Aku tiba di bandara Australia dan langsung pergi ke rumah sakit tempat ibuku di rawat. Sekretaris ibu sudah menunggu dan menjemputku dari bandara, dan menjelaskan beberapa hal terkait keadaan ibu. Keadaan ibu saat sedang tidak baik-baik saja. Ibu menderita Alzheimer dan saat ini sudah dalam kondisi vegetatif. Kemarin sekretaris Kim menelpon dan mengatakan bahwa ibu sempat gawat karena napasnya tiba-tiba berhenti dan saat ini sedang dirawat secara intensif. Aku masuk ke dalam kamar rawat ibu. Melihat segala jenis bantuan dan alat menancap di tubuhnya yang kian renta membuat hatiku sakit.
"Anda walinya?" tanya dokter, dan aku mengangguk. Aku masih kelelahan karena baru saja tiba, dan terus terang saat ini aku belum siap mendengar kabar apapun dari dokter.
Dokter memanggilku ke ruang konsultasi, dan aku tidak menanyakan apapun. Dokter Smith adalah dokter yang diperkenalkan oleh dokter keluarga kami. Dan semenjak ibu terdiagnosa penyakit ini, dokter Smith-lah yang merawat ibu.
Dokter Smith memberikan kabar buruk. Katanya akhir-akhir ini ibu sudah tidak sering bangun. Aku hanya bisa pasrah mendengarnya. Terakhir, ibu hampir mengalami henti jantung. Untung saja saat itu sedang jadwal visit dan ibu bisa ditangani dengan cepat. Dokter Smith menyarankan bagiku untuk menemani ibu. Setidaknya untuk saat ini.
Setelah berbincang dengan dokter Smith, aku keluar dengan hati yang berat. Aku terduduk di kursi tunggu dan membuka ponsel. Aku menatap lamat pada layar yang menunjukkan nama Yeoreum. Hatiku kini bimbang. Aku ingin menelponnya, tapi kuurungkan lagi. Aku ingin menceritakan padanya apa yang terjadi, namun aku tidak bisa bergerak. Kami sama-sama sedang dalam keadaan yang tidak baik-baik saja. Aku akan merasa bersalah jika aku memberitahu hal ini padanya. Bagaimanapun juga, Yeoreum sedang menderita karena ayah saat ini.
Aku kembali memandangi ponsel, dan tiba-tiba ponselku berdering. Yeoreum menelpon, dan seketika aku merasa kalut. Mataku terasa berair, dan dengan cepat kutahan lagi lonjakan emosi yang kini masuk saat melihat namanya. Setelah berdeham beberapa kali, aku pun mengangkat telpon.
"Hai..." balasku pada sapaan Yeoreum di telpon.
"Bapak baik-baik saja?" tanya Yeoreum dan aku terdiam beberapa saat sebelum menjawab, "Aku baik... hanya lelah karena harus langsung kerja setelah dari bandara." kataku berbohong. Aku berdeham lagi, saat merasakan mataku kembali berair.
"Hmm... pasti bapak sangat lelah sekarang. Sudah tiba di penginapan?" tanya Yeoreum lagi memeriksa keadaanku.
"Sudah. Kau sudah makan malam?" balasku bertanya dan Yeoreum mengiyakan.
"Bapak jangan lupa makan. Bagaimanapun pentingnya kerjaan bapak saat ini, bapak tidak boleh sampai sakit. Siapa yang akan menjaga bapak kalau bapak sakit di sana?" ujar Yeoreum dan aku tersenyum. "Iya. Aku akan mengingat hal itu." jawabku dan terdiam kembali.
"Pekerjaannya berat ya?" tanya Yeoreum dan aku langsung menepisnya. "Tidak. Tidak berat kok. Kenapa bertanya seperti itu?" tanyaku kembali.
"Suara bapak terdengar berbeda hari ini." ucapnya dan aku kembali berdeham. "Jangan mengkhawatirkanku. Lebih baik fokus pada ayahmu saat ini." kataku dan Yeoreum mendesah napas berat. "Oke... Bapak hati-hati ya di sana. Jangan terlalu capek." pesan Yeoreum dan aku mengiyakan. Telpon pun terputus saat kami saling mengucapkan selamat malam.
Aku mematikan ponsel dan menyimpannya di saku. Dari telpon singkat barusan tak ada satu hal pun yang bisa dengan jujur kukatakan pada Yeoreum. Aku tak bisa mengatakan bahwa aku sedang tidak baik-baik saja, aku tidak bisa mengatakan bahwa ibuku sedang sekarat dan sewaktu-waktu dapat berhenti bernapas, dan aku tidak bisa mengatakan bahwa saat ini aku sangat merindukannya.
***
Seminggu berlalu dengan aku merawat ibu, dan untungnya seminggu ini kondisi ibu berangsur membaik. Dokter Smith cukup lega karena kedatanganku membuahkan hasil. Selama seminggu penuh aku menjaga dan merawat ibu di ICU, dan kini alat bantu napas sudah mulai kembali dilepas. Aku cukup lega, dan dokter Smith mengatakan bahwa jika terus membaik seperti ini, mungkin ibu bisa bangun lagi sewaktu-waktu. Aku sudah memesan tiket pulang ke Korea, dan sekretaris Kim kembali kuperintahkan untuk tetap mengawasi setiap perkembangan ibu dan melaporkannya padaku setiap hari.
Selama seminggu ini juga Yeoreum terus menelponku tiap malam dan mengingatkanku untuk tetap menjaga kesehatanku sendiri. Selama di sini sekretaris Kim juga sering mengomeliku karena melewatkan makan siang, terkadang makan malam jika harus merawat ibu. Meskipun sekretaris Kim sudah menyediakan penginapan, namun aku tidak pernah ke sana dan malah menginap di rumah sakit karena takut ibu tiba-tiba kembali gawat.
"Tuan, ini minum dulu." ucap sekretaris Kim sambil menyodorkan air minum dan vitamin. Tanpa mengatakan apa-apa aku mengambil keduanya dan meminumnya saat itu juga. Kepalaku terasa pening dari kemarin subuh, dan sepertinya menjadi lebih buruk hari ini. Kenapa harus hari ini?
"Tuan, tuan baik-baik saja?" tanya sekretaris Kim saat melihatku memejamkan mata di kursi tunggu bandara. Aku mengangguk pelan.
"Bibi kembali ke rumah sakit saja. Aku sebentar lagi akan boarding, lebih baik bibi menjaga ibu." ucapku pada sekretaris Kim.
"Baiklah. Kalau begitu saya permisi. Mohon jaga diri anda baik-baik sampai di Korea, tuan. Kalau bisa kabari saya kalau sudah sampai di sana." ucap sekretaris Kim dan membungkuk sopan. Sekretaris Kim seperti ibu keduaku. Ia tidak menikah dan mendedikasikan hidupnya untuk menjagaku dan ibu. Ia sudah puluhan tahun bekerja pada keluarga kami, dan pada dasarnya kami telah menjadi keluarganya.
Aku tersenyum. "Kenapa formal sekali, bi? Aku kan juga seperti anak bibi sendiri. Bibi tenang saja. Aku akan langsung mengabari bibi begitu tiba di bandara Seoul." ucapku dan sekretaris Kim tersenyum simpul. Setelah itu, sekretaris Kim pun keluar dan aku melanjutkan perjalan menuju ruang tunggu penumpang.
Aku tiba di Seoul dan segera menelpon pak Nam, supir pribadi keluarga. Selama pulahan jam berada di pesawat, badanku terasa lemas, dan kepalaku kembali berdenyut. Aku menunggu di luar bandara, dan terasa angin musim gugur menusuk tulang. Aku sudah mengrim pesan pada sekretaris Kim bahwa aku sudah sampai di Seoul saat supir pribadiku menghentikan mobilnya di hadapanku.
"Maaf terlambat Tuan Kim! Tadi ada kecelakaan di jal-- Tuan Kim? Tuan baik-baik saja?" tanya pak Nam dan aku mengangguk.
"Sepertinya flu pak. Langsung pulang saja." ucapku dan langsung masuk ke bagian kursi penumpang, sementara pak Nam mengangkat koperku ke dalam bagasi. Pak Nam tidak bertanya apapun di sepanjang perjalanan dan langsung mengantarkanku pulang ke rumah.
"Tuan... Tuan Kim..." panggil pak Nam dan aku terbangun. Sudah sampai rupanya. "Tuan mau diantar ke atas?"
"Tidak perlu. Tolong keluarkan koperku saja pak Nam." ucapku sambil terbatuk-batuk. Sepertinya aku kena flu. Kuakui, aku sering begadang dan makan tidak teratur selama menjaga ibu. Tapi aku tak menyangka akan sesakit ini tubuhku jadinya.
Aku menarik koper dan mulai berjalan pelan meninggalkan pak Nam. Kepalaku terasa berat, dan aku mulai berkeringat.
"Pak Kim!" aku mendengar suara Yeoreum yang menyambutku, dan samar-samar aku melihatnya datang menghampiriku.
Aku tersenyum melihatnya datang menyambutku. Namun sedetik kemudian, aku tidak mengingat apa-apa lagi, karena kepalaku terasa berat dan semuannya menjadi gelap.
KAMU SEDANG MEMBACA
Real: VS
Dla nastolatkówPercaya atau tidak, aku sudah menjanda lebih dari 5 tahun. Dan aku baru saja berulang tahun yang ke-27 tahun ini.