7

6 1 0
                                    

Ramai, selayaknya mall pada umumnya. Banyak muda-mudi, tua-tui, anak-inik. Pokonya orang-orang dari segala usia didalam mall ini.

Hari ini rencananya Aku bakal bertemu ke tiga sahabat aku yang sudah pada jadi wanita. Tinggal aku saja yang masih gadis. Meratapi tulang rusuk yang tak kunjung menemukan potongannya. Huhuhuhu aku kan juga pengen jadi wanita, "tapi untuk umurku sebenarnya belum terlalu tua untuk menikah" itu hanya kalimat penghiburan diri dalam hatiku. Jomblo menahun dari dalam lahir membuatku sangat ingin berpacaran. Merasakan indahnya bertengkar dan beradu pendapat cuma karna tempat makan.

Aku melihat lambaian tangan temanku di restoran sushi, “Cieeee sendiri.” Kata itu adalah ejekan yang selalu dilempar mereka padaku. Aku sebenarnya sudah muak dan benar-benar muak. Tapi mau gimana hilal jodoh belum muncul juga.

“Heyyyy Sitaaa. Tambah mbem aja kamu.” Aku uyel-uyel muka Sita. Gemasss sangaat. Sita itu anaknya Saludia. Anak pertamanya yang kedua masih diperut. Saludia itu emang yang paling gercep buat anak. Dia baru nikah setahun udah langsung isi. Sekarang anaknya baru dua tahun juga isi lagi. Hadeuh entah berapa kali dalam sebulan mereka buatnya, "enak buatnya" seru dia tiap ditanya "gak capek urus anak?". Beda lagi sama Rantung dan Alisha yang masih sama-sama nunda anak. Kata dia pengen berdua dulu sama misua pengen kalau lagi anu nggak ada yang gangguin. Pengen puas-puasin eksplor gaya. Gaya pacaran maksutnya. HaHaHa. Maklum sirkel pertemananku udah tua-tua cuma aku yang masih kicik, ciuman aja belum pernah. Jangankan ciuman, gandengan aja beloomm. Bersarang nih tanganku.

“Aelah perut lo udah mblendung aja Lud. Berapa bulan?”

Dia mengangkat tiga jarinya dengan mulut sibuk mengunyah, “Lo kapan nyusul Ntung. Udah dua tahun masih nunda aja.” Aku duduk dengan Sita dipangkuanku. Dia asik makan cemilannya. Sita emang apa aja yang dipegang dimakan sih. Nggak heran kalau dia segendut ini. Gemay pokonya.

“Harusnya gue yang nanya begitu nyett.”

“Jawaban gue masih sama tong. Jadi sia-sia aja lo tanya gitu.”

“Eh iya, kemarin kok lo bisa bareng sama artis itu sih Ra?”

“Kapan?” Tanyaku tanpa mengalihkan perhatian dari Sita. Saking gemesnya Aku sama Sita pernah dulu Aku minta dia dari Salud, tapi nggak dibolehin. Katanya Aku harus cari suami dulu.

“Yang waktu gue nelpon lu.”

“Tante lu itu apa?” tanya Sita padaku.

“Coba Sita tanya sama Mama. Kan Mama tadi yang bilang begitu.”

“Mama lu itu apa?” Salud langsung melototi Aku, “Nanti kalau Sita udah gede pasti tau lu itu apa. Okey sayang?”

“Jadi siapa Ra?”

Semua temanku menatapku penasaran, “Biasalah, artis gue.”

“Tapi selama ini gue nggak pernah tuh liat lo semobil sama artis lo.” sangkal Salud disetujui yang lain.

“Please deh. Nggak usah mancing-mancing gue halu” kataku memutar bola mata. Emang suka kompor si Salud biar aku halu dan ngebayangin hal-hal yang nggak mungkin terjadi.

Salud berdeham dan menatapku serius, “Jodoh nggak ada yang tahu”

“Aww, kok gue ditampol sih” sungutnya

***

Hari ini film yang aku edit berbulan-bulan lalu akan rilis. Rencananya akan dirilis di bioskop YXI. Acaranya dimulai pukul sembilan pagi nanti. Seperti biasa acaranya nanti nonton bioskop bareng pemainnya, juga ada sharing-sharing bentar antar penonton dengan pemain. Ada Erlang dan Sia sebagai pemain utamanya Kaldera dan tiga orang lainnya sebagai pemain pembantu.

Biasanya sih acara berlangsung sampai dua jam an. Sebagai editor aku cuma ikut nonton dan bantu-bantu dikit waktu dibutuhin. Fase perilisan film kaya gini sebenarnya yang paling aku suka, karena bakal diajak hang out sama tim meski yang diharuskan ikut pemain, dan sutradara kek gitu sih. Tapi aku biasanya selalu maksa ikut mengingat tubuh mungilku yang muat ditempat kecil pun jadi mudah nyempil-nyempil. Itulah enaknya jadi mungil.

Selain hang out aku sukanya waktu dibioskop kadang ada cogan yang lewat di sekitaran bioskop ada juga yang ikutan nonton dalam bioskop. Meski yang nonton pasti banyaknya bawa pasangan. Tapi aku belum pernah nemu juga sih, cowon nonton bioskop sendirian. Aneh nggak sih? Kayak miris gitu?.

“Pulang?” tanyaku tak rela.

“Nginep”

Aku menghampiri Bang Teguh, menggandeng tangannya. Udah berasa jadi anak beneran aku, “Pulang Yah?”

“Nggak biasanya panggil Yah. Kenapa?” tanya bang teguh heran. Bahkan glabelanya sampai berlipat-lipat. Tapi beliau udah tua juga sih jadi berlipat-lipat.

“Enggak ada, lagi ngerasa aja. Kalau kita gandengan kok berasa kaya ayah dan anak beneran.”

“Emang sebelumnya nggak beneran?”

“Yaa maksudnya yang benar-benar gitu ish.”

“Mampir makan dulu kan Yah tapi?” aku tertawa sendiri mendengar panggilanku untuk Bang Teguh. Bang teguh menatapku tanya, “Enggak. Rasanya lucu aja hehe. Bunda gimana kabarnya Yah? Udah lama nggak ketemu.” Aku masih menggandeng lengan Bang Teguh dengan senyum yang tak lepas juga.

Rasanya senang aja bisa gandeng tangan sosok Ayah. Dirumah nggak ada kayak beginian soalnya. Kalau keluar bareng ya jalan sendiri-sendiri. Nggak ada acara gandeng-gandengan. Bahkan ingatanku pun nggak ingat kapan aku gandengan sama Bapak. This first time.

“Jangan mau punya anak kaya Lira Bang!” Bang Teguh memandang Kaldera dengan alis terangkat. Seolah bertanya 'kenapa nggak boleh?'.

“Lira kan cerewet, nggak bisa diem lagi, ngribetin usil, bikin kesel mulu, bakal capek kalau punya anak kaya dia”

“Gue suka yang begitu Kal justru. Jadi nggak sepi rumah kalau Lira main.” Mendengar itu, aku menjulurkan lidah tanda kemenangan pada Kaldera.

“Iya, tapi ganggu.”

“Enggak kok, Ayah sayang Lira. Lira anak cewek Ayah yang paling baik.” ucap Bang Teguh tersenyum dengan tangan mengelus rambutku pelan.

Aku menatapnya berkaca-kaca, terharu. Aku kedip-kedipkan mataku berulang, takut air mataku jatuh. Maluu.

Masa gini aja nangis, cemen!. Tapi ya gimana seumur-umur belum ada yang bilang begitu. Meski Bapak Ibu udah pasti sayang sama aku tapi mereka nggak pernah bilang itu secara gamblang. Jadi ada yang bilang ‘Ayah sayang sama Lira, Lira anak Ayah paling baik’ rasanya nanonano banget.

Nggak bisa jabarin, aku seneng tapi sedih juga, tapi banyak senengnya tapi aku nangis. Aku peluk Ayahku ini erat sambil tertawa kecil buat nyembunyiin suara tangis yang ingin keluar.

“Udah ah, kok malah sedih.” Bang Teguh mengusap pipiku yang basah, “Ihhhh enggak sedih. Ini bulumatanya masuk di mata.”

“Ketauan banget boong nya.” kata Kaldera dari samping kursiku yang aku balas delikan. Sekarang ini kita lagi di restoran setelah beberapa jam cerita-cerita dipanggung bioskop. Mereka aja yang cerita aku dan tim lainnya kecuali pemain dan sutradara dan kameramen mah duduk-duduk aja waktu acara. Paling berdiri bentar kalau dibutuhkan.

“Yah, ganteng nggak Yah?” kataku pada Bang Teguh sambil menunjuk seonggok cowok yang sedang menyesap minumnya dikursi berjarak dua meja dari tempat dudukku.

“Kenapa?”

“Alira mahh kalau liat cogan matanya putih semua bang.” sahut Sia disambung tawanya yang menggelegar, jauh dari kata anggun yang sering ditampilkan di film.

“Sama anak Ayah aja Lir.”

“Haha, iya Lir. Berondong, enak dikibulin kalo udah bucin.”

Aku hanya merengut mendengarnya.
****

TBC

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 12, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Need a PartnerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang