulan madu lagi ke pulau yang disewain sama Barra. Terus setelah itu aku ada meeting sama desainer luar negeri di Singapura dan bikin aku deg-deg-an.

Aku nggak mau semua planning yang udah aku rancang itu berantakan. Nggak sesuai hanya karena ini. Aku masih bisa nahan rasa sakit ini kok. Lagian, ini 'kan bukan yang pertama kali buat aku? Kenapa sesakit ini, ya? Apa karena udah lama? Atau Raden yang mainnya terlalu kasar? Perasaan dia biasa aj- eh, enggak deh.

Raden- suamiku itu nggak bisa biasa aja. Dia selalu luar biasa.

"Nanti, ya..." aku menggeliatkan tubuh, berusaha mendorong dadanya. "Aku mau istirharat dulu," tanganku mengusap rambut ikalnya lalu turun ke kedua pipinya yang mengembung. Lucu. Gemas! Raden lagi cemberut kayak anak bayik yang minta dibeliin permen. "Emangnya kamu nggak capek, Den?"

"Enggak. Aku nggak capek! Malah makin semangat. Kan biar cepet punya anak lagi," katanya dengan binar mata penuh harap. "Nanti aku bakal ajak dia jalan-jalan. Bakal gendong dia 24 jam. Bakal selalu ada. Pokoknya aku kerja, dia aku bawa terus. Kita harus selalu sama-sama, Sayang. Ya, ya?"

"Iya...." aku tersenyum lebar lalu mengecup pipinya. "Semua butuh proses, Den. Nggak bisa langsung jadi ih. Kamu sabar. Jangan buru-buru."

"Aku nggak buru-buru!" sadar nggak, sih, kalau Raden tuh sekarang ngomongnya jadi kayak anak kecil yang manja gitu lho. Nggak ketus kayak dulu. "Aku cuma lagi berusaha lebih keras lagi, Ratih. Emang salah, ya, memperbanyak usaha?" ganti dia yang mengusap-usap rambutku.

Sejak Raden pake pola kalimat aku-kamu, dia udah jarang banget ngomong kasar ke aku. Ngomong kasar dalam artian bentak pas aku bikin salah atau pas aku lagi panik gitu. Dia biasanya bakal langsung peluk aku terus gigit telingaku, sambil bilang kalau dia marah sama aku. Aneh 'kan? Ya, Raden emang kelakuannya tuh adaaaa aja.

Hahaha. Aku makin cinta sama tingkah gilanya.

"Kamu mikirin apa, Rat? Katanya capek. Pengin istirahat. Tidur, gih."

"Aku lagi mikirin kamu."

"Aku kenapa?" tanyanya. "Aku kenapa, Sayang?"

"Nggak papa. Lagi mikir aja, nantinya kita bakal sering bertengkar kayak dulu nggak?" jujur, aku sedikit trauma. Menikah itu hal yang nggak mudah. Karena bersama Raden, aku mau. Aku mau memulai lagi. Aku siap memulai bahagia dan sedih sama dia. Aku siap.

"Kok kamu ngomongnya gitu, sih, Rat?" terus Raden ndusel-ndusel ke dadaku kayak anak kecil yang lagi ngerengek ke ibunya. "Jangan bilang gitu. Aku jadi takut."

"Kamu takut kenapa, Den?"

"Ya, takut aja kalau aku kerasukan setan lagi. Jadi banyak khilaf kayak dulu," suaranya bergetar dan aku bisa merasakan ada air mata yang jatuh ke dadaku. Raden nangis. "Omongan 'kan adalah doa. Kamu jangan ngomong yang buruk-buruk kayak gitu lagi, ya."

"Astaga, Raden. Jangan nangis gini ih. Kamu kayak anak kecil tauk nggak. Hahaha," aku bener-bener nggak bisa nahan ketawa. Raden lucu banget. Dia berubah jadi kayak anak kecil gini. "Omongan adalah doa kalau kamu mengaminkannya, Den."

"Tapi, tetep aja. Kamu bikin aku flashback sama dosa-dosaku yang setinggi gunung Himalaya."

"Raden ih...." aku menyeka air matanya secara perlahan dan dia keukeuh bersandar di dadaku. "Udah dong nangisnya."

"Udah nggak nangis, Rat."

"Bohong. Ini dadaku masih basah karena air mata kamu."

"Nggak tahu. Keluar sendiri."

"Makanya jangan nangis."

Kok jadi kebalik gini, ya? Dulu aku yang cengeng banget. Dikit-dikit nangis. Dikit-dikit baperan. Dikit-dikit overthinking. Dikit-dikit ketakutan kehilangan Raden. Nah, ini sekarang keadaannya dibalik. Raden manja banget sama aku.

Bahkan pernah aku ada kerjaan di luar negeri, Raden tuh nangis-nangis mau ikut, tapi sayangnya dia juga ada kerjaan dan ujung-ujungnya dia marah-marah banget kayak serigala yang kelaperan.

Pokoknya Raden tuh nggak mau aku pergi jauh dari dia. Sehari aja, dia nggak bisa. Bukan nggak bisa, sih. Lebih tepatnya nggak mau.

Raden nggak mau ngelepasin aku. Dan aku senang. Aku sangat bahagia.

"I love you. Don't leave me alone," lirihnya berbisik di telingaku.

"Iya, aku nggak bakal ninggalin kamu."

"Janji?"

"Janji, Raden."

"Hmmmm...."

"Ya, udah. Sekarang kamu tidur. Yang bener dong posisi tidurnya jangan ndusel ke aku kayak gini, Den." Raden tuh terlalu nempel sama aku. Bikin aku jadi nggak bisa bebas gerak mau ini-itu.

"Nggak bisa tidur, Rat."

"Bisa!" sentakku. Benar-benar seperti mengurus seorang bayi yang besar. "Ayo, tidur yang bener posisinya, Den."

"Nggak bisa tidur. Mau ini...." cicitnya yang membuatku mengerutkan kening.

"Mau apaan?"

"Ini...." lalu tangan Raden benar-benar terarah pada dadaku. "Mau nenen. Boleh, ya?"

------
A/n: Ini tuh cerita ringan. Nggak usah kaget sama karakternya Raden. Tertarik buat next part?

1000votes untuk lanjut up part berikutnya.

Follow Instagram @novaasiswanto @novaadhita @aw.raden @ratih.audiaa

Dari seorang perempuan yang lagi digigitin nyamuk dan diem aja.

Kamis, 19 November 2020

Nikah Lagi?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang