Aku tersentak dengan perkataan Yeoreum. Ini bukan sekedar penolakan biasa. Aku rasa Yeoreum benar-benar membenciku. Aku pun melepaskan genggamanku darinya dan dia langsung pergi begitu saja. Dadaku terasa sakit. Seakan ada yang mencengkeramnya dengan kuat.
Tak lama aku membuka pintu dan mengikuti Yeoreum yang kini melangkah ke halte dan duduk di sana. Aku berhenti, dan memandanginya dari jauh. Mungkin ini rasanya saat aku menolaknya dulu? Rasa perih dan rasa tak ingin menjauh sungguh menyiksa. Begitu Yeoreum sudah ada dalam bus, aku hanya bisa melihatnya pergi begitu saja. Benar, tak ada alasan bagiku untuk menahannya.
Keesokan harinya aku pergi ke bookstore tempat Yeoreum bekerja. Jangan salah sangka dulu, aku ke sana untuk bertemu teman lama. Dia salah satu editor dan aku pernah meminta tolong padanya untuk merekomendasikan dan menerima Yeoreum bekerja di sana.
Pertemuan itu sebenarnya basa-basi untuk menanyakan kabar Yeoreum. Dari yang aku dengar Yeoreum bekerja dengan baik. Dia juga pekerja yang memiliki inisiatif tinggi dan hubungan interpersonalnya dengan yang lain pun cukup baik. Aku lega mendengarnya. Aku harap Yeoreum bisa bertemu seseorang yang baik di sana. Mungkin dengan begitu ia akan bahagia dan mungkin dengan sendirinya aku akan menyerah.
Kami menyudahinya saat temanku menerima telpon. Katanya ada penulis yang harus ia temui. Aku pun mengangguk dan masuk bersamanya ke dalam bookstore. Selagi disini aku juga sekalian ingin mencari buku bahan ajar.
Baru melihat-lihat sebentar, aku mendengar suara yang kukenal. Itu suara Yeoreum. Aku langsung siaga dan mencoba mengintip. Benar saja, Yeoreum kelihatan sedang berbincang dengan sekelompok orang di rak sebelah. Seharusnya aku menghampirinya, namun begitu mendengar Yeoreum aku hanya bisa terdiam.
Menjadi janda di usianya memang begitu menyulitkan. Aku tidak ada bedanya dengan mereka, orang dewasa yang berpikiran sempit. Aku hanya mementingkan diriku sendiri dan mengajaknya menikah, bahkan lebih buruk dari itu. Aku mengancamnya menggunakan utang keluarganya. Aku berbalik dan seketika rasa malu merundungiku. Jika aku tahu lebih awal bahwa status janda ini akan sangat memberatkannya, aku akan berusaha lebih keras lagi untuk mempertahankan pernikahan kami. Aku pasti tidak akan menceraikannya saat itu.
Ini pertama kalinya aku merasa aku tidak berguna. Aku keluar dari bookstore. Jam istirahatku sudah habis dan aku pun kembali ke kampus dengan perasaan yang buruk.
Suara bu Goeun menghentikan lamunanku. Daritadi aku mencarinya tapi ternyata dia sedang kelas. Begitu ia duduk di mejanya aku langsung mendekat, "Bu Goeun, bisa kita bicara sebentar?"
Bu Goeun terlihat bingung. Itu hal lumrah karena kami berdua mengajar hal yang berbeda. Bu Goeun psikologi, sedangkan aku programming. Ia mengikutiku ke kantin khusus pegawai. Disana tempatnya cukup sepi, dan aku bisa leluasa berbincang.
"Bu Goeun, bagaimana tanggapan anda tentang status janda di usia muda? Apa benar status janda itu membuat penilaian sosial jadi berbeda bagi kalian, perempuan?" tanyaku dan bu Goeun menautkan alisnya, "Kenapa tiba-tiba bertanya seperti itu?" ketika ditanya balik, aku hanya bisa memberikan senyum kecut. Melihatnya, bu Goeun kemudian berbicara.
"Pak Kim, bagi kami para wanita status itu sangat mempengaruhi. Kami dari awal tidak seperti lelaki. Bisa dibilang kami juga minoritas. Tapi bagaimanapun kami harus tetap hidup, bukan? Meskipun janda bukan berarti kami produk gagal. Tapi memang di negara ini masih sedikit yang menyadari hal itu." mendengar hal itu aku mengangguk. Kemudian aku kembali bertanya.
"Lalu... bagaimana jika saya ingin rujuk? Apakah dengan begitu penilaian sosial sebelumnya bisa dihilangkan?"
"Bisa iya, bisa tidak. Memangnya bapak ingin rujuk dengan sia-- Tunggu... rujuk? Jadi bapak sudah menikah?!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Real: VS
Teen FictionPercaya atau tidak, aku sudah menjanda lebih dari 5 tahun. Dan aku baru saja berulang tahun yang ke-27 tahun ini.