Kami akhirnya berada di dalam kereta menuju Ulsan. Pak Kim sudah menjelaskan apa saja yang terjadi. Tadi dia ditelepon oleh ibu, meminta tolong untuk segera datang karena ayah jatuh di kamar mandi. Saat dibawa ke rumah sakit, ayah sudah dalam keadaan tidak sadar. Aku sempat menelpon ibu, dan katanya ayah sudah berada di ruang operasi.
Yang tidak aku mengerti adalah mengapa ibu menelpon pak Kim dan bukan aku? Aku tidak tahu kalau pak Kim sedekat itu dengan keluargaku. Kukira begitu kami bercerai, pak Kim akan memutus semua hubungannya denganku juga keluargaku. Tapi sepertinya bukan itu hal yang terjadi. Untuk sekarang, operasi ayah lebih penting bagiku. Aku akan meminta penjelasan soal ini begitu ayah sudah membaik.
Perjalanan kereta memakan waktu sekitar 3 jam. Belum lagi perjalanan ke rumah sakit. Pikiranku kosong dan aku tidak bisa beristirahat sedikitpun. Diperkirakan kami akan tiba di Ulsan sekitar jam 8 malam. Selama itu, aku hanya bisa berharap ayah melewati operasinya dengan lancar.
Pak Kim yang baru saja kembali dari toilet kemudian menawarkanku makanan, tapi kutolak. Perutku serasa berputar dan tidak ada nafsu makan.
"Sedikit saja. Paling tidak, isi perutmu Yeoreum." Ucap pak Kim, menyodorkan makan malam. Pak Kim mengambil tanganku, dan menaruh sendok dalam genggamanku. Aku hanya melihatnya dengan tatapan kosong.
"Aku tahu kau sedang tidak nafsu makan. Tapi, kau harus kuat. Bagaimana kau akan menjaga ibu kalau tidak makan?" Kata pak Kim lagi.
Lagi. Dia masih memanggil ibu dan ayahku dengan panggilan itu*. Aku hanya menghela napas.
*panggilan yang digunakan pak Kim adalah panggilan ibu dan ayah mertua dalam konteks suami-istri
"Aku tahu pikiranmu kacau, tapi cobalah menjadi kuat. Aku akan membantumu sebisa mungkin tapi, kau juga harus membantu dirimu sendiri."
Mengerti akan hal itu, aku mulai menyendok nasi, dan makan. Meskipun makanan itu rasanya seperti pasir dan batu, tapi mengingat perkataan pak Kim barusan, aku memaksakan diri tetap melahapnya. Pak Kim benar, kalau aku lemah, aku tidak bisa melindungi ibu. Juga, aku tidak bisa bergantung pada pak Kim. Aku harus ingat, bahwa pak Kim dan aku sudah tidak dalam hubungan kami yang dulu. Pak Kim sudah tidak memiliki kewajiban untuk menjaga ibu dan ayah seperti dulu.
Aku tidak menghabiskan makananku dan pak Kim yang membereskannya. Aku kini terdiam sambil bersandar di kursi, berharap kami segera tiba di Ulsan. Aku berusaha istirahat dan memejamkan mata, namun ketakutan dan kekhawatiran terus menyerangku. Di saat itu, aku merasakan kehangatan tiba-tiba menyelimutiku. Saat membuka mata, aku melihat pak Kim memberikan selimutnya untuk membungkus badanku.
"Istirahatlah sebentar lagi. Saat di Ulsan nanti kau pasti tidak ada waktu untuk istirahat. Begitu sampai akan kubangunkan, jadi kembalilah tidur. " Kata pak Kim sambil merapikan selimut. Aku hanya mengangguk kemudian menutup mataku kembali.
Meskipun disuruh untuk istirahat, tidur tidak datang semudah itu. Pikiranku terus berjalan tanpa henti. Sejujurnya, aku sedikit lega pak Kim menemaniku ke Ulsan. Aku tidak tahu harus bagaimana jika aku menghadapinya sendiri. Pak Kim membuatku semakin bergantung padanya.
Hanya sampai ayah sembuh.
Hal itu yang terus kuucapkan dalam hati. Aku akan bergantung pada pak Kim hanya sampai ayah membaik. Setelah itu, aku janji tidak akan menyeretnya dalam masalahku lagi.
***
Kami tiba di Ulsan sesuai perkiraan waktu. Pak Kim membangunkanku, dan kami bergegas keluar dari kereta. Tak menunggu waktu lama, supir pak Kim datang menjemput. Supir itu kenalan ayah yang juga bekerja di perusahaan pak Kim bahkan sebelum kakek pak Kim meninggal.
KAMU SEDANG MEMBACA
Real: VS
Fiksi RemajaPercaya atau tidak, aku sudah menjanda lebih dari 5 tahun. Dan aku baru saja berulang tahun yang ke-27 tahun ini.