Part 18 - Draft Messages

1.8K 385 56
                                    

Siapin jantungnya ya Genks!!

***

Dia baru tahu jika waktu bisa dibagi menjadi dua. Sebelum kenal dengan Mareno Daud, dan setelahnya. Dia pikir konsep dan teori konyol itu hanya untuk orang-orang yang romantis dan suka drama. Jadi dia tidak pernah berangggapan dia bisa merasakan ini lagi.

Dulu, semua baik-baik dan normal saja bersama Sena. Laki-laki itu baik hatinya, sopan tutur bahasanya dan juga sikapnya yang sempurna membuat mudah sekali untuk jatuh cinta pada Sena. Tapi, Sena terlalu menurutinya, mengikuti apa maunya. Dia senang, tentu saja. Tapi lama kelamaan kesenangan itu berkurang. Akhirnya dia yang menjauh pada awalnya seiring dengan kesibukannya yang makin meningkat. Setelah itu, kabar tentang Danika datang. Kemudian bayang-bayang Sena mulai hilang. Jiwanya digerogoti dendam yang menyala melihat Danika yang tersiksa.

Kemudian dia mulai mencari, menelusuri jejak Danika. Pencariannya selalu buntu karena hidup Danika memang normal-normal saja. Beberapa orang yang kenal Danika sudah dia datangi dan semua memiliki jawaban yang sama. Danika tidak memiliki pacar atau dekat dengan laki-laki. Aneh kan? Lalu dia fokus untuk mengunjungi Danika, merawatnya. Membantu Dokter Inggit dengan segala macam jenis terapi pada sahabatnya itu. Sambil berharap, Danika akan sembuh nanti.

Sekarang, dia merasa ada yang hilang ketika Mareno pamit satu minggu lalu. Pamit setelah mereka seolah sama-sama mengerti apa arti perasaan mereka sendiri. Pamit setelah ciuman lembutnya yang rasanya tulus sekali. Bukan ciuman penuh nafsu seperti predikat laki-laki itu sebelumnya. Dia mulai kehilangan dirinya sendiri. Seolah setengah hatinya berada bersama Danika dan setengahnya lagi dicuri oleh Mareno Daud, laki-laki yang seharusnya dia hindari. Jadi saat ini dia menatap lesu jadwalnya di komputer.

"Dok, bengong aja. Udah makan?" Sari sudah berada di pintu dan segera masuk.

"Hmm..." Tania menyahut tidak bernafsu.

"Kenapa sih? Nggak enak badan?"

Dia menggeleng saja, matanya masih menatap layar komputer.

"Cowok yang bawa bunga nggak ke sini?"

Dia menggeleng lagi.

"Ngomong dong Tan atau makan yuk sama gue."

Kemudian pintu itu diketuk. "Selamat siang Dok." Wajah Sena sudah di sana.

"Hai." Refleks Sari adalah berdiri, paham benar dia harus segera pergi.

"Halo, saya Sena."

"Sari. Mungkin kamu bisa ajak dia makan. Kayaknya lagi banyak pikiran."

"Sariii...daaaa." Tania menatap Sari kesal. Kemudian Sari berlalu pergi.

"Kamu kenapa? Udah makan?"

"Kok kamu bisa di sini?"

"Saya akan langsung datang kalau kamu terus tolak panggilan telpon dari saya. Lebih praktis daripada terus-terusan kangen sama kamu."

"Seeennnnaaaa...nooo." Tania menelungkupkan wajahnya di meja. 'Ya Tuhan bagaimana ini? Bagaimana cara dia memberi tahu Sena tentang apa yang dia rasa sekarang?'

Sena terkekeh geli melihat tingkah Tania.

"Sen, kamu beneran cinta aku ya?"

Mata Sena membelalak kaget dengan pertanyaan tiba-tiba itu. "Kenapa memangnya?"

"Kamu mungkin cuma sayang aja sama aku Sen. Mungkin bukan cinta."

"Nina, saya cukup dewasa untuk bisa membedakan mana itu cinta atau sayang."

"Jadi pasti kamu sayang aku, bukan cinta."

Sena menghela nafasnya. Mulai bertanya-tanya sendiri kenapa Tania bersikap begini. "Ada apa Nin? Mau sambil makan ceritanya?"

The Dangerous Game (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang