Part 23 - I won't

1.9K 441 49
                                    

Ruang tertutup itu berisi empat orang. Dia, anaknya dan juga dua orang pemerintahan. Persuasi itu memang bisa dilakukan dengan banyak cara. Salah satunya, uang. Itu adalah cara yang paling mudah dan gampang. Tanpa kekerasan atau keributan. Semua juga senang. Dia senang karena rencananya bisa berjalan dan mereka senang karena karena mendapatkan uang yang untuknya jumlah itu biasa saja.

Setelah selesai serta berjabat tangan, dia akan keluar lebih dulu dari ruangan itu bersama anaknya. Sementara yang lainnya akan keluar dengan jeda satu jam setelahnya. Untuk berjaga-jaga.

Matanya menatap bekas luka pada tangan Tommy. Kemudian ingat benar betapa murkanya Ibrahim padanya saat ini. Ya, Tommy akhirnya bisa melukai Mareno. Sayang, anak Ibrahim itu tidak mati. Harusnya dia mati saja. Jadi fokus si empat saudara akan terganggu sehingga dia bisa dengan mudah membereskan Ardiyanto dan juga Ibrahim dalam waktu yang sama. Setelah dia memiliki semua kuasa, si empat saudara sudah bukan menjadi masalah lagi.

"Kenapa kamu nggak operasi tanganmu?" Mereka berada di dalam mobil. Duduk di bagian belakang.

"Kenapa bertanya? Saya nggak pernah sempurna dimatamu kan? Jadi nggak usah ribut soal luka kecil begini." Tommy mendengus marah. Ingat benar bagaimana koper itu berbunyi dan meledak ketika dia lempar menjauh.

Herman tertawa. "Yah silahkan, kalau pelacurmu itu masih suka dengan kamu yang cacat. Tidak apa-apa. Jika dia tidak suka, ganti perempuannya. Lebih baik daripada mengganti tanganmu kan. Sesukamu lah."

"Itu urusan saya."

"Jangan pernah mau dikendalikan wanita. Mereka merusak pikiran dan menggerogoti jiwamu saja. Menyusahkan."

"Apa bisa kita stop pembicaraan pribadi? Lebih baik menghubungi Pak Drajat untuk susun rencana karena kasus ini akan bergulir di pengadilan nanti. Pak Lukman itu pengacara handal, Dwi Sardi juga kuat. Jadi untuk memastikan Ayah si empat saudara berada di tempat seharusnya butuh kerja keras."

Senyum Herman mengembang. Dia sudah mencetak anaknya sama persis dengan dirinya sendiri. Oh, bahkan lebih baik darinya. Kemudian dia berujar. "Hubungi Drajat sekarang."

***

Pintunya diketuk seseorang. "Hai Dok." Sosok Aryan ada di sana.

"Hai Yan." Dia tersenyum kemudian kembali menatap layar monitor. Laporan-laporan ini harus cepat dia selesaikan hingga dia bisa menyusul Reyhani ke butik Sabiya untuk fitting gaun.

"Kok nggak visit?" Aryan sudah duduk di depannya.

"Sudah."

"Oke aku ganti pertanyaannya. Kok nggak visit Mareno?"

"Dia pasien kamu dan Dokter Reyn. Bukan aku."

Aryan tersenyum geli menatap Tania.

"Kenapa kamu senyum-senyum gitu? Andaru hamil kembar?" tanya Tania sambil menatap Aryan sekilas.

"Nggak. Cuma aku ngerasa lucu aja. Kemarin dulu waktu Mareno koma, kamu sehari bisa tiga kali ke kamarnya. Sekarang, setelah tiga minggu orangnya udah bangun, hidup, malah udah bisa jalan lagi karena dia latihan fisik setiap hari. Kamu malah nggak pernah mau ketemu. Apa kamu segrogi itu kalau ketemu dia?"

"Aryan Diputra. Yang aku tahu kamu itu cool, diam nggak banyak ngeledekin orang. Kenapa jadi ngeledek terus? Usil banget jadi orang. Sana-sana aku mau buru-buru karena janjian sama Reyhani."

Aryan terkekeh geli. "Oh God, you really love him are you?"

Tangannya sudah melempar pinsil dan pulpen yang ada di meja ke tubuh Aryan. "Keluar nggak. Dasar menyebalkan."

The Dangerous Game (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang