_____Hari ini mendung, seperti biasa. Kota yang langganan banjir ini belum menampakkan sinarnya selama 5 hari terakhir aku di sini.
Seperti orang-orang pada umumnya, aku juga benci senin pagi. Weekend ku habis karena harus bertemu senin. Berangkat kerja, cari uang, terus dipakai lagi buat tabungan, makan, beli jajan, beli make-up dan keperluan lainnya yang sebenarnya tidak perlu-perlu banget tapi harus dilakukan.
Tapi mau bagaimana lagi? Hidup memang seperti itu kan?
Aku Alira Mardani, asli Surabaya sekarang sedang berada di Semarang. Orang tua di Surabaya. Pacar tidak ada dan belum pernah ada. Jangan pikir aku tidak laku. Laku kok. Dulu tapi. Sekarang nggak tahu kenapa kayak laki-laki itu gak ada yang suka sama aku.
Gimana enggak.
Dari sekian banyaknya laki-laki di Semarang, ditempat ku kerja, di alumni kuliahku juga nggak ada yang nyantol sama aku. Kalau dipikir-pikir tampangku juga nggak jelek-jelek banget, masih pantes kalau mau dibawa kondangan. Aku juga cukup pintar, buktinya IP ku tidak pernah kurang dari 3.5 dan aku juga cukup mapan dengan karir gemilang sebagai editor perempuan satu-satunya di rumah produksi tempatku kerja.
aku dituntut untuk ikut memantau proses shooting meski tidak harus di setiap pengambilan scene. Yah namanya editor, jadi kalau proses pershootingan tidak sesuai dengan model film yang akan dibuat kan harus shoot ulang. Dimana yang tahu model film itu akan dibuat dan model pengambilan yang bagus serta yang bisa buat hidupnya suatu film juga editor meski sebelumnya juga sudah didiskusikan tapi tetap aja editor diharuskan ikut pantau.
Bersama sutradara dan produser editor bekerja sama untuk mengantisipasi adanya kekurangan bahan dalam proses editing. Karena jika ada kekurangan dalam proses produksi (Shooting) ketika telah masuk proses editing, akan berakibat pengulangan atau penambahan shooting scene.
Kali ini aku sedang duduk diatas motor matic ku. Perjalanan ketempat shooting. Seperti biasa karena ingin segera punya pacar, mata ini jelalatan. Tak jarang aku hampir menabrak karena fokus sama orang lalu lalang.
Tengok kanan, tengok kiri. Kebiasaanku di traffic light. Mecari orang tampan, berharap ada keajaiban seperti di novel yang beberapa kali aku baca.
Bukannya orang tampan, yang aku lihat malah pasangan berpelukan. Reflek aku memeluk diriku sendiri. Bermenit-menit mataku tak teralih. Ingin sekali tangan ini ikut mendekap. Seumur-umur itu hal yang belum pernah aku lakukan.
"Pengeeeeen" batinku
"Ra, pengambilan gambarnya langsung ke pemainnya nih. Lo butuh semacam footage nggak?" Seru bang Teguh setelah beberapa menit aku dilokasi shooting. Bang Teguh ini sutradara di film yang sedang aku garap.
"Perlu kayanya bang. Biar ntar kalo nggak cocok di cut aja si. Kira-kira dari atap gedung terus kebawah bagus nggak bang?"
"Cakep Ra, Cakep."
Aku acungkan jempolku. Yahh beginilah kerjaku.
"Man, ulang ya. Ambil dari atap terus kebawah."
Terkadang aku tidak mengikuti proses shooting sampai selesai. Hanya beberapa jam saja. Buat kebutuhan lain dalam dunia pershootingan sebenarnya sutradara sudah tahu mana yang perlu dan tidak.
Kaldera memukul pelan pundakku, "Lir, pulang dulu yak."
"Yoo Kal, tiati lo. Jangan jatuh lagi." Ejekku mengingat kejadian kemarin. Saat dia jatuh karena kesandung dan jadi bahan bully an buat temen-temen di tempat shooting. Biasalah kaya kehidupan biasanya, just bully for laugh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Need a Partner
ChickLitSeumur hidup Alira sampai usianya 25 tahun belum pernah merasakan yang namanya pacaran. Bukan tidak laku, hanya saja dia tidak tertarik. DULU. "Lo nggak bosen hidup sendiri?" pertanyaan itu yang sering terlontar ketika dia kemana-mana sendiri. Baga...